Nirwan Ahmad Arsuka *
cetak.kompas.com
Judul: Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer. Penulis: Koesalah Soebagyo Toer dilengkapi Soesilo Toer. Penerbit: KPG, Jakarta, 2009. Tebal: 505 halaman (termasuk lampiran).
Sebagai karangan yang banyak bertumpu pada ingatan, memoar adalah ragam karya yang bergerak di antara dua kutub: sejarah dan sastra. Jika ingatan itu ditopang sekaligus dijaga ketat oleh catatan kejadian nyata, disusun mengikuti arus waktu yang bergerak lurus kronologis, karangan itu akan menjadi biografi atau otobiografi penting.
Jika ingatan tak harus tunduk sepenuhnya pada catatan ketat kejadian sejarah dan karangan disusun tak harus mengikuti aliran waktu yang lurus, tak jarang bahkan membiarkan diri terseret oleh arus kesadaran yang berkelok-kelok, karangan itu bisa menjadi novel besar.
Memoar ini memang disusun mengikuti arus waktu linier, tetapi terasa agak menjauh dari “riwayat hidup” Pramoedya Ananta Toer yang “seharusnya” menjadi pusat cerita dari awal hingga akhir. Pram memang tampil juga dalam karangan ini, tetapi cukup sering ia hadir agak jauh di latar belakang. Kita harus menempuh sekitar 100 halaman untuk sampai pada momen penting yang bisa mengoreksi, setidaknya memperkaya, pemahaman kita tentang Pram.
Momen-momen penting itu, antara lain, pertemuan Pram dengan ayahandanya yang sekarat, tekadnya membangun kembali rumah warisan yang telantar, atau pilihannya pada keris pusaka ayahandanya saat terjadi pembagian warisan.
Buat saya, kisah kecil itu mengubah kesan tentang Pram yang pendendam, yang tak bisa melupakan perlakuan ayahnya yang menyakitkan karena menganggap dia dungu dan harus mengulang sekolah. Kesan pendendam ini mencuat dalam prosa awal Pram sendiri, yang kemudian banyak dikutip dan disebarkan sejumlah pengkaji Pram.
Kisah kecil lain, seperti tekad Pram menyekolahkan adik-adiknya dan merawat yang sakit, kegundahannya menumpang sementara di rumah adik ipar yang kurang ia sukai, menunjukkan Pram, meski punya cita-cita kebangsaan besar, memang hanya manusia biasa saja yang tak perlu ditakuti. Maka, memang ada yang luar biasa ganjil jika pemerintah resmi negara besar yang punya angkatan bersenjata paling kuat di Asia Tenggara begitu takut kepada seseorang sehingga ia harus dicurigai dan diawasi terus dan seluruh karyanya digolongkan terlarang.
Pisau lipat
Cerita tentang Pram yang sempat membawa pisau lipat ke tempat kerja, prinsipnya untuk harus selalu menang dalam perdebatan, dan bahwa kepentingan bangsa lebih tinggi daripada kepentingan keluarga dan anak, semua ini mempertegas apa yang dengan mudah kita temui pada karya sastranya: ketangguhan tak tertandingi dalam memperjuangkan sesuatu yang dianggap berharga dan kesediaan menanggung seluruh akibat dari perjuangan tersebut.
Membaca memoar dua adik Pram ini dan mengingat apa yang telah diberikan Pram kepada bangsanya, kita memang bisa kecut melihat ketimpangan yang mencolok mata itu. Pram telah mempersembahkan begitu banyak buat bangsanya dan begitu sedikit yang dia peroleh.
Dari Pram, kita memperoleh karya yang bisa membangunkan pembaca menyadari sisi kelam masyarakat sembari menghamparkan wawasan sejarah dan dunia rasional buat bangsa belia yang tengah menjadi. Jika Raja Ali Haji dengan karya sastranya, misalnya, bisa diperjuangkan menjadi pahlawan nasional, Pram dengan anak-anak rohaninya jelas sangat layak (kalau bukannya lebih) juga dihormati sebagai putra terbaik bangsa.
Sambil menunggu berubahnya sikap resmi pemerintah terhadap Pram, saya membayangkan ada penulis yang bekerja mengolah lagi dengan sungguh-sungguh memoar setebal 500 halaman ini. Bahan yang disajikan bisa tumbuh menjadi novel bagus, di mana Blora bisa menjadi sejajar dengan Combray (Marcel Proust), Yoknapatawpha (William Faulkner), atau Macondo (Gabriel Garcia Marquez). Bedanya, Combray, Yoknapatawpha, atau Macondo adalah tempat fiktif meski mengambil ilham dari tempat nyata, sementara Blora sepenuhnya tempat yang benar-benar nyata.
Buat saya, Mastoer Imam Badjoeri, ayahanda Pram bersaudara itu, menduduki posisi yang agak mirip dengan Jose Arcadio Buendia dalam Seratus Tahun Kesunyian. Tentu saja Jose Arcadio Buendia, yang lahir dari tangan seorang tukang cerita piawai pemenang Hadiah Nobel, akan terasa lebih mencengangkan dibandingkan Mastoer. Tetapi, ada pola yang mirip di antara kedua kepala keluarga ini.
Memang, Mastoer tak membangun permukiman baru surgawi, yang ia namakan dengan kata yang tak pernah ia dengar sebelumnya, yang tak punya arti sama sekali, sebuah gema adikodrati dari mimpinya. Tetapi, Mastoer juga adalah seorang patriarkh yang melalui masa mudanya sebagai seorang penuh semangat, pekerja keras yang setia pada impiannya?membangun pendidikan dan menyebarkan pengetahuan ilmiah di kalangan pribumi yang tertinggal dan tertindas. Jika Jose Arcadio Buendia menjalani masa tuanya sebagai patriarkh linglung dan bertahun-tahun terikat pada pohon chestnut raksasa di halaman, Mastoer menghabiskan masa akhir hidupnya sebagai kepala sekolah yang kecewa, penjudi tangguh, sebelum akhirnya terpacak di tempat tidur dengan paru-paru remuk dimakan TBC.
Kisah Mastoer dan sejumlah tokoh kecil dalam memoar ini membuat saya sadar bahwa cara baca yang suntuk mencari Pram ternyata keliru. Pembacaan yang terpaku pada Pram, yang diarahkan judul memoar ini, mencegah saya larut sepenuhnya sejak dari halaman pertama. Buku ini harusnya dibaca tanpa perhatian yang memusat pada satu tokoh. Ia mesti dibaca dengan keterbukaan yang setara pada semua karakter yang muncul. Pram memang tokoh yang sangat menarik, tetapi buku ini menghidangkan sesuatu yang lebih kaya ketimbang ingatan pada seorang sosok istimewa.
Pada akhirnya, buku tebal ini adalah cerita tentang keluarga dengan anggota yang bergerak mencapai impian masing-masing, menanggapi zaman yang kadang bergejolak di luar kendali, dan kadang berselisih karena sejumlah hal yang mungkin penting mungkin sepele. Mereka menempuh berbagai gerak turun dan naik zaman yang berlalu, dari zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Terbawa arus waktu tak menentu, keluarga dengan patriarkh yang begitu peduli pada pendidikan bangsanya itu dihantam prasangka umum dan gejolak politik: hampir separuh anak sang patriarkh dituduh sebagai musuh negara. Tetapi, keluarga yang guncang dan terburai terjangan sejarah ini pelan-pelan berusaha menyembuhkan diri sembari membela dan meraih kembali martabatnya yang terampas.
Kisah keluarga Blora dengan segenap warnanya yang tak semua amat memikat ini adalah juga kisah orang-orang Indonesia-kisah yang mirip dengan yang dialami ribuan keluarga di Tanah Air. Setidaknya, kisah dengan pola seperti ini mungkin terjadi pada keluarga yang beberapa anggotanya punya nalar yang bermimpi kelewat aktif, mimpi tentang revolusi yang dapat mengubah nasib bangsanya dengan cepat. Sayangnya, mimpi itu tertabrak berbagai mimpi lain yang mungkin saja tak kalah aktifnya, tetapi telah diracuni berbagai prasangka dan kepicikan kolektif.
***
*) Nirwan Ahmad Arsuka, Penulis Esai.