Malaikat Bernama Armagedon

Soeprijadi Tomodihardjo *
jawapos.com

KETIKA gereja berperan sebagai penggerak kekerasan terhadap para pembela kebebasan, Friedrich Schiller (1759-1805) justru tampil dengan mengambil sikap sebaliknya. Dia menjunjung tinggi kebebasan. Dalam sebuah analisis filosofisnya, sastrawan klasik Jerman itu berujar: ”Bagi umat manusia, tak ada sesuatu yang lebih hina daripada membiarkan diri menjadi korban kekerasan. Bahkan, siapa secara pengecut bertekuk-lutut di depan kekerasan, dia mencampakkan kemanusiaannya sendiri. Sebaliknya, siapa yang melakukan kekerasan terhadap sesama manusia, patut diragukan rasa kemanusiaannya.”

Sejak muda Schiller berani tampil membela asas kebebasan manusia terhadap ketidaksabaran dan fanatisme agama. Dalam karya romannya, Don Carlos, pengarang tersebut mengangkat kebencian dan fanatisme agama lewat narasi seorang pemuka agama: ”Maut lebih berharga dari kebebasan.” Khotbah atau dakwah yang digelar sang narator penuh dengan hujatan terhadap kebebasan yang dianggapnya mengancam dasar-dasar moral dan kepercayaan dalam ajaran gereja.

Friedrich Nietzsche (1844-1900) mungkin kebablasan ketika bermimpi tentang perkembangan manusia sebagai uebermensch (makhluk unggul) agar segala bentuk kekejian lenyap dari muka bumi dan manusia bisa hidup tenteram dalam kebebasan, sejahtera, dan bermartabat. Sayang, sang ?bermensch dalam mimpi Nietzsche justru menjelma fasisme Nazi yang antsemitis, penyulut perang dunia ke-II. Di depan ancaman Nazi, gereja Vatikan ternyata tidak berdaya dan kehilangan nyali untuk membela kebebasannya sendiri.

Persoalannya menjadi gawat ketika perbedaan pandangan (tentang kebebasan) itu merambah pada sengketa wilayah, moral, dan agama. Dalam wacana ini perbedaan itu sendiri merupakan bibit sengketa fisik (Perang Dunia pertama dan kedua) ketika pihak-pihak yang berlawanan kejangkitan fanatisme dan ketidaksabaran.

Pasca PD-II kebebasan dan demokrasi sangat dipuja di negara-negara Barat. Sebaliknya, kian dipertanyakan di belahan bumi lain ketika kebebasan ala Barat terbentur freedom to be free (Bung Karno, Nehru, Chou En-lai, dll), di antaranya berbentuk gerakan pembebasan 3A (Asia, Afrika, Amerika Latin) yang menghadangnya. Ini adalah sebuah kebangkitan baru sebagai reaksi terhadap sikap pihak Sekutu (Amerika, Inggris, Prancis, juga Uni Sovyet) dalam Perundingan Yalta (14 Agustus 1945) yang secara acak mengakui hak mereka sendiri untuk kembali menguasai bekas-bekas jajahan mereka sebelum PD II: Kuomintang di Tiongkok, Prancis di Indo China, Inggris di India, Belanda di Indonesia, dsb. (Han Suyin: Zhou Enlai, potret seorang intelektual revolusioner, hlm 189 dst).

Terkait dengan debat perihal kekerasan dan fanatisme agama di Eropa, Kanselir Jerman Angela Merkel bahkan tak beranjak dari ajaran filsafat kebebasan. Menjelang sidang Kelompok 8 Negara Industri di Jerman (Maret 2007), Merkel dengan lantang menantang, ”Kami menganut prinsip kebebasan: bebas untuk percaya dan untuk tidak percaya.” Sasarannya jelas nampak di depan mata, yakni ancaman teror Al Qaidah terhadap para tamu negara plus kelompok kiri penentang pengotoran cuaca oleh negara-negara industri.

Peristiwa-peristiwa mengerikan sepanjang zaman pertengahan (sekitar abad ke-5 dan 6), di mana kebencian terhadap lain agama dan kepercayaan memicu tindak kekerasan, sekarang terulang di zaman kita. Hal itu mencuat seiring dengan proses globalisasi. Sejak umat manusia mengenal negara sebagai wadah kesatuan bangsa, bahasa, dan wilayah, planet bumi hanya berisi komunitas-komunitas ras dan etnik dalam sekat-sekat negara.

Celakanya, umat manusia telah diganjar kodrat serakah sebagai ”anugerah alam”. Negara-negara besar dan kuat cenderung melakukan kekerasan dan perampokan terhadap negara-negara lemah, menjarah-rayah sumber daya manusia dan alam mereka. Perang sebagai bentuk tertinggi kekerasan menjadi sukar dihindari karena sumber dan penyebab-penyebab kekerasan selalu diabaikan.

Apakah malaikat bernama Armagedon telah berdiri di depan pintu rumah tangga kita? Namanya dikenal para penyair tenar kita, kadang tertuang dalam puisi-puisi mereka. Goenawan Mohamad, misalnya. Armagedon adalah tempat di mana ”perjuangan penghabisan” pernah berlangsung dengan akibat fatal. Kiamat? Barangkali belum lagi. Tetapi, umat manusia mulai memahami perlunya membangun peradaban baru: hidup bermartabat dalam kebebasan dan kesejahteraan jasmani-rohani. Peradaban Barat bukan tak memahami makna dan fenomena ini. Namun, selaku pihak dominan dalam proses globalisasi yang sangat merugikan negara-negara terbelakang, mereka wajib melangkah di depan dan tidak hanya menunggu hingga pihaknya sendiri tenggelam ke masa silam.

Gunther Nonnenmacher, seorang pengamat Barat, bahkan percaya bahwa peristiwa kehancuran Menara Kembar pada 11 September 2001 merupakan fenomena munculnya kembali Armagedon. Israel sedang kejangkitan fanatisme Testamen Lama kitab suci Nasrani. Mereka percaya dan merasa berhak memiliki kembali seluruh wilayah Palestina yang ribuan tahun telah ditinggalkan bangsa Yahudi. Sebaliknya, Palestina merasa sebagai bangsa penghuni dan pemilik wilayah di antara Lautan Tengah, Jazirah Sinai, dan Teluk Akaba.

Konsep Red Map hanya diterima di atas kertas. Wilayah negara tidak ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, melainkan oleh klaim masing-masing. Sengketa itu dengan cepat berubah sifat menjadi multidimensi karena kedua pihak mendapatkan dukungan sejumlah negara yang berbeda.

Tak heran, pusat sengketa dunia masa kini adalah masalah Timur Tengah (Palestina). Kehancuran WTC pada 11 September 2001, perang di Afghanistan dan Irak, maupun bom-bom bunuh diri di Spanyol, Inggris, Indonesia, Pakistan, dan banyak lagi hanya kelanjutan tragedi Armagedon yang masih berlanjut di masa depan.

Oh, Armagedon! Jangan biarkan kami bunuh diri seperti ini.

*) Soeprijadi Tomodihardjo, cerpenis, tinggal di Jerman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *