Membaca Rupa

Riadi Ngasiran
http://www.jawapos.com/

Keindahan hanyalah derivasi dari kebenaran; sesuatu yang benar pastilah indah. Tetapi, sesuatu yang indah belum tentu benar. Thomas Aquinas

Ruang-ruang pameran adalah perhelatan kreativitas untuk menyampaikan pesan-pesan. Seniman menghadirkan pertanggungjawabannya kepada publik dan publik berkesempatan menimbang, memberikan penafsiran, atau mungkin mempergulatkan pengalaman personal dalam menghayati karya tersebut. Kedalaman atau kedangkalan sebuah interpretasi segera tampak dari seberapa jauh seseorang mempunyai pengalaman membaca sekaligus mengasah wawasan.

Bila mencermati praktik seni dari waktu ke waktu, segera kita mengetahui bahwa seni merupakan ruang praktik penciptaan makna (signifying practice) yang mempunyai keunikan tersendiri dan otonom. Yang harus disadari, otonomi seni tidaklah bersifat mutlak atau total. Sebab, seni adalah produk sejarah. Ia selalu relatif. Praktik-praktik budaya saling memengaruhi pada tingkat produksi, representasi, regulasi, maupun konsumsi seni.

Seni otonom dalam arti mempunyai kode-kode dan konvensi representasi artistik yang dimediasi ke bentuk serta bahasa dan ideologi visual. Selain itu, seni adalah produk dari faktor-faktor politik dan ideologi, yang terejawantah dalam kekhususan karya itu sendiri. Itulah yang diistilahkan Antariksa dalam sebuah diskusi di Jogjakarta pada 2004 sebagai estetika konstruktivis; keindahan dipahami sebagai sebentuk fungsi sosial. Menurut aksiologi, estetika konstruktivis terkesan subjektif; kualitas indah dan tidak indah terletak pada sudut pandang si penilai, bukan benda yang dinilai. Konsep itu merujuk pada kehadiran seni sebagai bagian dari pertanggungjawaban kepada masyarakat. Selain pada kreasi F.X. Harsono, hal tersebut terdapat dalam karya Dadang Chris?tanto, Mulyono, Saiful Hadjar, Semsar Siahaan, dan Tisna Sanjaya. Pada lain sisi, terdapat estetika esensialis. Ia sebentuk estetika yang lebih bersifat auratis, yang disebut “indah”, apa pun makna kata itu. Menurut aksiologi, estetika jenis itu lebih objektif; kualitas indah dan tidak indah terletak pada benda.

Dalam otonomi seni, sesungguhnya ranah pe?mikiran estetika menjadi titik tekan. Ide otonomi itu merupakan bagian dari semangat modernisme yang dianggap sebagai gerakan khas perkembangan seni rupa. Ia bertujuan membebaskan bentuk serta menjadi tantangan perkembangan seni dari wujud dan pemikiran tradisional. Modernisme, sebagaimana kita tahu, kemudian dianggap sebagai titik tolak perkembangan kemajuan seni rupa. Melalui semangat modernisme itulah perkembangan seni rupa modern mencapai bentuk seperti sekarang. Dalam catatan Rizki A. Zaelani, perkembangan seni rupa modern kita juga mendapatkan penentangan dari berbagai praktik seni rupa postmodernisme.

Seni dikembalikan ke jati dirinya untuk berperan membantu masyarakat berefleksi. Bila kemudian merosot menjadi propaganda atau komoditas yang direkayasa pemegang hegemoni politik dan ekonomi, seni telah kehilangan otonominya. Di situlah urgensi kehadiran karya Djuli Djatiprambudi, Musnahnya Otonomi Seni (Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur, 2010), didiskusikan pada 27 Mei 2010 di Universitas Negeri Surabaya. Ia mengingatkan, seraya menerima saran Theodor Adorno, demi otonomi itu seni harus semakin mengambil jarak terhadap politik masyarakat birokratis. Untuk mengembalikan peran seni pada orbitnya, seni yang memiliki kekuatan intrinsik dapat mendorong refleksi secara estetis sekaligus tidak mengisolasi seni dalam kebenaran kreatif dalam masyarakat modern demi keutuhan masyarakat itu sendiri.

Para seniman adalah pelaku-pelaku aktif, terlibat dalam medan reproduksi budaya, suatu mekanisme reproduksi sosial tempat pengetahuan dan cita rasa yang terdistribusikan melalui karya. Dus, estetika bukan semata-mata suatu ekspresi subjektif yang praktiknya mendapatkan representasi dalam diskursus publik. “Modal budaya” itulah yang oleh Pierre Bourdieu dinilai berperan dalam medan budaya tempat cita-rasa dinormakan dan dijadikan mekanisme klasifikasi sosial.

Sejalan dengan kritik Bourdieu, Max Horkheimer, dan Adorno dari tradisi filsafat kritis, estetika dipandang sebagai mekanisme represi yang terinternalkan melalui kekuatan sosial yang mengakar dalam, kemudian secara politis mengontrol cara-cara bekerjanya supremasi hegemoni praktik budaya sehingga berdampak efektif. Kecurigaan para pemikir dari tradisi filsafat kritis itu dipahami dalam konteks proyek modernisme di bawah logika pencerahan (enlightenment), yang meskipun memberikan ruang kebebasan individual secara otonom “untuk memilih” dalam medan budaya, termasuk berkesenian, preferensi artistik orang pada umumnya sangat ditentukan oleh posisi di kelas sosial -kapitalis-birokrat atau proletariat, keterpelajaran atau kejelataan.

Sekadar memasuki contoh kasus, sebuah perhelatan seni rupa berdimensi kritis dan mempergulatkan peristiwa. Sebuah meja makan dilengkapi dengan kursi dan seperangkat alat makan untuk empat orang. Piring, mangkuk, dan gelas diisi dengan kupu-kupu yang ditancapi jarum. Sebuah pesan segera kita tangkap. Yakni, saat kita menikmati sesuatu, tentu ada orang lain yang menderita. Memang karya instalasi itu bagi si seniman merupakan ikhtiar untuk kembali mengingatkan masyarakat akan insiden kemanusiaan yang terjadi ketika reformasi bergulir di Indonesia, yakni tragedi Mei ’98. Karya tersebut menyampaikan suara yang telah tenggelam oleh waktu dan terkubur sebagai sebuah sejarah kelam bangsa Indonesia, suara perempuan-perempuan etnis Tionghoa yang menjadi korban pemerkosaan.

F.X. Harsono, si seniman itu, memberikan judul Bon Appetit atau Selamat Makan pada karya instalasi yang dipamerkan di Distrik Kesenian 798, Beijing, tersebut. Gelaran itu merupakan rangkaian pameran solo bertajuk Surviving Memories, hasil kerja sama galeri seni Indonesia, Vanessa Art Link, pada 2009. Karena itu, Harsono menyampaikan pesan yang terekam dengan memasang lukisan-lukisan di sepanjang galeri putih. Karya instalasi lain yang menarik perhatian pengunjung berjudul Pengantin Mei. Karya tersebut memamerkan sebuah maneken bergaun pengantin gaya Eropa yang telentang dan diterpa hujan jarum. Sebagai gadis yang menjaga kesucian, seharusnya ia bahagia pada hari pernikahannya karena akan memberikan sesuatu yang paling berharga kepada suaminya. Namun, kegadisan tersebut justru diambil paksa oleh orang yang asing bagi dia. Busana pengantin gaya Eropa memang dipilih karena gadis-gadis Tionghoa di Indonesia sudah tidak lagi mengenakan pakaian ceongsam khas Tiongkok, melainkan memakai gaun putih model Barat.

Demikianlah sebuah peristiwa memperoleh spektrum yang lebih luas, menembus ruang dan waktu yang tak terbatas dalam pameran. Peristiwa pertama, sebuah tragedi kemanusiaan kembali didedahkan dalam bahasa rupa, terekam dalam ingatan kolektif sebuah komunitas, lalu akhirnya menjadi milik kita bersama -sebuah tawaran universalitas nilai tentang keberadaban kita yang tercabik-cabik, mengerikan, dan bersifat ganas. Itulah kebiadaban yang selalu dikutuk pada setiap zaman, tapi selalu muncul lagi. Kita seolah tak cukup kenyang dengan pengalaman buruk, tertelan waktu, melupakan, lalu diingatkan akan kehadirannya.

Dalam dimensi lain, kita tahu bahwa dunia seni mengajak kembali merenung (reflective thinking) tentang aku, engkau, dan kita sebagai individu beradab, bermartabat, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Meski berada di ranah rekaan, seni lahir dari suatu realitas yang telah ditafsirkan guna menjejakkan kepemimpinan imajinasi. Seni pun mengajak publik merenungi realitas yang sudah terejawantah sebagai spiritualitas. Seni menyadarkan kita pada pemahaman baru tentang realitas secara lebih segar, tak terduga, dan indah. Agaknya, di situlah kata-kata Thomas Aquinas tentang yang benar dan yang indah itu menemukan relevansi. Bila berasal dari Tuhan, sebagaimana dimaksud Aquinas, kebenaran yang ilahiah pasti membawa sifat-sifat keindahan.

Djuli pun bertanya lagi, kenapa hingga abad ke-20 belum lahir karya-karya fenomenal yang sekaligus agung, melampaui karya Michelangelo pada zaman renaisans. Andre Malraux, seorang sastrawan dan diplomat Prancis pada masa pemerintahan De Gaulle, di tengah peringatan 500 tahun Michelangelo pada 6 Maret 1976 memberikan jawaban: Sebab, manusia modern tak percaya lagi kepada manusia.

Karena itu, pada akhirnya segala ranah pengetahuan dan estetika, puisi dan seni, berpusar pada manusia untuk menemukan nilai-nilai hakikinya. Berkeadaban itulah yang sesungguhnya menjadi kata kunci untuk memahami ma?nusia dengan segala dimensinya.

Bila kita membaca buku Modern Indonesian Art: from Raden Saleh to the Present Day (Denpasar: Koes Karnadi, exc art editor, 2006), peran Djuli cukup membantu mendudukkan sejumlah nama seniman Jawa Timur di konstelasi seni rupa Indonesia. Pun dalam Musnahnya Otonomi Seni, pembacaan Djuli akan perubahan dan pergeseran paradigma seni dengan hadirnya generasi yang lebih segar dan energik dari seniman sebelumnya cukup memberikan kontribusi berarti. Meskipun, beberapa waktu kemudian masih bisa ditunggu getaran karya sejumlah nama yang pernah dicatat Djuli, hingga menunjukkan kehadiran yang benar-benar mewakili zaman masing-masing. (*)

*) Penelaah seni rupa, tinggal di Surabaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *