(Wawancara dengan Eko Wahyudi, ketua Komite Seni Tradisional Dekajo dan ketua Palambang)
Fahrudin Nasrulloh
Pembentukan Dewan Kesenian Jombang (Dekajo) pada 25 Februari 2010 di alun-alun Jombang menjadi harapan besar bagi tumbuh-kembangnya kesenian tradisi yang selama ini kurang begitu mendapatkan tempat di batin warganya juga pemerintah daerah. Pentingnya menakar sejauh mana pegiat kesenian menggali sekaligus memaknai sumber daya dan potensi kesenian, agar kesenian menjadi sebuah kesadaran publik. Salah satu pegiat kesenian yang selama ini dikenal adalah Eko Wahyudi. Ia merupakan ketua Palambang (Paguyuban Ludruk Arek Jombang) dan ketua Komite Seni Tradisional dalam Dewa Kesenian Jombang yang baru terbentuk itu. Di bawah ini adalah wawancara saya selama 1 jam 29 menit, pada 5 Maret 2010, di kantor Desanya di Jabon, dengan Pak Eko Wahyudi terkait pemikirannya soal pengembangan kesenian Jombang.
FN: Dengan terkukuhkannya DKJ pada 25 Februari 2010, anda telah terpilih sebagai ketua Komite Seni Tradisional, apa bayangan anda tentang bagaimana arah ke depan untuk memajukan seni-budaya di Jombang?
EW: Yang pertama saya akan segera mengumpulkan seniman tradisi yang ada di Jombang, maunya bagaimana, dan di situlah kita akan menyusun program, ya menyerap aspirasi dululah, sebelum kita rapat kerja. Yang terpenting adalah pemberdayaan seni tradisional dan pembinaannya. Bila perlu nanti masing-masing seni tradisonal mempunyai kelompok sendiri, seperti wayang, kan ada Pepadi, sebagai perkumpulan seniman wayang. Atau Palambang. Sehingga dengan itu koordinasi lebih mudah. Kita bentuk dulu organisasi perunit dari seni tradisi itu. Dari situ koordinasinya lewat ketua-ketua organisasi tersebut. Nah, data ini penting untuk pemetaan seni tradisi, kalau tidak begitu kita tidak tahu apa saja persoalannya. Juga kaderisasi seniman menjadi hal utama, dengan cara semisal pembentukan sanggar-sanggar kesenian. Contohnya, mana ada kaderisasi seniman ludruk? Nggak ada. Maka kantong-kantong kesenian berupa sanggar ini nanti diharapkan menjadi barometer untuk melihat perkembangan tiap kesenian. Yang membentuk sanggar itu bukan Dekajo, tapi kita mendorong pegiat seni untuk membuat sanggarnya sendiri. Anggaran akan coba didistribusikan lewat sanggar ini sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Para seniman senior akan melatih di sanggar-sanggar itu. Sehingga nanti kaderisasi mulai SD, SMP, SMA, dapat menimba pengalaman berkesenian di sini. Setelah itu tahun berikutnya kita mendorong Dekajo untuk mengadakan lomba-lomba agar ada semangat, apa itu piala bupati, atau yang lainnya yang ini dapat memicu kreativitas dan kecintaan terhadap kesenian Jombang.
FN: Perubahan zaman terus bergerak, dunia teknologi makin maju, dan masyarakat makin banyak pilihan dalam mengapresiasi hiburan dan persepsi mereka terhadap kesenian. Dalam kondisi demikian menurut anda di manakah posisi dan keberadaan seni tradisi?
EW: Pertama kita akan mengajak semua elemen pegiat seni tradisi untuk berkumpul merembukkan bagaimana seni tradisi Jombang dapat digemari warganya. Kita akan berusaha mengemasnya sebaik mungkin. Contohnya Palambang sendiri, pementasan diharapkan hanya 2 sampai 3 jam. Karena ruang-lingkup apresiasi masyarakat perlu dipertimbangkan. Tidak mungkin kita meyajikan pertunjukan ludruk semalam suntuk. Kita buat tontonan yang enak bagi mereka. Kedua, soal armada pemain, harus dibatasi, bukan 50-an lebih, mungkin 25 personil cukup. Kadang hal ini yang menjadi keberatan penanggap karena harus memberi makan semua pekerja ludruk itu. Selanjutnya tontonan ludruk harus menjadi tuntunan. Tidak main seenaknya sendiri. Misi-misi program pembangunan pemerintah disuarakan di sini. Demikian pula jenis kesenian lainnya. Nah, bagaimana menciptakan pertunjukan yang dapat dikangeni masyarakat, inilah tantangannya. Kita sudah merencakan bekerjasama dengan stasiun televisi, kemarin kita coba menjalin kerja bareng dengan Indosiar. Kita tunggu hasilnya.
FN: Bagaimana anda melihat seni tradisi dalam kaitannya dengan industri kreatif dan ekonomi kreatif?
EW: Kenapa sekarang generasi muda makin tidak meminati seni tradisi? Ini yang harus segera dicarikan formula untuk mengemas pertunjukan yang efisian dan baik saat dipentaskan. Yang terpenting lagi, bagaimanakah keterlibatan pegiat seni dengan warganya. Banyak sebenarnya warga yang masih mencintai seni tradisi. Terobosan yang kini saya tempuh, kebetulan saya sebagai pengurus Asosiasi Kepala Desa dan Perangkat Desa (AKPD) se kabupaten Jombang, saya sebagai wakil kepala tiga, bukan kapasitas saya sebagai anggota Dekajo. Nah di luar system ini, nanti bagaimana saya melakukan pemberdayaan kesenian di desa-desa. ada dana sekitar 7 sampai 8 juta dalam setahun. 2,5 juta yang selama ini sudah ada anggarannya untuk karang taruna, dan akan diusulkan ditambah dana 5 juta untuk seni tradisi. Kalau sudah ada anggaran itu, kita akan berupaya memberdayakan seni tradisi yang ada di desa maupun bisa mengusahakan pendanaan dari luar. Ada 306 desa di Jombang, ini akan jadi menarik untuk pengembangan ke depan, jika agenda ini dapat berjalan melalui koordinasi dalam koridor AKPD ini, insyaallah akan memunculkan satu perubahan baru.
FN: Sehubungan dengan dinamika ludruk, dalam 2 sampai 3 tahun terakhir ini seperti apakah anda melihat situasi dan kondisi ludruk di Jombang?
EW: Secara umum ludruk Jombang tidak mengalami perubahan secara siknifikan. Terkait rendahnya penguasaan menejemen ludruk dan kualitasnya yang kurang baik dalam konteks sebagai tontonan untuk masyarakat sekarang. Contohnya, katakanlah standar tanggapan 6 juta, tapi ada grup ludruk yang berani banting setir menerima tanggapan dengan harga 5 juta. Konsekwensinya, penyajian tanggapannya asal-asalan. Ini banyak terjadi di lapangan. Ya, kualitas tidak diperhatikan. Kurang pekanya seniman ludruk terhadap perkembangan jaman juga sangat mempengaruhi mutu sajian.
FN: Ada anggapan sebagian orang yang menilai bahwa ludruk sudah punah, ataukah malah peminat ludruknya yang telah punah?
EW: Masyarakat kita kini memang banyak yang merasa asing dengan seni tradisi. Terutama ludruk, tantangannya kompleks. Sajian pertunjukan ludruk masih banyak yang perlu dibenahi. Tidak semua problem dapat dijelaskan, karena soal ini juga terkait tidak hanya pada diri pribadi saya untuk memecahkannya. Ya berpulang kepada seniman ludruknya, SDM mereka, mau maju atau tidak. Jika mau maju, ya bagaimana ludruk bisa enak ditonton di masa yang serba banyak hiburan ini.
FN: Selama ini kita mengenal apa yang disebut dengan istilah Palambang atau kepanjangan dari Paguyuban Ludruk Arek Jombang. Apa yang melatari munculnya Palambang?
EW: Ceritanya begini: saya pribadi pada saat itu mencalonkan diri sebagai Kepala Desa Jabon di Kecamatan Jombang pada 2005-2006, kemudian saya menjalin semacam perkenalan lalu intens berhubungan dengan pimpinan Ludruk Sari Murni, Pak Tajuk Sutikno. Saya ngomong-ngomong kenapa sih Ludruk Sari Murni tidak aktif. Pak Tajuk menjawab bahwa dirinya sudah males menjalankan ludruknya. Terus pada suatu saat saya berjanji padanya, “Mas, besok kalau saya akan jadi lurah, ayo dilakokno ludruke.” Setelah itu, terus berkembang-berkembang, dan ketika saya jadi Kepala Desa, saya syukuran di desa saya dengan nanggap Ludruk Sari Murni. Pak Bupati Suyanto saya undang. Seorang teman Pak Yanto, yaitu Pak Rus Riyanto, orang TPI, juga datang. Suatu hari saya bersama Pak Rus Riyanto sowan ke Pak Yanto mengobrolkan ludruk dan lain-lain. Dari situ saya kenal akrab dengan Pak Bupati, bahkan sekarang seperti keluarga. Saya minta bantuannya bagaimana Ludruk Sari Murni bisa nobong keliling. Bantuan ini diharapkan bagaimana agar tidak ada pajak untuk izin keliling nobong. Yang utama adalah bagaimana kesenian ludruk tetap eksis. Pak Bupati setuju, terus saya diminta meneruskan dan menghadap Bu Wiwik (istri Pak Yanto yang saat itu menjadi ketua IPSBI: Ikatan Persatuan Seni Budaya Indonesia), ini atas usulan Pak Joko Suwarno, dengan tujuan seperti yang saya disampaikan kepada Pak Yanto. Maksudnya keliling nobong ke seluruh kecamatan di Jombang. “Lha ludruknya siapa?” sambut Bu Wiwik. “Ludruk Sari Murni, Bu.” “Yo ojo! Mosok Sari Murni tok, yo ambek ludruk liyane yang ada di Jombang,” sarannya. Nak ungkapan inilah embrio dari lahirnya Palambang. Kemudian kami berembuk: saya, Pak Joko Suwarno, Pak Tikno, Pak Gempur Humas, dan Mas Hadi Purwanto. Dari diskusi itu akhirnya kita memutuskan untuk membentuk organisasinya dahulu. Sari Murni sudah tidak kita bicarakan dalam pokok pembahasan di sini. Kita buat dil lagi. Lalu ada arisan lurah se Kecamatan Jombang di rumah saya. Saya juga ngundang para pimpinan ludruk. Pak Bupati hadir. Diskusi seputar ludruk intinya. Lha selang satu minggu, saya bekerjasama dengan Humas Pemda Jombang, Mas Pur itu. Di radio Suara Jombang telah ada agenda setiap bulan sekali siaran langsung seni tradisonal. Dananya 1 juta dari Disporabudpar. Lalu saya tantang Pak Tikno, ayo berani ngludruk gak, tak carikan duit, kata saya. Dana yang dibutuhkan saat itu sekitar 5 juta. Jadi saya tombok 4 juta-an untuk itu. Nah dalam acara ludrukan di halaman depan Suara Jombang itu, Bu Wiwik tambah tertarik. Terus akhirnya ada diskusi yang hasilnya dibentuklah Palambang pada awal 2007. Yang membentuk Humas Pemda diwakili oleh Mas Gempur dan Pak Agus. Ditunjuklah saya sebagai pimpinan Palambang. Saat itu semua pimpinan ludruk diundang. Yang diundang 23 grup, tapi yang hadir cuma 16. Dan seterusnya dan seterusnya.
FN: Sejauh manakah Palambang menjadi sebuah paguyuban yang kondusif bagi grup-grup ludruk dan mampu mewadahi aspirasi seniman ludruk di Jombang ataukah justru sebaliknya?
EW: Itu yang dulu, karena pada waktu setelah dibentuknya Palambang kita keliling dengan menggandeng 23 grup ludruk di Jombang. Tapi yang ikut hanya 18 grup. Yang 4 grup dari 18 itu tidak ikut, karena mereka memisahkan diri membentuk kelompok lain yang disebut Forpesbul, tapi mereka ini nggak jalan lama. Saat itu Palambang belum ada kegiatan konkrit. Hanya memberitakan keberadaan grup ludruk di Jombang kepada masyarakat. Dan 18 grup itu dikelilingkan untuk mendukung pencalonan kembali Pak Yanto sebagai Bupati pada 2008. Lha 4 grup ludruk yang di Forpesbul ini yang mendukung pencalonan bupati Pak Nyono hanya tampil sekali di Ngoro. Jadi di sini perlu diluruskan terkait kesenian yang mungkin dianggap dimanfaatkan oleh situasi politik pilkada waktu itu, maka, menurut saya, ini harus kita pandang bahwa keterkaitan grup-grup ludruk itu tatkala dikelilingkan adalah sebagai bentuk kecintaan Pak Yanto terhadap ludruk. Karena itu boleh-boleh saja dan sah-sah saja bila beliau menggandeng mereka untuk ikut mendukung pencalonannya. Jadi tidak perlu kita menyikapi secara negatif. Maka dari situ, Palambang sebagai corong pemerintah berfungsi untuk menyiarkan program-progam pembangunan di Kabupaten Jombang. Setelah kita keliling ke seluruh kecamatan yang berjumlah 23 kecamatan itu, hanya kurang 5 pementasan. Maksudnya 5 pementasan itu dipending. Karena sudah distop anggarannya dari Pemda saat Pak Ali Fikri menjabat sementara sebagai bupati karena Pak Yanto ikut tampil dalam pilkada. Tapi setelah Pak Yanto jadi Bupati lagi, 5 jadwal itu diteruskan dengan biaya dari kocek Pak Yanto sendiri. Semua ludruk yang ikut keliling itu tanggapannya masing-masing 4,5 juta.
FN: Kerja konkrit apa yang sudah anda lakukan bersama Palambang?
EW: Palambang sekarang segera akan mengumpulkan ketua-ketua grup ludruk se Kabupten Jombang untuk diskusi bersama berkaitan dengan kaderisasi. Dan sanggar Palambang harus segera dibangun. Jadi nanti kita diskusikan itu secepatnya.
FN: Berarti ini yang akan dilakukan? Bukan yang sudah dilakukan Palambang?
EW: Ya betul sekali, ini yang akan kita lakukan. Segera. Karena sekarang ada Dekajo juga. Karena selama ini kita masih dalam proses mengajukan proposal. Dan belum tentu disetujui sesuai dengan pengharapan.
FN: Berarti kerja konkrit yang sudah dilakukan Palambang nggak ada?
EW: Belum. Belum ada.
FN: Selain kaderisasi, apa program Palambang?
EW: Kita akan kelilingkan Palambang ke seluruh kabupaten di Jawa Timur. Tujuannya untuk meraih bukti bahwa kesenian ludruk itu berasal dari Jombang.
FN: Ini akan menyerap dana yang sangat besar. Seperti apa sumber anggarannya?
EW: Ya kita akan agendakan lewat Dekajo. Setidaknya 38 kabupaten di Jawa Timur akan kita kunjungi dengan sajian pertunjukan ludruk. Ya sampai 3 tahun ke depanlah rute keliling ludruk itu. Sampai 2013 masa akhir kepengurusan Dekajo yang baru dibentuk kemarin.
FN: Melihat kondisi ludruk yang digambarkan di atas tampak begitu banyak persoalannya, mulai dari senimannya yang kurang kreatif, soal apresiasi penontonnya, dan pengelolaan ludruk. Kira-kira menurut anda apa yang mendesak untuk terlebih dulu diselesaikan?
EW: Sebut saja ketika di tahun 2009, seperti dalam ludruk, dengan cara meminimalisir nomor induk. Harapan kita adalah bagaimana aturan itu bisa berjalan dengan baik. Artinya kenyataan di lapangan banyak seniman ludruk yang saling berseliweran dalam berbagai tanggapan. Disporabudpar harus jelas dengan mengacu pada kenyataan di lapangan. Saya menilai begitu mudahnya Disporabudpar memberikan nomor induk bagi setiap jenis kesenian. Ketika sudah diberi izin lurahnya ya sudah beres, di samping persyaratan lain semisal terkait jumlah anggotanya, dan Disporabudpar langsung membuatkan induknya. Anggota ganda itulah permasalahannya. Nah pertanyaan saya, apakah 26 grup ludruk yang ada di Jombang sekarang itu lengkap anggotanya, dan tidak terjadi silang-ganda antar grup satu dengan yang lainnya? Mustinya Disporabudpar mengecek itu di lapangan, sebagaimana pada tahun 1990-an duhulu. Ini sempat jadi gegeran antar seniman ludruk, antar kita, dan dengan pihak pemerintah.
FN: Persoalan lainnya apa, yang terkait itu?
EW: Begini, perlu segera Disporabudpar menertibkan persoalan induk kesenian. Satu, karawitan itu nggak usah dikasi induk. Masak ada induk karawitan. Sebab karawitan itu bagian dari alat perlengkapan dari seni tradisional. Wayang, ada karawitannya. Ludruk, ada karawitannya. Ia cuma pelengkap sebenarnya. Karawitan kalau ada induknya itu di lapangan kenyataannya malah menjadi “ludruk separuh”. Lihat saja sendiri, karawitan di situ ada remonya, ada lawakan ludruknya. Ya akhirnya ludruk nggak payu kan. Jadi ngrusak akhirnya karawitan itu. Ludruk separuh? Jadi lucu kan? Yang kedua, seni campursari. Ini juga sama kasusnya dengan karawitan. Tanggapan “karawitan plus” dan “campursarian plus” demikian yang tanggapannya biasanya hanya 3 sampai 4 juta tersebut harus segera ditertibkan, kalau tidak hancur ludruk kita. Orang, baik seniman ludruk maupun masyarakat penanggap, jadi pilih praktisnya. Keberadaan ludruk makin terancam, dan tidak lagi mengenal pertunjukan ludruk yang semestinya. Tapi hal ini tidak sekaku yang saya uraikan di atas, artinya kita juga tidak bisa menolak kenyataan lain berupa membatasi kreativitas, namun harus ada batas-batas tertentu yang harus dirembukkan kembali secara bersama-sama.
Harapan kita dari sosok Pak Eko Wahyudi yang memiliki prinsip hidup: “bersikap, berbuat, untuk mengabdi” ini ke depannya dapat bersumbangsih bagi perkembangan seni budaya di Jombang, khususnya ludruk, dengan mematrikan semboyan “mekaring seni lan budoyo agawe sentosaning nuso lan bangsa”.
***