Maman S. Mahayana *
“Seks sama berharganya dengan ajal,” begitulah Michel Foucault menempatkan perkara seks dalam sejarah umat manusia. Oleh karena itu, manusia selalu menempatkan kedua barang berharga itu –seks dan ajal—sebagai ‘menara gading’ yang hanya boleh disentuh oleh para tetua yang bijaksana atau mereka yang sudah dewasa dan sudah beranak-pinak. Begitulah, seks dan ajal menjadi sebuah peristiwa penuh mistis dan terkesan sakral.
Meski gagasan Michel Foucault itu ada paralelisme dengan pandangan Sigmund Freud yang juga menekankan pentingnya seks dalam hubungannya dengan problem kesadaran dan ketaksadaran manusia, Foucault mengupasnya lebih jauh ke belakang. Sebelum Freud, misalnya, orang sengaja melokalisasi seks dalam tataran fungsi reproduksinya atau lokalisasi anatomisnya. Sejak zaman Victoria awal abad ke-19 (1819) seks hanya dapat dibicarakan dalam lingkungan rumah tangga, dipingit rapi, ditutupi tersembunyi, dibenamkan seolah-olah seks hanya berurusan dengan persoalan reproduksi. Akibatnya, jadilah seks seperti benda ajaib yang menggairahkan, namun cukup dipraktikkan saja, tanpa perlu didiskusikan.
Cukup ia berada dalam tataran pengalaman individual yang berada di balik selimut. Seks menjadi sesuatu yang begitu luhur, sakral, konsevatif, dan sekaligus memberi pengesahan pada kemunafikan dan kemanipulasian. Orang tak dapat membicarakannya di tempat terbuka sembari tertawa ngakak atau di warung-warung pinggir jalan sambil minum kopi. Mengungkapkannya secara transparan dianggap sebagai tidak berbudaya. Maka, seks hanya dapat dibicarakan di tengah bisik-bisik dalam ruang sempit tempat tidur. Gerakan tutup mulut seperti telah menjadi kesepakatan. Orang pun menikmati kemunafikan dengan perasaan terhormat.
Sama halnya dengan seks, persoalan ajal, maut atau kematian, dibiarkan tetap sebagai misteri tanpa ada usaha untuk memahaminya. Kematian seperti ditempatkan sebagai urusan Tuhan dan manusia hidup dilarang keras mengutak-atik misteri di baliknya. Membicarakannya dengan enteng akan dianggap menentang dan sekaligus juga menantang Tuhan. Oleh karena itu, ajal, maut, dan segala yang berhubungan dengan misteri kematian, bukanlah topik diskusi yang pantas dan sepatutnya. Itu peristiwa gaib, mistis dan biarkanlah para rohaniawan yang menanganinya, agar mereka kelihatan tidak menganggur.
Demikianlah, ada banyak hal, peristiwa atau benda-benda tertentu yang lantaran terjadi pengkultusan, perlakuan yang berlebihan dan tak wajar atau tindak protektif yang tak proporsional, lalu dianggap sebagai sesuatu yang suci. Proses deprofanisasi itu sesungguhnya tidak hanya terjadi dalam masyarakat primitif, tetapi juga masyarakat modern. Jika begitu, persoalan rasionalitas atau irasionalitas, menjadi tidak penting lagi. Ada peristiwa mistis di sana, dan orang sengaja menikmati misterinya.
***
Apa hubungannya persoalan seks, ajal, dan hal-hal yang berbau purba itu dengan antologi cerpen Keluarga Gila karya Hudan Hidayat ini? Dalam hal itulah berbagai perspektif yang memungkinkan penggalian kekayaan makna teks seluas-luasnya, perlu dilakukan. Paling tidak, ada dua perspektif yang dapat kita gunakan dalam memperlakukan antologi Keluarga Gila ini. Pertama, cara penggarapan tema –seks dan ajal— yang dilakukan Hudan Hidayat seperti sengaja menghancurkan bangunan yang selama ini hanya “dibicarakan di tengah bisik-bisik dalam ruang sempit tempat tidur” dan milik para rohaniawan. Kedua, pendekatan yang tepat untuk mengungkapkan makna teks.
Dalam persoalan seks, Hudan terkesan kuat sengaja mendobrak gerakan tutup mulut dan benteng kemunafikan dan kemanipulasian. Maka, “tongkat wasiat para lelaki” dan “gua garba kaum wanita” diungkapkan secara enteng, seperti kita mengatakan anggota badan yang lain. Dengan mulus kita mengatakan tangan, kaki, mata, dan seterusnya, lalu mengapa pula harus risi mengatakan “ini” dan “itu”. Bagaimana pula peristiwa persanggamaan dan onani, yang akan menjadi masalah besar jika dikatakan anak-anak sekolah dasar, disampaikan Hudan Hidayat dengan bebas, tanpa pretensi jorok. Ia mengatakan peristiwa hubungan jantina (jantan—betina) itu, seperti ia mewartakan peristiwa tabrakan atau tawuran antarpelajar. Jadi, topik pembicaraan mengenai alat kelamin, seks, dan hubungan jantina, bagi Hudan dalam antologi cerpen ini, seperti dokter penyakit kulit sedang memeriksa penyakit kelamin seseorang atau dokter ahli kandungan yang memasang alat kontrasepsi pada seorang ibu. Jika para dokter itu –yang dengan leluasa membantu persalinan atau memeriksa kanker payudara, tak pernah dimasalahkan, barangkali Hudan hendak menempatkan dirinya seperti itu. Maka, kata apapun bagi Hudan mempunyai kualitas yang sama dan sejajar. Tak perlu kita berlaku diskriminatif dengan memperlakukan kata yang satu lebih tinggi derajatnya dibandingkan kata yang lain. Demikianlah, dalam antologi Keluarga Gila ini, mitos dan sakralitas alat kelamin, diruntuhkan!
Hal yang sama juga dilakukan dalam memandang ajal, maut, dan kematian. Kita seolah-olah menganggap kata ajal, maut, dan kematian itu, dekat benar hubungannya dengan Tuhan. Kata-kata itu seperti hantu yang mengerikan dan sangat berbahaya jika didekati. Oleh karena itu, jauh-jauhlah dari kata itu. Jika pun hendak dibahas, bicarakanlah dengan sungguh-sungguh, karena barang itu tidak boleh dibuat main-main. Di tangan Hudan, maut, ajal, dan kematian, tak lebih dari sekadar sebuah kata dengan makna tertentu yang hakikatnya tidak berbeda dengan kata apapun. Maka, dalam antologi ini, kita akan melihat, maut, ajal, dan kematian menjadi alat permainan. Tokoh-tokoh tertentu dihadirkan dengan tugas mengejar maut, memburu ajal, dan mengolok-olok kematian. Demikian juga, pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang kekuasaan Tuhan atas ajal seseorang, diperlakukan pula seperti para pelawak sedang bergurau atau politikus sedang mengobral janjinya.
Begitulah, seks dan ajal, dalam antologi cerpen ini ditempatkan sejajar, sama harganya, sama kualitasnya. Jadi, Hudan seperti tidak mau melakukan diskriminasi atas kualitas dan makna kata apapun.
Lalu, bagaimana pula Hudan menggarap soal seks dan ajal sebagai sebuah tema cerita? Untuk mengungkapkan soal seks dan ajal ini lebih mendalam, perlulah kita melihatnya melalui perspektif dan pendekatan yang tepat. Dalam konteks itu, pendekatan arketipe yang oleh sejumlah kritikus dinilai sangat ambisius, memperoleh lahan kajian yang pas. Mengingat pendekatan ini menggunakan alat bantu psikoanalisis Sigmund Freud, psikologi analitis Carl Gustav Jung, analisis fenomenologis Mircea Elliade dan Rudolf Otto atau bahkan arkeologi ilmu-ilmu budaya Michel Foucault, dan disiplin lain di luar ilmu sastra, maka tak terhindarkan, sejumlah uraian analitis atas peristiwa yang digambarkan dalam cerpen-cerpen dalam antologi ini, memanfaatkan alat bantu ilmu-ilmu tersebut. Mari kita periksa!
***
Sebagai cerpenis, nama Hudan Hidayat sesungguhnya masih tergolong baru. Antologi cerpennya yang pertama, Orang Sakit (Magelang: Indonesia Tera, 2000, 119 halaman) cukup memberi keyakinan akan kekuatan gaya bertuturnya. Meskipun secara tematis ia berada dalam barisan Joni Ariadinata atau cerpenis yang kemudian, Teguh Winarso –atau juga jauh ke belakang—Putu Wijaya—, cerpen-cerpen Hudan –menurut beberapa pengamat—mengangkat estetika kekerasan. Tentu saja penyebutan estetika kekerasan tidak tepat benar diterapkan dalam cerpen-cerpen Hudan. Pasalnya, gambaran mengenai peristiwa kekerasan itu, di dalamnya tersembunyi kegelisahan psikologis. Jadi, peristiwa itu tidaklah berdiri sendiri sebagai sebuah teks yang terpencil. Ia justru lahir dari rangkaian peristiwa psikologis yang menyerbu serempak menggoncangkan jiwa tokoh-tokohnya. Oleh karena itu, dalam kotak estetika psikologis itulah –terutama antologi Keluarga Gila ini—estetika cerpen Hudan mendapatkan tempatnya yang pas.
Meskipun demikian, tentu saja persoalan tema hanyalah salah satu unsur saja yang juga tak dapat dipisahkan dengan style, gaya dan cara pengolahannya. Tema besar dengan pengolahan yang buruk, niscaya akan menjadikan karya itu masuk keranjang sampah. Sebaliknya, tema biasa tentang kehidupan keseharian, jika digarap secara lihai dan piawai, niscaya akan menghasilkan karya yang baik. Dalam konteks ini, style Hudan Hidayat sudah memperlihatkan sebuah kepribadian yang tak lagi mencari-cari bentuk. Bahasanya memang terasa patah-patah seperti berhadapan dengan ketersendatan. Rangkaian kalimatnya tidak mengalir tenang macam gaya bercerita Danarto atau Ahmad Tohari. Justru dalam hal itulah, kepribadian Hudan Hidayat menyembul kuat. Ia pandai memperalat setiap kata yang digunakannya seperti diceburkan begitu saja ke dalam kancah peperangan. Kadang-kadang, muncul ledakan-ledakan tak terduga, sebagaimana yang dilakukan Putu Wijaya secara piawai. Tidak pula semodel dengan Joni Ariadinata yang pejal-pejal, liar melompat-lompat. Akibatnya, kata-kata yang satu dengan kata lainnya, dalam cerpen Hudan Hidayat seperti hendak saling menyerbu. Hubungan antarkalimat bergerak cepat memasuki suasana pertengkaran yang tak berkesudahan dan baru berakhir di ujung kalimat pamungkas cerpen yang bersangkutan.
Dengan mengangkat tema-tema perselingkuhan, pembunuhan, perzinahan, kanibalisme dan berbagai pemuasan naluri-naluri purba, tidak dapat lain, pilihan gaya bercerita yang seperti itu justru mendukung suasana yang hendak dibangunnya. Tiba-tiba saja kita seperti disergap teror para kanibal. Maka, kecemasan yang mengerikan atau kengerian yang mencemaskan, berebut saling memburu korban-korban berikutnya. Dan kita, pembaca, seperti disudutkan untuk menjadi korban berikutnya itu. Jadi, dari sudut kemampuannya bercerita, Hudan Hidayat sudah berhasil menempatkan dirinya dalam deretan sastrawan yang berpribadi. Ada style yang khas yang menjadi trademark-nya.
Soal berikutnya menyangkut makna. Di sinilah perkara kedalaman (kompleksitas) dan keluasan (wawasan) menjadi tolok ukurnya. Maka, untuk melihat duduk perkaranya, tidak dapat lain, kita mesti menelisik dan melakukan eksplorasi atas kekayaan maknanya. Jika ternyata kita tak menemukan makna yang patut kita renungkan, jawabannya ada dua kemungkinan. Pertama, karya itu memang tidak memancarkan sebuah problem yang kompleks dan berwawasan luas, dan kedua, sangat mungkin kita sendiri yang tak punya wawasan luas, sehingga gagal mengungkapkan kekayaan makna karya bersangkutan.
Berikut ini akan kita coba memasuki wilayah makna yang mungkin tersimpan dalam antologi Keluarga Gila Hudan Hidayat.
***
Niscaya bukan tanpa alasan Michel Foucault mengutip gagasan Pascal: “Manusia pastilah demikian gilanya, sehingga –kalaupun ia tidak gila—tetap dianggap gila dari sudut pandang kegilaan yang lain.” Sangat kebetulan antologi cerpen ini berjudul –mengambil judul salah satu cerpen yang terhimpun di dalamnya—Keluarga Gila, meskipun tentu saja persoalannya tidak sekadar itu.
Sebagaimana lazimnya yang dilakukan dalam praktik kritik sastra, pemaknaan atas teks dapat dilakukan melalui dua indikator, yaitu indikator luar dan indikator dalam. Judul termasuk sebagai indikator luar. Maka, yang pertama mesti kita lakukan adalah mencurigai judul itu; mengapa Hudan Hidayat menggunakan judul itu; apa signifikansinya atas keseluruhan tema yang hendak diusungnya, bagaimana pula kita menyikapi semuanya itu; jangan-jangan judul itu sekadar provokasi dan bermaksud hendak mengecoh dan mengelabui pembacanya. Di situlah, kita perlu melihat antologi cerpen Keluarga Gila dari sudut pandang kegilaan yang lain.
Ternyatalah, bahwa Hudan Hidayat tidak main-main dengan judul itu. Ada sesuatu yang hendak diusungnya. Cerpen “Keluarga Gila” itu sendiri memang menggambarkan perilaku menyimpang tiga tokoh: ayah—ibu—anak. Dalam hal ini, ketiga tokoh itu mengalami semacam kepribadian terpecah (disosiasi) dan kehilangan identitas, demikian jika dikaitkan dengan gagasan Jung. Keterpecahan kepribadian inilah yang lalu menggiring ketiganya saling mengintai, memburu, dan bersiasat untuk satu tujuan: membunuh! Di sana, ada problem psikologis yang erat melekat dalam diri ketiga tokohnya. Dan itu tak terlepas pula dari masalah seksualitas, kekuasaan, pengurbanan, kecemasan, kanibalisme, yang semuanya bersumber dari naluri-naluri purba. Jadi, kegilaan dalam pengertian cerpen itu adalah serangkaian penyimpangan perilaku yang dalam psikoanalisis Freud disebut sebagai simptom-simptom neurosis yang erat kaitannya dengan pengalaman psikologis masa prapuber. Baik Freud, maupun Jung, beranggapan bahwa pola perilaku atas ketaksadaran yang demikian itu merupakan representasi kepurbaan.
Jika kedua tokoh psikologi modern itu menempatkan mimpi sebagai bentuk pengejawantahan ketaksadaran, maka dalam diri ketiga tokoh itu –ayah-ibu—anak, ketaksadaran itu muncul dalam perbuatan-perbuatan purba. Dengan demikian, judul dalam cerpen itu tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga bermuatan problem psikologis yang kompleks. Cerpen lainnya dalam kumpulan ini, ternyata juga mengungkapkan begitu banyak perilaku menyimpang yang jika ditarik benang merahnya, menuju pada satu muara: kepurbaan! Agar duduk perkaranya menjadi jelas, baik kita cermati sejumlah cerpen yang terhimpun dalam antologi ini.
***
“Mimpi yang Mematikan” demikian judul cerpen yang ditempatkan di bagian awal antologi ini. Peristiwa yang terjadi dalam cerpen itu, sesungguhnya berkisar pada tiga tokoh: Suardike, Herin, dan tokoh Aku. Lalu muncul pula tokoh office boy yang membayangkan persenggamaan dengan kekasihnya, Grace. Belakangan hadir pula tokoh perawat yang cantik. Tokoh-tokoh itulah yang membangun peristiwanya lewat mimpi, ilusi, hayalan, dan sejumlah pikiran kusut lainnya. Lalu, dalam hal apa kepurbaan itu muncul dalam diri tokoh-tokohnya?
Dengan memanfaatkan gaya surealisme, Hudan Hidayat memulai cerpennya dengan frase: Seperti mimpi …. Jelas, peristiwa apa yang hendak dibangun cerpen ini: rangkaian peristiwa yang berada dalam tataran mimpi. Dalam psikoanalisis Freud dan psikologi analitis Jung, peristiwa mimpi merupakan kunci yang bermakna simbolik. Mimpi bukanlah perkara kebetulan. Ia ada hubungannya dengan problem-problem kesadaran dan gejala neurosis. Tokoh aku dan tokoh lainnya juga ternyata mempunyai problem seperti itu. Rangkaian peristiwanya sendiri tampak seperti irasional, bertumpang tindih dan saling menyergap. Tetapi sesungguhnya mengungkapkan sesuatu yang khas, sesuatu yang coba disampaikan melalui alam ketaksadaran.
Ternyata, yang dialami tokoh Aku, Suardike, dan office boy bersumber pada pengalaman seks. Dalam hal ini, peristiwa seksualitas menjadi semacam titik temu untuk membangun interaksi yang sama: persanggamaan. Jadi ada dorongan libido yang melatarbelakangi tindakan mengejar prinsip kenikmatan. Prinsip kenikmatan yang dikejar ketiga tokoh itu adalah seks yang sesungguhnya juga bermakna simbolik. Di sinilah, seks sebagai penanda tunggal diejawantahkan melalui persanggamaan Suardike dengan Herin, permainan kelamin antara tokoh aku dan office boy. Perbuatan itu tentu saja mewakili perilaku orang per orang. Artinya, ada kehendak untuk merepresentasikan bahwa perilaku seksual, meski menyimpang sekalipun, dapat dilakukan siapa saja, tanpa terganggu ikatan status sosial. Seks adalah kebutuhan segenap manusia sejak manusia pertama diturunkan ke bumi, meski tidak jarang, perilaku yang diperlihatkannya menunjukkan pola perilaku manusia purba.
Persoalan lain berkaitan dengan fungsi seks yang tidak sekadar sebagai alat reproduksi, melainkan juga sebagai penanda universal. Suardike, misalnya, jelas mewakili etnis tertentu, Herin mewakili bangsa kulit putih, dan tokoh aku mewakili manusia yang mengalami kepribadian terpecah. Melalui seks, sekat-sekat agama, status sosial, etnik, ras, dan identitas, tidak diperlukan. Di sana, prinsip kenikmatan menjadi perbuatan dan sekaligus juga tujuan. Jadi, kehadiran tokoh-tokoh dengan latar belakang ras, etnik, dan status sosial yang berbeda itu, menjadi penting karena sesungguhnya seks bertindak sebagai penanda universal. Lalu, kenapa urusan seks dihubungkan dengan darah keturunan sebagaimana yang dianut Hitlerian? Mengapa pula para wanita bangsawan melakukan gerakan tutup mulut ketika seks diangkat ke dalam sebuah wacana? Dalam cerpen itu, jelas, sekat darah keturunan, status sosial, etnik, dihancurkan ketika manusia mengejar prinsip kenikmatan. Para Libertin seolah-olah memperoleh kemerdekaan! Itulah ciri manusia purba. Jadi, di satu pihak, Hudan Hidayat mengangkat problem manusia modern, tetapi di pihak lain, ia mencampakkan keberadaan manusia modern tidak lebih dari manusia purba manakala mereka mengejar dan sekaligus terbelenggu oleh prinsip kenikmatan.
Paradoks manusia modern yang merepresentasikan perilaku purba itu, diperlihatkan pula melalui peristiwa kanibalisme –meski dalam mimpi—dan hasrat primitif lainnya. Tindakan tokoh aku yang menghisap—menjilat—menggigit merupakan bentuk lain perilaku masa lalu yang dapat dikembalikan kepada masa anak-anak, yaitu ketika libido mengalami perkembangan dari fase oral, fase anal, sampai fase genital. Maka, dua kalimat terakhir merupakan kunci, betapa kehidupan manusia modern sudah terlepas dari akar kemanusiaannya, karena yang muncul di sana tidak lebih dari perilaku dan naluri-naluri purba.”Seperti sebuah kehidupan yang terlepas dari akarnya. Seperti sebuah tawa, yang mengaburkan batas mimpi dan nyata.”
***
Cerpen “Keluarga Gila” juga mengungkapkan paradoks manusia modern. Dan kembali, Hudan Hidayat menempatkan kata kuncinya pada kalimat-kalimat awal: “Ayah memasak di dapur. Ibu membaca surat kabar –kopinya masih mengepul. Kami saling membenci. Ribuan kali ayah mau membunuh ibu, ….” Sepatutnyalah kita mencurigai Hudan yang menempatkan posisi ayah di dapur, dan ibu membaca suratkabar. Pergantian peran dalam sebuah keluarga modern, memang bukanlah hal yang luar biasa. Tetapi mengapa pergantian peran yang tak bermasalah itu, tiba-tiba dikejutkan dengan pernyataan: Kami saling membenci, dan Ribuan kali ayah mau membunuh ibu, …. Pasti ada sesuatu yang tak beres di sana. Bahkan, saat bersanggama pun, si ayah hendak melakukan aksinya. Jadi, bagaimana mungkin hubungan ayah—ibu—anak yang kelihatannya baik-baik saja di dalamnya tersimpan hasrat saling membunuh?
Di situlah pesan Pascal: harus dilihat “dari sudut pandang kegilaan yang lain” menjadi penting. Dalam kasus cerpen “Keluarga Gila” logika konvensional memang tidak diperlukan, seperti juga ketika kita mencermati tokoh gilanya Naguib Mahfouz, Lu Xun atau Iwan Simatupang. Meskipun demikian, bagi Jung dan Freud, perkara orang gila itu bukanlah problem yang tak dapat dipecahkan. Itu persoalan psikologis yang bergerak seputar neurosis, kesadaran dan ketaksadaran yang sumbernya dari segala pengalaman masa lalu. Kegagalan yang bertumpuk-tumpuk atas usaha pemenuhan prinsip kenikmatan akan muncul dalam alam bawah sadar atau bentuk mimpi.
Hasrat membunuh yang muncul dalam diri si anak (tokoh aku), sangat mungkin lahir akibat trauma psikologis perilaku menyimpang sang ayah. Pemandangan yang sama yang terus berulang kali dilihat si anak atas tindakan ayah yang hendak membunuh ibu, sudah barang tentu meninggalkan jejak yang sulit dihapus. Maka menjadi sesuatu yang wajar jika kemudian si anak, ingin juga membunuh ayah dan ibunya. Sementara hasrat membunuh yang merasuk dalam diri ibu, niscaya pada mulanya merupakan usaha mempertahankan hidup yang juga terkait dengan keinginan pemenuhan prinsip kenikmatan. Tetapi karena tindakan itu dilakukan berulang-ulang, maka tindakan ibu untuk membunuh ayah sudah bukan lagi keinginan untuk mempertahankan hidup, melainkan sudah menjadi bentuk ketidaksadaran individual. Ia mengalami neurosis. Lalu bagaimana dengan latar belakang psikologis sang ayah?
Ternyata si ayah bekas dokter bedah mayat. Jadi, ada semacam postpower sindrom yang menghinggapi diri ayah. Perilaku menyimpang ayah dapat dikembalikan pada pengalaman masa lalunya. Dalam hal ini, si ayah pun ternyata juga menghadapi problem psikologis. Bahwa kemudian keluarga itu –ayah—ibu—anak—mengalami neurosis, maka itulah yang disebut Freud sebagai ketaksadaran kolektif yang di dalamnya tersimpan naluri-naluri libido dan arketipe. Maka, ketika pada akhirnya ayah—ibu—anak itu berbunuhan dan si anak selamat dari usaha pembunuhan itu, semuanya tetap berada dalam alam ketidaksadaran.
Demikian, cerpen “Keluarga Gila” sesungguhnya merupakan simbolisasi kehidupan masyarakat modern yang terjebak pada ketidakmampuan menyalurkan naluri-naluri libidonya. Bentuk kompensasi (pengalihan) yang dilakukan ayah dengan keinginan membunuh ibu, justru berakibat melahirkan ketidaksadaran kolektif. Jadi, ketidaksadaran kolektif masyarakat modern pada hakikatnya tak berbeda dengan tindak primitif yang dilakukan masyarakat purba.
***
“Seks sama berharganya dengan ajal,” begitulah Michel Foucault. Dalam antologi cerpen Keluarga Gila ini, Hudan Hidayat menempatkan seks dan ajal sama pentingnya sebagai tema cerita. Maka, urusan seks hampir tak dapat dipisahkan dengan kematian, maut, dan pembunuhan. Demikian juga sebaliknya. Ketika Hudan mengangkat tema kematian, ia seperti tak kuasa menolak masuknya peristiwa-peristiwa seksual. Jadi, seks dan maut, bagi Hudan seperti dua sisi mata uang; saling melengkapi dan komplementer. Dalam masyarakat purba, masalah kematian dan seks memang ditempatkan dalam siklus kehidupan yang sangat penting.
Sementara itu, dalam masyarakat modern, kematian memang dianggap penting. Tetapi di sisi yang lain dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan. Maka, kehidupan begitu disanjung. Segalanya untuk kehidupan. Di situlah, nyawa menjadi barang yang paling berharga dibandingkan dengan apapun. Akibatnya, semua tindak pikiran manusia diarahkan untuk mempertahankan hidup. Semua apapun harus diarahkan semata-mata untuk satu kata itu: nyawa!
Tetapi, kematian juga merupakan suatu keniscayaan. Manusia tak dapat menghindar darinya. Menyadari betapa pentingnya hidup, di satu pihak, dan betapa manusia tak dapat menghindar dari kematian, maka perlu dipikirkan, bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup. Jika seseorang mati, bagaimana kematiannya dapat tergantikan oleh seseorang yang lain. Di sinilah reproduksi memainkan peranannya. Dengan demikian, seks menjadi sangat penting dalam proses reproduksi sebagai salah satu usaha untuk “menggantikan” kematian. Tujuannya tentu saja untuk menjaga kelangsungan hidup. Seks pada akhirnya –seperti dikatakan Foucault— menjadi regulasi populasi. Jadilah manusia modern terjebak pada keinginan untuk terus mempertahankan kelangsungan hidup, keinginan untuk terus melakukan reproduksi, dan keinginan untuk menghindari kematian.
Apa yang terjadi dalam cerpen-cerpen ““Kucing Hitam”, “Saat yang Indah untuk Mati”, “Kawanku Meninggal” dan “Bertengkar dengan Maut” dalam antologi Hudan Hidayat ini? Ketika masyarakat modern begitu menyanjung kehidupan dan berjuang keras menghindar sejauh-jauhnya dari kematian, keempat cerpen yang disebutkan tadi, justru menggambarkan manusia modern yang mengejar dan berburu maut. Jadi, kembali, ada semacam paradoks yang hendak diangkat Hudan. Maut menjadi tujuan kenikmatan, dan bukan sesuatu yang harus dihindarkan. Dalam hal ini, Hudan seperti hendak meledek masyarakat modern melalui usahanya mempermainkan dan sekaligus juga mencampakkan kehidupan sebagai barang tak berharga. Berburu dan mengejar maut adalah tujuan mencapai kenikmatan.
Lihatlah si tokoh aku dalam cerpen “Kucing Hitam” yang mengejar-kejar maut, tetapi justru selalu gagal. Lihat pula tokoh aku dalam cerpen “Kawanku Meninggal” yang bertengkar dengan Tuhan hanya sekadar ingin membuktikan, siapa yang lebih berkuasa dalam urusan maut. Cermati pula, bagaimana tokoh Pimchan dalam “Saat yang Indah untuk Mati” memperoleh kebahagiaan selepas bersanggama dan kemudian menjumpai maut. Dalam hal ini, kematian bagi Pimchan adalah tujuan kebahagiaan. Maka, ia pun menikmati saat-saat kematiannya sebagai sebuah kebahagiaan.
Sementara itu, dalam cerpen “Bertengkar dengan Maut” tokoh aku justru ingin berbagi kekuasaan dalam soal maut. Ia ingin berjumpa dengan maut sebagai “sang Kekasih”. Maka, ia pun bersiap-siap menjumpainya. Manakala ia bersanggama dengan maut, ia tentu saja merasa terganggu ketika ada orang datang. Dalam kasus ini, bunuh diri dijadikan sebagai sarana untuk menjumpai maut. Dalam konteks bunuh diri, Michel Foucault menyebutnya sebagai bio-kekuasaan. Inilah perwujudan dari sebuah gambaran betapa manusia begitu tinggi menempatkan pentingnya kehidupan. Akibatnya, manusia dikuasai oleh permainan norma. Lembaga-lembaga hukum pun dipersenjatai dan senjatanya yang utama tidak lain adalah ajal. Maka, menjadi sesuatu yang paradoks ketika kita menjumpai sebuah cerpen yang justru menggambarkan seorang tokoh yang begitu besar keinginannya untuk berjumpa dengan maut. Di sinilah, kembali, Hudan bermaksud meledek berbagai institusi yang di satu pihak membela kehidupan seseorang, dan di lain pihak melenyapkan kehidupan orang lain. Jika begitu, hidup dan mati pada hakikatnya tidaklah berbeda. Lalu mengapa pula manusia modern begitu menyanjung-sanjung kehidupan dan menyingkirkan jauh-jauh kematian?
***
Sesungguhnya, kita masih dapat membicarakan antologi Keluarga Gila ini lebih jauh. Pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang keberadaan Tuhan, misalnya, dapat saja kita telusuri melalui gagasan Freud –yang akhirnya mengingkari keberadaan Tuhan, Jung –yang meneguhkan keberimanannya, Mircea Elliade atau Rudolf Otto yang mendekatinya lewat fenomenologis, atau bahkan Peter Berger dengan perspektif sosiologi teologis. Dengan memanfaatkan pendekatan tipe induk (arketipe) yang leluasa memanfaatkan berbagai disiplin ilmu, kita dapat mengungkapkan kekayaan teks secara mendalam dan luas. Pembicaraan sepintas mengenai antologi cerpen Keluarga Gila karya Hudan Hidayat ini –yang kebetulan mengangkat tema-tema kepurbaan— tentu saja mesti ditempatkan sebagai sebuah pengantar. Dengan demikian –dan memang seharusnya demikian— masih terbuka peluang untuk menggali lebih jauh lewat berbagai pendekatan lain dengan perspektif yang juga lain, atau, dalam bahasa Pascal: sudut pandang kegilaan yang lain.
***
Bagaimanapun juga, cerpen sebagai sebuah teks pada hakikatnya tidaklah berbeda dengan novel, puisi atau drama. Teks apapun hanya akan menjadi artefak beku tak bermakna manakala tak ada orang menjamahnya. Sebaliknya, ia akan menjadi semacam –meminjam judul buku Peter Berger— “kabar dari langit” jika kita coba menggalinya, menukik kedalamannya, dan mengungkap kekayaannya. Salah satu cerpen yang ada dalam kumpulan ini saja sudah cukup buat kita untuk mengungkap kedalamannya. Dengan cara ini, cerpen tidak hanya mempunyai wilayah kekuasaannya sendiri dalam peta kesusastraan, tetapi juga menyuguhkan kekayaan yang sama berlimpahnya, seperti juga ketika kita mengungkap kekayaan sebuah novel, drama atau antologi puisi. Dengan begitu, cerpen Indonesia makin jelas kontribusinya bagi pemerkayaan khazanah kesusastraan Indonesia. Oleh karena itu, sangat tak beralasan mengeluarkan cerpen dari kotak sejarah sastra Indonesia.
Cipayung, 29 Juni 2003
____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).