Memetakan Trend Puisi 2009

Judul: 60 Puisi Indonesia Terbaik 2009
Editor: Joko Pinurbo
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun: I, Februari 2009
Tebal: xxiii + 146 halaman
Harga: Rp 43.000
Peresensi: Zaki F*
http://www.koran-jakarta.com/

Menikmati Hidangan di Kafe Puisi

Membaca puisi mungkin belum sepopuler membaca novel. Saat coba membacanya, sering kali puisi susah dimengerti, lantas kadang bikin sebel. Namun, apakah tertutup peluang untuk masuk dan duduk di kafe puisi, lalu memesan menu pilihan yang sudah diseleksi oleh koki terkemuka, lantas mencicip barang sekecap dua kecap? Tentu tidak. Anggap saja kafe puisi tak kenal waktu tutup dan buka. Kapan pun, siapa pun, dapat bersama menjadi pelanggan setia demi menyantap sesuatu yang diduga bisa menyediakan keindahan, makna, atau syukur-syukur, keduanya.

Buku antologi puisi berlabel Anugerah Sastra Pena Kencana ini mengoleksi puisi terbaik dari puisi di koran terbitan 1 November 2007 hingga 31 Oktober 2008. Karena itu, meski dalam judulnya tertulis 2009, 11 puisi justru berasal dari koran terbitan 2007, dan sisanya (sebanyak 49 puisi) dari tahun 2008.

Beragam aliran puisi tersaji di buku ini. Panjang dan pendeknya pun tak satu macam. Pilih yang romantis atau malah ingin yang tragis, semua bisa dicoba. Aku rela menghampar sebagai rerumputan lembut, permadani yang menjagamu dari pepucuk duri, urai Kurnia Effendi. Terkutuklah kita/jikalau maung melayu/di sarungku di kerudungmu/tak terbaca hantu waktu/jadi gelang tak berlengan/jadi cincin tak berjari/. Demikian sebagian jampi dari Marhalim Zaini. Sebab/kita hanya embun/yang sebentar lagi/akan sirna, kata Fitri Yani. Ada Jokpin yang bergaya bersama tiga puisi, salah satunya masih memakai celana. Celana yang mana? Entahlah. Yang pasti celanamu/pernah dipakai bermacam-macam orang, jawab Jokpin untuk pertanyaan yang berbeda.

Minat pada nuansa kemanusiaan atau ketuhanan, semua dapat dirasa. Keremangan yang dinyalakan tentu tidak sama. Ada yang terang benderang. Ada pula yang agaknya bergelap-gelap. Banyak yang semacam ratusan neon jalanan. Ada juga yang mungkin setingkat kunang-kunang di balik semak. Tapi tentu, para puisi sama-sama berhak menjadi cahaya prismatis yang istimewa, bagi berjenis-jenis ruang jiwa.

Selain puisi siap saji, buku ini menghidangkan semacam resep dan catatan kaki perihal puisi. Arif Bagus Prasetyo menyebut istilah metapuisi (puisi tentang puisi). Tak kurang dari enam puisi (karya Frans Nadjira, Warih Wisatsana, Ook Nugroho, Hasan Aspahani, dan TS Pinang) yang dapat dicontohkan. Dengan demikian, buku ini tampak cocok bagi kalangan pendidikan. Sebab para metapuisi itu dapat menjelma jadi teropong sederhana untuk melihat-lihat pemandangan puisi mutakhir di luar sana. Selain itu, tepat pula bagi para pembelajar penulisan puisi, sebab dapat menjadi pemandu sekaligus penandu yang mengusung inspirasi.

Semangat untuk bersama-sama menyelamatkan sastra (hal. xiii) juga terlontar lugas, sedayung selaju dengan biduk puisi yang konon kini ditengarai, sedang berwarna cat muram-nelangsa. Kendati begitu, dialog imajiner gubahan Hasan Aspahani (Blog Sejuta Puisi, 2007) barangkali akan terasa berguna, yaitu bahwa puisi telah kehilangan banyak kepercayaan pembacanya (Goenawan Mohamad), mungkin karena sebetulnya ketidakpedulian masyarakat pada kesusastraan, berpangkal pada kurang adanya keyakinan akan manfaat kerja dan hasil budaya itu (Subagio Sastrowardoyo).
Teaser:
Beragam aliran puisi tersaji di buku ini. Panjang dan pendeknya pun tak satu macam. Pilih yang romantis atau malah ingin yang tragis, semua bisa dicoba.

*) Anggota milis Komunitas Puisi FLP. Kini aktif di FLP Bogor

Leave a Reply

Bahasa ยป