MASA-MASA TERTOLAK KARYANYA SENDIRI

Nurel Javissyarqi

Kala lesatan ruang-waktu bagai jepretan kamera atau film-film pendek banyak editing, sempoyongan memasuki lorong sakral terlampau purba. Teks usang tak mau dijamah kejelian kekinian, kehendaknya ke tubuh-tubuh lama mengerami kenangan.

Di mana tertolak karya sendiri, tak jua menyusup meski melewati kekhusyukan. Keluar-masuk tidak memberi apa-apa. Namun pada tempat sepantasnya, kesembuhan menyampaikan salam berseri-serasi seolah tiada kesadaran memasuki kembali.

Segugus prosesi kejumudan teks menghantar pemahaman. Nyata ada ruang tak ingin dihuni serupa kamar tiga belas atau pinggiran pantai sering menelan korban yang lalai. Menunjuk ke wajah-wajah tertimpa celaka oleh terlupa dilenakan kisah sekitarnya.

Yang terekam bathin takkan terhapus, paling mengendap di ujung ingatan. Kala banjir tiba, terangkat bebatuan apung mengabarkan pernah terjadi letusan gunung. Di sini pemikiran diandaikan hati kelembutan. Datang tiba-tiba sehalus perencanaan berpijak daya bersarang meretasi kemenjadian.

Lantas pengetahuan melejit tak terkendali mengadakan bayangan di cermin, dan hanya tangan tak sampai menggayuh tersebab menutupi diri. Padahal menerima terlebih dulu, akan mudah memasuki dinaya ingatan mengalir.

Mengikuti jalur kereta api yang tertinggal sekelebatan terfahami dan setiap lintasan dirasai, yang tidak terekam sampai. Selaksa kisah belum dituturkan mulai mematangkan diri bergumul dalam kawa pertimbangan, berbentur lawan menuju posisi terlupakan. Maka bersiaplah menerima kelupaan yang kumaksud tertolak.

Mungkinkah mencintai tiada embel-embel atau membenci tanpa rentetan peristiwa? Ini cantelan suatu masa dapat ditariknya. Embel-embel bukan pokok bahasan tetapi mengingatkan, olehnya jangan heran kedirian, sebelum berkali-kali menyelami inti pribadi. Berbolak-baliknya hati sedari sisi-sisi timpang jiwa diintriki kerahasiaan.

?Ketika karyaku menolak hatiku seperti linglung alamat rumah bathinku.? Yang ada ruang waktu kebendaan, tiada nilai yang diugemi bisa menandaskan makna hayati. Haruskah mengejar kelanggengan, mengantarkan diri menjadi sandaran nilai-nilai kehidupan?

Cantelan dan sandaran sebagai peringatan pula alat memasuki dunia lebih diakal. Semisal mengalami goncangan ateis; dunianya hampa tanpa pamor wasangka. Sebatang tebu diisap manisnya, seampang tidak bisa didaur ulang lagi bagi ruhaniah mempuni.

Ruang tertolak tanpa aba-aba, nyata ada wilayah halus menggiring ke sana. Lahan lembut tidak pedulikan piranti sekitar yang mampu mendukung tetap waspada. Usah sebaliknya ke sungai besar tiada sampan atau jembatan, putus asa di tengah jalan kandas. Jika ada setitik, kapan waktu ke ruang penyeberangan dilayarkan kreatif lebih.

Harapan mengangkat kaki-kaki lumpuh belajar menggerakkan perasaan berkekuatan magnetik. Di sini kamar tiga belas boleh terbuka dan pantai sakral dilabuh bunga-bunga, lalu kesegaran menyamudra berjiwa merdeka.

Masa-masa memasuki ruang tidak biasa; kata sebagian orang letak sejati pencarian. Benarkah? Oh jawaban cepat terlampau menggoda serupa mitos hujan lewati ribuan jendela langit, saat belum adanya pemahaman putaran awal sungai-sungai.

Nalar menjelajah hingga gugur kausalitas belum purna, terganti pemahaman anyar yang kelewat tidak masuk akal. Tapi jalannya dapat diterka, dijangkau lemparan dadu sekalipun di meja perjudian nasib.

Menguasai pencarian menyelidiki diri, bersiap sampai batas tidak terjamah. Gila mengamini ruang kemungkinan lebih jumlahnya tetap waras. Selaksa singasana Tuhan tak terjangkau kecuali kalbu hambanya, hati tertedah makna tidak pangling terkejut rupa.

Masihkah mengenal belahan lain memori ditindih teror menjadi-jadi di setingkap pergulatan bathin pada jenjang usia ingatan? Perlukah berhitung sejauh langkah, sependek apakah ruang mungkin dimiliki?

Menggerus kebodohan kaki-kaki mengucurkan darah segar perasaan malu. Kala itu boleh dipetik hasil berserakan, menjumputi ikan-ikan dari jejaring dimasaknya dalam periuk kerinduan.

Ini mengembalikan mimpi bunganya tidur yakni realitas bunganya impian. Sebanding purnanya mata uang pertukaran kasih kegenapan mawas tiada oleng bujuk rayuan angin. Sejiwa raga penolakan halus kentara pada hidup adanya nafas-nafas kerja.

Sisi lain periode tersiksa atau siksaan terlampau dalam serupa jasad tidak dapat kenali dirinya, sekeadaan kesemutan duduk terlalu lama. Tantangan luar tidak menujah segera mencipta tameng perlawanan, tekanan rendah kurangnya pompaan hasrat melampaui anganan.

Di sinikah pijakan melesat? Tertolak membawa teks-teks lama berkesegaran baru, sehembus tiupan pendewasaan di atas jenjang tingkatan dilalui. Lalu tekanan darah normal mengaliri alam fikiran perasaan berlipatan, selapisan kata-kata dalam puisi yang jernih.

Atau kegenitan cemburu, misalkan prasangka menyudutkan diri menjaga semangat. Cukuplah ini memaknai karya yang tak mau ditundukkan tuannya.

Pertarungan di atas sosok-sosok kembar berkekuatan sebanding yang mengancam perolehan sedari penggalian. ?Tunduk pada karya atau pada diri yang membara.?

2009

2 Replies to “MASA-MASA TERTOLAK KARYANYA SENDIRI”

  1. Tidak ada yang musti saling menundukkan, Kang, tapi bagaimana keduanya berjalan seiring sebagai kawan perjalanan, sebagai istri atau anak-cucu kita.
    Salam

  2. untuk menuju sesuatu tentu ada yang ditinggalkan, Muhammad (SAW) pun sejatinya mengurbankan keluarganya dalam kefakiran dunia, demi syiar yang teremban dipundaknya… suwon kawan…

Leave a Reply to N Jav Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *