Cornelius Helmy Herlambang
http://m.kompas.com/
Eksistensi teater payung hitam kembali diuji dalam pementasan Puisi Tubuh yang Runtuh di Gedung Kesenian Sunan Ambu, Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung, akhir pekan lalu. Teater hitam kembali mengekplorasi gerakan tubuh minim kata-kata sebagai pamungkas perayaan ulang tahun y ang ke-27 bertema Memerdekakan Teater Indonesia.
Kali ini, teater yang didirikan Sis Triaji, Nandi Riffandi, Budi Sobar, dan Rachman Sabur ini mengajak penonton bangga dengan produksi mandiri dengan mengesampingkan naskah teater asing. Teater ini kembali mengekplorasi gerakan tubuh minim kata-kata sebagai pamungkas perayaan ulang tahunnya yang ke-27. Hal itu ditunjukan dengan hentakan kaki, pukulan berulang-ulang pada tubuh, dan sentuhan antar pemain.
Selain pementasan teater, diadakan juga diskusi bertema Memerdekakan Teater Indonesia, Pementasan Zetan karya Putu Wijaya, dan Tubuh Ruang Meja Merah Tumbuh Batu Bunga karya Tony Broer.
Adegan dibuka dengan kerlap kerlip lampu panggung berdekorasi empat tiang bambu dan patung tanah liat berbentuk manusia 1,65 s entimeter bertopeng panji berwarna putih
Tak lama kemudian empat orang keluar dengan mengacungkan empat topeng berbeda di tangannya. Mereka adalah Kelana (Yanuar IR) , Pamindo (Dwi Ginulur Aswari), Jingga Anom (Ipan Mulyana), Dian Lugina (Rumiang). Mereka sebagai kelompok teater yang ada di Indonesia. Sedangkan topeng digambarkan sebagai pengaruh asing yang coba merenggut daya kreatif mereka.
Tak lama kemudian, sosok Tumenggung (Rusli Keleeng) setinggi 3 meter pun memasuki arena panggung. Sembari membunyikan genderang yang memekanan telinga, raksasa itu mendekati satu persatu pembawa topeng. Dengan mata melotot, raksasa sengaja mengarahkan genderangnya pada masing-masing pembawa topeng. Ia memaksa mereka untuk segera menggunakan topeng. Raksasa di ibaratkan sebagai gempuran naskah asing yang menyerang teater Indonesia.
Hingga pada satu ketika, topeng yang dipakai pun terasa berat. Topeng jatuh dan hancur berkeping-keping. Rasa putus asa mulai membucah. Keempat orang itu seperti anak kehilangan induknya.
Hingga suatu saat mereka masih ingat pada asal muasal mereka yang digambarkan dengan patung tanah liat bertopeng putih. Mereka sadar kalau itu dalah tanah air dan sumber hidup mereka. Mereka pun kembali dan belajar pada patung itu yang disimbolkan dengan membasuh muka dengan air, mengusap, dan mengam bil tanah liat. Hingga mereka pun sadar itulah identitas yang selama ini mereka abaikan. Klimaksnya, raksasa itu mati karena kehabisan tenaga setelah kelelahan memukulkan genderang tanpa hasil.
“Hingga saat ini, banyak kelompok teater Indonesia terlalu asyik dengan naskah dari luar negeri,” kata Sutradara Rachman Sabur.
Saat ini masih banyak teater Indonesia yang tergantung naskah dan metode pementasan teater luar negeri, kata Sutradara Rachman Sabur menceritakan garis besar pementasan.
Rachman mengatakan, hal itu membuat teater Indonesia terkekang dan tidak merdeka. Mereka tidak menyadari banyak permasalahan masyarakat Indonesia yang layak menjadi naskah menarik. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan guna merangsangnya. Diantaranya, mencontoh semangat pembuat naskah teater tradisi, menggabungkan ide cerita dengan hal serupa yang terjadi di negara lain, atau mengadaptasi naskah luar negeri dengan latar belakang cerita Indonesia.
Putu Wijaya dengan Aum bisa dijadikan contoh pelaku teater yang kerap membuat naskah sendiri. Teater Payung Hitam dengan Teater Lunatics asal Belanda tahun 2004 yang menggarap Black Moon bisa dipelajari bila ingin menggabungkan ide cerita asing dan lokal. Sedangkan Suyatna Adirun dengan Romeo dan Juliet, bisa dijadikan panutan ketika mengadaptasi naskah luar negeri.
Dalam diskusi, seniman Kota B andung Harry Dim mengatakan teater Indonesia tidak kalah dengan negara lain. Contohnya, teater kolaborasi Richard Scher dari Amerika Serikat sebenarnya sama dengan garapan Rendra. Teater Partisipatoris karya Augusto Boal (Brasil) mudah ditemui dalam pertu njukan longser atau topeng bekasi. Atau, teater komunitas karya Eugenio Barba (Italia) mirip dengan Teater Celah Celah Langit pimpinan Iman Sholeh.
Indonesia juga berhasil membentuk semacam genre baru dalam teater yaitu mengutamakan olah tubuh seperti yang diperagakan payung hitam. Tubuh diyakini memiliki kekuatan menyampaikan pesan tanpa harus dibumbui dengan percakapan, kata Herry.
Pengamat Seni dan Budaya Halim HD mengatakan, ada dua keadaan pelik yang menaungi teater Indonesia yaitu mati karena minim kreativitas dan terus berkarya tapi tidak memiliki identitas.
Halim mengatakan, minimnya pendokumentasian karya membuat teater Indonesia sulit merdeka. Saat ini, banyak kalangan teater muda tidak lagi mengenal karya besar. Ia mencontohkan Teater Muda Bengk el Surabaya yang pernah dipimpin Basuki Rahmat yang mengambil ludruk sebagai tema pementasan. Akibatnya, banyak teater tidak mempunyai anutan dan menjadi konsumtif memanfaatkan naskah asing dalam beragam pementasan.
Salah satunya membina konservatorium seni dan budaya sebagai tempat pengembangan karya seni daerah. Selanjutnya, pemerintah mengangkatnya sebagai daya tarik kunjungan dengan membangun regulasi dan sistem transportasi ke tempat itu, kata Halim.