Ketika Aku Menjadi Orang Papua

Gerson Poyk
http://www.suarakarya-online.com/

Kapal putih itu membawa seratus tahanan politik menyusuri sungai menuju hulu yang jauhnya 60 km dari muara. Karena sungai dalam dan arusnya lemah maka pelayaran tidak memakan waktu lama. Di antara seratus tapol itu, aku yang paling nekat. Melompat dari kapal di malam buta, menyelam beberapa lama dan selama menyelam terasa ada tembakan bertubi-tubi. Untung tak ada peluru mengenai tubuhku. Ketika muncul di permukaan, dalam keadaan menghirup udara, mataku memandang kapal yang yang menembak tadi sudah cukup jauh. Mungkin penembaknya menyerahkan aku ke buaya sungai Papua yang cukup banyak. Bangun di pagi hari, aku melihat kedua kakiku telah memakai semacam stocking hitam, pasalnya aku hanya memakai celana pendek. Ternyata bukan stocking melainkan kerumunan nyamuk hitam. Bagi orang lain mungkin akan gatal, tetapi karena masa kecilku tinggal di ladang di tengah hutan, aku telah terbiasa menahan gatalnya gigitan nyamuk. Kalau pun terasa gatal, aku tahan saja sebab jika digaruk akan terasa sakit.

Aku tahan gigitan nyamuk itu sampai matahari terbit di ufuk timur. Badanku makin segar menerima cahaya matahari. Nyanyian burung cendrawasih dan suara monyet mengucapkan selamat datang padaku. Lalu semuanya mengundang aku makan pagi, aku memanjat ke dahan yang lebih tinggi ke tempat para monyet sarapan pagi, kemudian mereka membiarkan aku memetik buah-buah segar yang mereka makan. Perutku menjadi kenyang di pagi hari itu.

Setelah pakaianku kering oleh sengatan matahari pagi, aku mulai berpikir, bagaimana harus makan siang agar tidak kelaparan. Karena melihat banyak burung tekukur di antara burung cendrawasih, maka aku mencari batu untuk melempar burung-burung itu. Sejak kecil aku terlatih melempar. Setelah besar, aku tak pernah tak makan daging burung. Nah, setelah memunggut sepuluh batu, maka jatuhlah sepuluh ekor tekukur ke tanah.

Masalahnya kemudian, bagaimana mencari api membakar tekukur itu. Aku tak hilang akal karena di masa kecilku,aku sudah biasa membuat api. Sebagai anak gembala, aku terbiasa membuat api dengan melinting-lintingkan kayu. Aku membuat api unggun kecil di tengah hutan, lalu membakar tekukurku itu.

Sepuluh tekukur panggang masuk ke perutku. Setelah kenyang aku berjalan-jalan, tiba-tiba aku melihat beberapa rumpun pisang yang banyak tandannya. Segera aku memanjat batang pisang itu dan memetik buahnya yang matang juga yang setengah matang dan membakarnya. Sementara itu aku melempar lagi beberapa ekor burung untuk dimakan bersama pisang-pisangku. Aku sangat kenyang dan tertidur di atas pohon. Bangun tidur aku agak haus. Untuk meminum air sungai aku tak tega karena warnanya tidak bening. Aku berjalan beberapa puluh meter dan kemudian hutan memperlihatkan aku beberapa pohon kelapa. Oh tanah Papua! Teriak hati kecilku. Mengapa aku tak lahir di sini, mengapa aku terlahir jauh-jauh di pulau yang hanya tumbuh rumput sabana dan orang susah payah harus menanam kelapa serta pisang?

Bangun pagi, aku melihat seekor babi ukuran medium, tergantung dan berteriak-teriak karena tertikat kakinya oleh jeratan yang kubuat kemarin. Mungkin ia berteriak di tengah malam, karena aku terlalu lelah dan tidur dengan nyenyak maka baru pagi ini menyaksikan keberhasilanku.

Segera aku membelah babi hutan itu dengan kapak batu yang kubuat di pinggir sungai. Setelah matang, aku membungkusnya dengan daun pisang kemudian menggantungnya di tempat aman dengan tali yang tak dapat diraih oleh monyet. Kemudian aku mencari daun-daun yang terasa asin atau asam untuk membubui makananku. Kebetulan ada banyak cabe yang bibitnya berasal dari cirit burung, tumbuh sebagai semak belukar di bawah pepohonan. Lengkaplah sudah bahan makanku.

Sementara makan, tiba-tiba sejumlah orang Papua muncul melingkari aku, mereka berteriak-teriak sambil memegang tombak dan panah diarahkan kepadaku. Teriakan itu terhenti ketika ada suara yang melarang untuk menyerangku. Rupanya si empunya suara adalah kepala suku mereka, ia mendekati aku dan bertanya dalam Bahasa indonesia yang bagus, “Saudara dari mana?” “Saya lari dari kapal putih, saya tahanan politik. Saya pejuang kemerdekaan yang tertangkap. Saya terjun ke sungai di malam yang gelap. Bapak gubernemen penjajah mencari saya?” tanyaku cemas. “Persetan dengan gubernemen. Kami orang merdeka yang tidak mau diusik penjajah, kami pemilik sah tanah Papua. Kalau saudara orang baik, kami angkat saudara sebagai saudara angkat, mau?” Aku melompat, mencium kakinya.

“Terimakasih, Kepala Suku.” Lalu aku ditariknya bangun dan diciumnya aku. Walau pun baunya berbeda dengan bau tubuhku, aku senang saja mencium bau itu.

* * *

Hari itu kami berpesta. Mereka membawa bekal sagu dan ubi lengkap dengan babi besar. Usai berpesta mereka membawa aku ke kampung mereka. Aku dibawa ke sebuah rumah yang terletak di atas tiang-tiang kayu setinggi tiga puluh meter. Di sana mereka menyuruhku beristirahat dan mereka menghilang dalam sekejap.

Aku tidur nyenyak sekali. Saat terbangun, aku terkejut, di dekat tungku kulihat seorang wanita muda tengah meneteki kesayangannya, seekor anak babi.

Dia tersenyum padaku dan aku tersenyum paksa. Tak lama kemudian seorang anak yang masih berusia balita yang tertidur di sampingnya terbangun dan menangis. Ia menurunkan anak babi itu, lalu menggendong anaknya dan menyusuinya. Beberapa saat kemudian hujan turun dengan deras, anjing yang berada di kolong rumah menggonggong keras, lalu dengan gesit wanita itu membawa bayinya kepadaku dan aku menggendong bayi itu sambil berjalan mondar-mandir menenangkannya.

Wanita itu dengan gesit menuruni tangga yang berupa sebatang kayu sebesar paha orang laki-laki dewasa, tiap ruas pohon diberi tetak-tetak tangga. Tiga puluh meter turun, tiga puluh meter naik bersama anjing kesayangan wanita itu. Aku kaget bukan karena ia mendaki dengan seekor anjing, melainkan juga dengan seekor babi dewasa yang dimasukkan ke tas jaring yang digantung di kepalanya. Babi itu mengorok pelan-pelan, tergantung di punggung belakang wanita itu.

Aku menarik nafas panjang, terkagum dan terheran memasuki kehidupan yang lain sama sekali. Bayangkan, di sebuah rumah setinggi tiga puluh meter tinggal bersama tiga manusia dan tiga binatang. Di rumah panggung yang tinggi itu, manusia ini makan dan buang air besar dan kecil dari celah-celah papan. Binatang pun demikian.

Di hutan Papua ini, manusia Papua mencintai hutan dan binatang yang sama-sama dihidupi oleh hutan.
Diam dam aku memperhatikan wanita itu. “Bisa bahasa
Indonesia?” tanyaku.
“Tidak. Saya bisa bahasa Melayu logat Papua.”

Aku bersyukur karena masih bisa berkomunikasi dengan baik. Dalam percakapan kami, wanita itu mengatakan suaminya telah meninggal. Aku kaget betul ketika ia menunjukkan tangannya, memperlihatkan jarinya. “Adat kami kalau ada keluarga yang meninggal maka jari harus dipotong dan dikuburkan bersama yang meninggal.”

* * *

Aku diam. Kecut. Tentulah dia menangis karena dua hal, yaitu sakit dan sedih. Wanita itu kemudian memasak dan mengurus kebutuhanku. Setelah ia menjadi isteriku, ia memanen sejenis labu lalu dibuatnya menjadi koteka. Setelah koteka itu kering, aku memakainya. Akan tetapi masalahnya, kulitku kuning langsat.
Mestinya kalau kulitku hitam barulah cocok!

Untuk itu aku harus bekerja di bawah panas matahari. Beruntung di rumah melayang, di ketinggian tiga puluh meter itu ada parang dan kapak. Setiap hari, setelah sebuah pohon tinggi di pinggir ladang aku tebang, sibuklah aku membuat sebuah sampan ramping yang panjang. Makin lama kulitku hitam. Lalu tinggal rambut, ya rambutku harus keriting. Dan ini masalah gampang, dengan amoniak dari air seniku dan isteriku, maka keritinglah rambutku. Melalui sebuah cermin kecil yang diperoleh nenek moyang isteriku dengan menukar lima ekor babi, aku melihat wajah, tubuh serta rambutku. Begitu rupaku seperti orang papua, timbullah ambisiku menjadi kepala suku, atau lebih bagus lagi menjadi raja rimba Papua. Isteriku setuju. Diambilnya taring celeng, lalu ditusukan ke hidungku, telingaku juga bergantungan untaian gigi seri celeng. Setahun berlalu. Tiba-tiba aku diberitahu bahwa ia mengandung. Aku tentu saja gembira. Pasti anakku akan sehat karena setiap hari aku melihat payudara isteriku besar, bergelantungan ke bawah perutnya yang buncit.

Aku dan isteriku bekerja setiap hari disengat panasnya matahari membersihkan ladang, rumput dan pohon-pohon ditebas lalu kami bakar, ladang kami menjadi bersih dan bisa ditanami. Memang tanah papua sangat subur sehingga tak perlu dicangkul seperti di Pulau Jawa dan pulau lainnya. Kami tanami kebun kami dengan jagung, labu, cabe, singkong dan ubi jalar, kami hidup dari tanaman tersebut.

Karena aku sudah berubah, sudah bermetamorfosa sebagai orang Papua sejati, maka aparat keamanan tidak mengenaliku lagi sebagai tapol yang lari menceburkan diri di sungai. Aku dianggap kepala suku karena dandanan wajahku, karena taring panjang di hidungku. Usai berdagang, kami pulang dengan mendayung sampan, pulang ke rumah melayang kami.

Usai panen, kerap diadakan pesta bakar batu oleh para tetangga kami yang juga tinggal di atas rumah melayang.

Pada suatu hari, ketika kandungan isteriku telah matang untuk melahirkan, tiba-tiba ia turun sendiri ke bawah dengan cukup gesit. Aku mengintip dari atas, hatiku bertanya-tanya, ke manakah isteri tercintaku. Tiba-tiba aku melihat ia memeluk tiang. Di kaki tiang itu ada jerami halus.

Kemudian ia melepaskan pelukannya dan mendorong tiang itu keras-keras sehingga rumah kami bergoyang bagai ditiup angin. Astaga! Aku melihat anakku ke luar dan jatuh di atas jerami yang halus, tak lama suara tangisan bayi pun terdengar. Aku meluncur turun menjemput si bayi, hebatnya isteriku seperti biasanya, tidak nampak sakit. Ia menyuruh aku mengambil keranjang yang sudah dipersiapkannya, lalu menaruh bayi itu dan mengangkatnya ke atas.

Aku segera membakar sebuah pisau tajam dan menunggu sampai dingin, lalu memotong ari-arinya. Luar biasa! Isteriku tidak perlu ke dokter, bidan, obat-obatan dan sebagainya.

Kebetulan ladang kami penuh dengan makanan bergizi sehingga air susu isteriku cukup, malah berlebihan untuk bayiku, berlebihan karena aku melihat ia membagi asi-nya dengan anak babi. Aku segera memberitahukan kepada para tetangga dan mereka ikut gembira. Lalu aku mengadakan pesta bakar batu yang mematangkan dua ekor babi untuk dimakan beramai-ramai dan menari berkeliling api unggun.

Aku sadar beberapa tahun sudah aku hidup di zaman batu, walaupun demikian aku tak kekurangan makanan. Aku bukan penganggur seperti di negeri modern, tetapi di rimba raya Papua ini manusia bisa kenyang setiap hari.

Yang kutakutkan adalah penyakit, tetapi karena gizi prima maka aku berharap tetap sehat, tidak seperti beberapa orang di kampungku dulu yang kena penyakit kaki gajah. Tetapi seandainya aku kena, maka aku yakin itu disebabkan oleh kemauan Ibu Papua supaya aku tidak akan pergi ke tempat lain. Seandainya penyakit itu menimpaku, aku berterimakasih pada Ibu Papua karena ia tak mau aku pergi dari rimba makmur Papua!

Setelah anakku mulai berjalan dan bisa turun naik sendiri, aku dan isteriku sangat senang, kami selalu tertawa melihat kelincahan dan kelucuannya, dia seperti monyet walaupun kulitnya agak terang seperti kulitku, rambutnya tetap keriting seperti rambut ibunya. Lama-kelamaan isteriku tertawa terus, tertawa sendiri walaupun anak kami tidak melucu. Melihat itu aku ikut tertawa dan tertawa. Tiap hari walaupun dunia ini, dunia di dalam rimba tak ada yang lucu, kami tetap tertawa.

Ada mantri rumah sakit yang melihat tingkah laku kami, lalu mengajak kami berobat ke rumah sakit. Saat menghadap dokter kami terus tertawa, dan aku kaget tujuh keliling ketika dokter mengatakan, “Barangkali karena banyak makan daging babi di pesta bakar batu, dagingnya kurang matang sehingga cacing pita belum mati, itu yang membuat kalian tertawa terus. Cacing pita itu masuk ke dalam darah, merayap ke otak dan merusak pusat pengontrol ketawa di otak. Cacing hidup di sana dan kalau cacing itu tertawa, kalian ikut tertawa!”

Dalam hati aku berkata, “Lebih baik menderita kaki gajah daripada dijajah oleh cacing pita.” Maka aku, isteriku dan kedua anak kami masuk rumah sakit, kami menjadi pasien rawat inap. Karena lama tak kena sinar matahari, kulitku menjadi kuning kembali, rambutku lurus seperti ijuk, dan para militer mengenali aku, mereka menangkapku dan menajdikan aku tapol. Tinggal di penjara di kampung tapol tidak sama dengan tinggal di rumah melayang. Lebih teratur namun bukan sebagai manusia bebas, sebebas saat aku masih berada di hutan Papua. Yah, namanya juga tapol alias tahanan politik. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *