SN Ratmana
http://suaramerdeka.com/
CUACA bulan Agustus di Tanah Airnya tergolong yang terpanas sepanjang tahun. Tidak turun hujan, tanah mengering. Pada siang hari mentari menyorot tanpa dihalangi awan, apalagi mendung. Meski demikian toh mentari di sana tidak segarang di sini. Soalnya di sana ada gemericik air sungai yang tidak pernah kering, ada danau-danau, ada bentangan ladang yang menghijau serta rimbunnya dedaunan di kebun-kebun dan bahkan hutan belantara. Karena itu embusan angin di sana menjadi usapan yang menyejukkan. Di sini? Oh, apalagi pada siang begini. Mentari seolah membakar segalanya: bongkahan batu di lereng-lereng bukit yang gersang, butir-butir pasir di gurun yang terbentang sejauh mata memandang, maupun tembok-tembok bangunan. Semuanya seolah menjadi bara yang menyebar panas ke mana-mana. Kalau datang tiupan angin, kecuali menyebar debu gurun, juga menjadi semacam sengatan yang memedihkan. Suhu yang klimaksnya mencapai 56 derajat Celcius tidak memberi kesempatan bagi keringat untuk menggenang di permukaan kulit, langsung menguap tersedot ke udara. Karena itu rasa haus bukan hanya dirasakan oleh kerongkongan saja melainkan juga oleh sekujur tubuh dalam bentuk lunglai, tak bertenaga.
Kondisi yang keras dan kejam itu kemarin belum disadari oleh laki-laki sawo matang itu. Karenanya -kemarin- hampir saja dirinya mengalami nasib sial yang fatal. Dia datang ke kota ini bersama rombongan ketika arloji tangannya -yang masih menggunakan standar waktu salah satu wilayah di Tanah Airnya- menunjukkan pukul 13.00. Sesudah istirahat sejenak, mandi dan menyantap makanan kecil, langsung saja dia menuju ke tempat yang diidam-idamkannya sejak masih di Tanah Air. Dia ingin segera ber-i’tikaf setenang mungkin, tanpa diganggu percakapan dengan siapa pun. Itulah sebabnya dia meninggalkan pondokan seorang diri, ketika udara mulai memanas. Tidak sulit baginya mencapai sasaran karena hampir semua pengguna jalan setujuan dengan dirinya.
Begitu sampai ke tujuan fisik dan batinnya terjerat oleh hal-hal luar biasa yang belum pernah ia alami maupun rasakan sampai memasuki umur 50. Semuanya serba menakjubkan dan memesona. Meskipun demikian mula-mula toh menyesal karena dirinya tidak dicengkam oleh rasa haru, apalagi sampai meneteskan air mata. Padahal banyak diceritakan orang bahwa siapa pun yang pertama datang ke mari pasti menangis. “Apakah ini pertanda kelemahan imanku?” tanyanya pada diri sendiri. “Ataukah mereka cuma berbohong untuk menyombongkan ketebalan iman mereka?” Dia pun kemudian tidak berpikir tentang keterharuan. Dia langsung melakukan thawaf, lalu duduk di tempat yang agak longgar, tidak terlalu berdempetan dengan jamaah lain. Posisinya kira-kira 50 meter dari bangunan yang baru dikelilinginya. Tidak mungkin dirinya duduk lebih dekat lagi dengan bangunan suci itu sebab jamaah harus memberi jalan bagi muthawifin.
Selama duduk si sawo matang hampir tidak berkedip menatap bangunan di depannya. “Jadi, inilah Kakbah!” katanya penuh kepuasan. Dibayangkan olehnya bangunan itu didirikan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail sekian ribu tahun yang lalu ketika peradaban belum menjamah Tanah Airnya. Dari sisi umur saja bangunan itu sudah mengagumkan, apalagi dari nilai kerohanian yang dikandung. Memang matanya tidak menangkap keindahan arsitektur pada “monumen kuno” itu. Dia malah ingat ada kawannya di Tanah Air yang mengejek Kakbah sebagai bangunan dengan arsitektur aki mobil. Memang Kakbah menyerupai aki mobil berukuran raksasa yang terlempar ke tengah hamparan pualam yang luas. Sebaliknya dia tahu persis bahwa si pengejek lupa bahwa Kakbahlah yang dijadikan kiblat umat sejagad. Tidak ada orang salat tidak menghadap ke Kakbah. Oh, malah lebih dari itu. Posisi umat yang sudah mati pun menghadap ke bangunan yang sederhana itu. “Jadi aku sedang ada di dekat fokusnya umat sejagad baik yang sedang shalat maupun yang sudah mati!”. Maka makin mantaplah kalimah talbiyah meluncur dari mulutnya.
Mungkin saja piramid-piramid di Mesir tergolong peninggalan kuno yang bernilai arsitektur tinggi, toh si sawo matang tidak berminat mendatanginya. Sebagaimana bangunan-bangunan tua di Tanah Airnya tidak memiliki daya pikat batiniah baginya. Memang dia sempat berdecak kagum melihat candi-candi peninggalan nenek moyangnya. Namun kekagumannya cuma sebatas mulut dan matanya, bukan batin dan hatinya. Sedangkan keberadaannya di dekat Kakbah pada hari ini ia rasakan sebagai kenikmatan yang luar biasa. Mengapa? Karena hari ini dirinya menjadi salah seorang dzuyufullah alias tamu Allah. Alangkah membanggakannya! Mendapat undangan dan kemudian menjadi tamu bupati saja bagi dirinya sebagai orang kecil biasa sudah membanggakan. Adapun dirinya hari ini menjadi tamu Sang Penguasa Alam Semesta. Kehadirannya pun atas panggilan-Nya. Rasa bangga itu makin mengembang karena dia mengira dirinya mungkin jadi yang termiskin di antara sekian juta tamu Allah pada tahun ini. Soalnya untuk bisa datang ke mari dirinya harus menabung dan melakukan penghematan bertahun-tahun lamanya. Hampir tidak ada orang seprofesi dengan dirinya sanggup melakukan hal yang serupa.
Tak dihitungnya sudah berapa ribu atau belas ribu kali kalimah talbiah ia ucapkan. Dia pun tidak peduli dengan jamaah yang duduk di dekatnya, entah sudah berapa ratus atau puluh kali berganti. Kekhusyukan dan keasyikan batiniah telah menenggelamkan dirinya dalam ketidakpedulian terhadap kondisi sekelilingnya. Ketika orang di kiri-kanannya duduk merapat barulah dia sadar bahwa telah terjadi perubahan, jamaah yang semula longgar jadi rapat dan bahkan agak berdesakan. Alangkah mengejutkannya ketika secara khusus dia mengedarkan pandang. Hamparan pualam yang berhektar-hektar itu sudah dipenuhi oleh jamaah yang bershaf-shaf, teratur rapi, membentuk lingkaran yang berlapis-lapis dengan Kakbah sebagai titik fokusnya! Dia jadi sadar saat salat dhuhur hampir tiba. Diliriknya arloji, menunjuk pukul 15.30.
Kembali mata ia edarkan, maka tertataplah pemandangan yang tidak akan pernah terjadi di permukaan bumi kecuali di sini. Jutaan manusia dari segenap penjuru dunia sedang bersiap mengerjakan salat. Jutaan manusia itu tidak hanya tertebar di hamparan pualam saja, melainkan juga berlapis-lapis di tiap lantai masjid bahkan sampai atap masjid. Dengan demikian lingkaran manusia yang tertata rapi itu tidak hanya membentang horizontal, tetapi juga berlapis-lapis vertikal. Pantaslah bila dramawan terkenal di Tanah Airnya yang pernah menyaksikan fenomena ini berkomentar bahwa tidak ada drama superkolosal yang bisa menandingi ritual keagamaan yang satu ini. Apalagi “pelakunya” terdiri atas ribuan etnis dan bangsa.
Tanpa ia sadari wajahnya kemudian menengadah, seolah mau melapor kepada Yang Maha Tinggi: “Ya Allah, hamba-Mu sebanyak ini sedang bersiap memuji keagungan-Mu.” Tentu saja dia tidak menatap wajah Allah di sana. Yang tertatap tidak lain mentari garang yang hampir berkulminasi. Melihat benda angkasa itu yang posisinya agak condong ke depan si sawo matang sadar bahwa dirinya sedang menghadap selatan. “Oh!” pekiknya dalam hati. Dia pun sadar, mulai hari ini pikiran bahwa kiblat identik dengan barat harus ditanggalkan.
Pesona dan kejutan lain segera menyusul beberapa menit kemudian. Arus muthawifin terhenti, disusul dengan dikumandangkannya azan. Lafalnya tentu saja sama dengan lafal-lafal azan di mana pun dan kapan pun. Yang agak beda adalah iramanya, tapi itu kurang penting baginya. Yang ia rasakan jauh berbeda adalah gaung azan itu. Luar biasa. Pengeras suara di menara-menara dan tiap sudut masjid serentak memancarkan azan dengan volume yang tinggi, tapi bening, jelas, dan mesra sekali, seolah mengelus semua hati insan beriman. Dalam alunnya tidak dikotori oleh berisik elektronik, tidak ada unsur teriak apalagi bentak. Yang tertangkap olehnya adalah kemesraan dan kelembutan. Si sawo matang pun mengaku di Tanah Airnya dia sering meremehkan ajakan salat itu dengan berbagai alasan. Alangkah memalukannya!
Sesudah jamaah yang jutaan jumlahnya itu melakukan salat sunnah sendiri-sendiri, maka dikumandangkan iqomah oleh muadzin, tanda dimulai salat dhuhur berjamaah di bawah pimpinan imam. Drama mahakolosal yang lain pun dimulai. Mula-mula jutaan manusia tegak berdiri. Semua menunggu suara imam. Hening. Ketika takbir diucapkan oleh imam sambil mengangkat kedua tangan, diperkuat oleh muadzin, maka serentak jutaan tangan jamaah terangkat diiringi suara takbir bergumam, seolah suara irama bas yang menggenang di lembah Mekah ini. Belum pernah si sawo matang mendengar suara takbir seagung itu. Kembali keheningan menjamah lembah.
Adegan-adegan yang serba luar biasa, mengagumkan dan menakjubkan itu membuat si sawo matang tenggelam dalam keterpukauan. Tidak disadari dirinya sudah berjam-jam dipanggang oleh mentari bulan Agustus yang garang sekali. Sehabis melakukan salat sunnah ba’diyah, barulah dia merasa terjadinya ketidakberesan pada raganya. Kalau sekadar lapar, masih bisa ditahan, tetapi yang ia rasakan lebih berat lagi. Lunglai. Raganya kehilangan tenaga. Karena ritual-ritual utama siang ini sudah selesai, maka dia berupaya cepat-cepat balik ke pondokan untuk minum sebanyak-banyaknya dan makan, lalu istirahat, memulihkan kondisi fisiknya.
Meski jamaah masih banyak bertahan di masjid dia meninggalkannya. Begitu berada di jalan raya, di luar masjid, laki-laki 50 tahun itu terpana. Semua pejalan kaki, baik yang menuju maupun meninggalkan masjid, berpayung atau melindungi kepalanya dengan sajadah. Adapun dia meninggalkan pondokan tadi hanya bersarung, baju koko dan peci, persis seperti dirinya tiap pergi ke surau di kampungnya. Bangunan di sini umumnya menjulang tinggi, tapi laki-laki itu tidak bisa berlindung dari sorot mentari yang ganas. Di jalan yang dilewati tidak ada bayang-bayang gedung karena mentari baru saja berkulminasi. Hanya ayunan langkah yang cepat sajalah yang bisa mengurangi derita akibat sengatan mentari, biar lekas sampai tujuan. Ternyata kakinya tidak bisa mengimbangi kemauan hati. Bahkan kemudian dia berjalan sempoyongan. Dia pun menghentikan langkah dan mencoba bersandar ke tembok bangunan yang dilewati. Oh, panas! Peci dilepas, tangan kiri bertumpu ke tembok dengan dilapisi peci. Beberapa saat dia bisa berdiri dengan tubuh yang relatif tegak. Namun kemudian semua orang, semua gedung dan bahkan jalanan nampak bergoyang. Hampir saja dia terjengkang kalau tubuhnya tidak ditahan oleh orang di belakangnya.
Lebih dari itu orang tersebut dengan cekatan membuka tutup botol air mineral, mencangap mulut si sawo matang dan menggelontor kerongkongannya dengan air. Sebagian isi botol diguyurkan ke kepala dan wajah orang yang lagi kepayahan itu. Mata si sawo matang pun berkedip-kecip. Beberapa pejalan kaki tanpa diminta ikut memberi pertolongan. Mereka mencoba mengajaknya berbicara, tapi tidak terjadi komunikasi. Kartu identitas yang tersemat di baju si sawo matang telah membantu para penolong memapahnya menuju pondokan.
Sampai para penolong menyerahkannya kepada kawan-kawan sepondokan si sawo matang belum sempat mengucapkan terima kasih. Mereka, termasuk yang menolongnya paling awal, sudah keburu meneruskan langkah.
****
ITU terjadi kemarin. Dia tidak ingin pengalaman yang kelewat pahit itu terulang. Pada siang ini pun dia ber-i’tikaf lagi. Karena dia akan berada di masjid sejak sebelum shalat dhuhur sampai bakdal magrib, maka di pondokan dia makan siang lebih dulu dan minum banyak-banyak. Disiapkannya payung dan sajadah. Ketika dia mau membawa botol minuman kawan-kawannya melarang. “Jangan! Di dalam masjid banyak gentong minuman. Ingat, di dalam masjid, bukan di pelataran!” Memang dia kapok berjemur di pelataran. Meski tetap tidak mengajak kawan, dia akan ber-i’tikaf di dalam masjid.
Lantai masjid yang lebih tinggi daripada pelataran menyebabkan jamaah yang duduk di shaf terdepan mendapat keuntungan, kecuali terlindung dari sengatan mentari juga dapat memandang ke depan tanpa halangan. Kakbah di tengah hamparan pualam tertatap jelas sekali. Ketika si sawo matang sampai ke masjid shaf itu sudah penuh. Bahkan shaf kedua pun tidak dapat menampung jamaah lagi. Jadi dia duduk di shaf ketiga. Meski tidak sempurna dia merasa puas juga, sebab posisi makin ke belakang makin ciut pandang ke depannya. Lebih puas lagi dia karena duduk tepat di sebelah gentong air. Di lihatnya gentong itu dilengkapi sebuah kran, sedangkan beberapa gelas plastik tersedia di dekat kran.
Setengah jam pertama tidak terjadi gangguan atas kekhusyukannya ber-i’tikaf. Salat, doa dan kaimah talbiah meluncur terus dari hati dan mulutnya. Namun kemudian terjadilah sesuatu di luar perhitungan. Jamaah yang kehausan tidak mungkin langsung mengambil air minum ke gentong. Mereka dengan isyarat minta dikirim gelas berisi air. Gelas berisi air segera estafet pindah tangan menuju ke si peminta. Jadi dari si sawo matanglah estafet dimulai. Dia menadahkan gelas di bawah kran, memutarnya, lalu menyerahkan kepada orang di sebelahnya untuk kemudian disampaikan kepada si peminta. Tidak hanya itu, dia juga menerima kembali gelas-gelas kosong. Meski tidak berkewajiban mencuci gelas yang sudah kosong toh tugas itu cukup merepotkan. Apalagi permintaan tolong tidak hanya datang dari shaf ketiga saja, juga dari shaf di depan maupun belakangnya. Kekhusyukan sirna sama sekali.
Anehnya laki-laki itu kemudian berpikir bahwa menolong orang kehausan pun bernilai ibadah, sehingga tugas itu diterimanya dengan ikhlas. Akhirnya gentong kosong. Meski posisnya dimiringkan tetap saja kran tidak meneteskan air. Mereka yang kehausan mengalihkan perhatian ke gentong lain. Waktu itu upacara salat dhuhur sudah lama terlampaui, bahkan hampir salat asar. Ketika itulah si sawo matang kembali mau memusatkan pikirannya pada shalawat dan doa, justru bersamaan dengan kondisi tubuhnya melunglai. Ia pun ingat pengalamannya kemarin. Dia bingung, menoleh ke kiri-kanan, mencari gentong lain. Tiba-tiba, tidak sampai 10 meter dari tempat duduknya ada orang mengacungkan tangan sambil berteriak:
“Maa’! Maa’!”
Si sawo matang mengira orang itu minta air, sehingga dia memberi isyarat bahwa gentong di dekatnya sudah kosong. Orang asing itu mengulangi teriakannya sambil mengacungkan botol minuman. Kembali dia meyakinkan orang itu bahwa gentong sudah kosong. Aneh justru orang itu menyerahkan botol di tangannya kepada orang di sebelahnya untuk diteruskan kepadanya. Alangkah kaget si sawo matang, ternyata botol yang diterima bukan botol kosong!
“Isyrob! Isyrob!” kata si pemberi botol sambil memeragakan orang mereguk air.
Orang-orang di sebelahnya pun ikut mempertegas isyarat itu. Maka diminumnya isi botol itu sampai tuntas. Seketika urat-urat tubuhnya segar kembali. Belum lagi mulutnya mengucapkan “Alhamdulillah” sudah terdengar azan asar dikumandangkan. Serentak jamaah terdiam, memusatkan perhatian pada suara itu. Meski tak sempat secara khusus mengucap terima kasih kepada si pemberi air, laki-laki sawo matang itu menatap tajam-tajam profilnya. Membersitlah pikiran di benaknya bahwa laki-laki pemberi air itu, seperti halnya orang yang kemarin menolongnya di tengah jalan, mungkin bukan manusia biasa melainkan malaikat yang diutus oleh-Nya untuk menyelamatkan dirinya dari maut.
Dari Catatan Haji 1406 H
Tegal, 28 Juli 2006
Catatan:
1. thawaf: ritual mengelilingi Kakbah tujuh kali
2. i’tikaf: berdiam diri (duduk) di dalam masjid
3. muthawifin: orang-orang yang melakukan thawaf
4. kalimah talbiyah: kalimat khas diucapkan orang yang sedang melakukan ibadah haji beserta rangkaiannya
5. dzuyufullah: tamu-tamu Allah
6. shalawat: pujian kepada Nabi Muhammad
7. maa’: air
8. isyrob!: minumlah!
9. iqomah: aba-aba untuk berdiri melakukan shalat
10. muadzin: orang yang azan
11. sunnah ba’diyah: shalat tambahan yang dilakukan sesudah shalat wajib