Michael Ondaatje
Pewawancara: Rilla Nugraheni
http://www.ruangbaca.com/
?Ketika kita menulis sesuatu, menemukan sebuah karakter menarik, kita akan dengan otomatis menemukan bangunan struktur cerita dan kita bebas memainkannya dalam alur yang kita kehendaki.?
MESKI bom baru saja meledak di Jimbaran dan Kuta pada 1 Oktober, sekitar seratus pengaran, sineas, seniman, dan tokoh budaya tetap datang dan mendukung Ubud Writers and Readers Festival II yang berlangsung di kampung seni Ubud, 6-11 Oktober.
Di antara mereka ada sejumlah pengarang asing, seperti Michael Ondaatje (Kanada) dan Amitav Ghosh (India), juga tamu istimewa festival ini: Presiden Timor Leste Xanana Gusmao dan istrinya, Kirsty Gusmao, beserta tiga anaknya.
Selain itu hadir pula sederet pengarang pengarang kenamaan Indonesia saat ini, seperti Ayu Utami, Azhari, Budi Darma, Cok Sawitri, Dewi Lestari, Joko Pinurbo, Nukila Akmal, Sitok Srengenge, dan Eka Kurniawan.
Selama empat hari para peserta intens mengikuti festival bertema ?Between Worlds? yang diselenggarakan Yayasan Saraswati itu. Festival dipusatkan di Hotel Indus, Ubud, sama seperti festival pertama tahun lalu.
Namun, kegiatan disebar di beberapa tempat lain di Ubud, antara lain di Left Bank, Toko Toko, Murni?s Warung, Casaluna Cafe, Alila Hotel, ARMA Museum, dan Pondok Pekak?s.
Setiap harinya, ada sekitar 4-5 acara di setiap tempat, sehingga peserta mesti bolak-balik antara satu tempat ke tempat lainnya untuk bisa menikmati acara yang dikehendakinya. Tak jarang, ketika satu acara baru usai, peserta segera beranjak menuju ke acara lain.
Acara yang digelar, antara lain, diskusi seputar penulisan buku oleh beberapa penulis seperti Surat Cinta-nya Kirsty Gusmao dan Xanana yang berisi kisah romantisme mereka, pembacaan puisi, pasar malam, penayangan film, diskusi tentang dongeng anak-anak, diskusi penggarapan teen lit atau seri tulisan remaja, peluncuran buku, dan lain-lain.
Pada malam penutupan, tampillah pengarang pemenang hadiah Booker, Michael Ondaatje, membacakan sejumlah puisi dari kumpulan puisinya, The Cinnamon Peeler (l991) dan satu prosa dari memoarnya, Running in the Family (l982).
Selama festival, Ondaatje hadir dalam sejumlah panel diskusi dan acara makan siang santai untuk berbagi pengalamannya di dunia sastra. Di sela-sela acara festival, Ondaatje menerima Rilla Nugraheni dari Tempo untuk sebuah wawancara di Media Room Ubud Writter and Readers Festival, meski semula ia menolak, sebab wawancara ini tak ada dalam jadwalnya.
Wawancara ini berlangsung menyenangkan dan penuh tawa. Penulis kelahiran 12 September 1943 di Colombo, Ceylon (sekarang Sri Lanka) ini mengenakan kemeja biru tua dan celana panjang krem. Sesekali ia mengusap rambutnya yang putih dan mengelap keringat di dahinya. Berikut petikan wawancaranya.
Anda jadi terkenal sekarang?
Iya. Ha ha ha. Saya menikmati itu. Sekarang jadi lebih banyak wawancara, bergaul dengan orang-orang dari media massa yang tertarik dengan karya saya. Itu menyenangkan sekali. Ternyata ada dunia baru yang sebelumnya saya tidak begitu mengenalnya. Jurnalisme sangat menyenangkan. Mereka bertanya banyak hal, dan saya menjawabnya. Memang saya jadi kehilangan sedikit waktu privasi saya. Tapi, tidak masalah bagi saya. Karena gantinya saya mendapat pengalaman baru.
Apa komentar Anda tentang Bom Bali?
Apa yang harus saya katakan? Itu kan sudah terjadi. Saya kira itu bukan urusan saya. Bukan saya tak bersimpati dan berempati, tetapi saya tidak dalam kapasitas berkomentar.
Anda tidak takut menjadi salah satu korban misalnya?
Ha ha ha. Tidak. Lagi pula, kebetulan, saya tidak di Bali ketika itu terjadi. Itu menenangkan saya. Saya sempat ingin membatalkan (kedatangan ke sini), tapi lalu saya pikir, buat apa. Ya, bolehlah sedikit saya khawatir. Tetapi, saya kira saya belum waktunya. Ha ha ha. Tapi, saya sedih ya dengan kejadian semacam itu. Banyak pendapat yang menyudutkan kelompok Islam yang melakukannya.
Itu mempengaruhi pandangan terhadap Islam?
Ya. Sedikit banyak pasti berpengaruh. Saya yakin itu. Tapi, dalam Islam, saya yakin tak ada itu teroris dalam agama. Tapi, saya setuju, Al-Qaidah is big enemy.
Terlintas ingin menulis buku tentang tragedi bom?
Belum. Tapi, suatu saat mungkin. Saya tidak tahu. Saya tak pernah merencanakan menulis buku. Semua ada begitu saja dalam kepala dan saya melakukan observasi.
Termasuk ketika menulis The English Patient?
Ya, saya melakukan sedikit observasi di lapangan. Saya juga memang memiliki pengalaman ketika sakit di rumah sakit.
Kapan itu?
Saya lupa. Saya tak ingat sakit apa juga. Anda mampu menghadirkan karakter pasien begitu kuat di novel itu.
Bagaimana itu bisa terjadi?
Oh, ya? Saya membayangkan menjadi tokoh-tokoh yang saya ciptakan dalam novel saya. Seperti dalam The English Patient, yang bercerita tentang orang yang sakit di tempat tidur. Ya, saya membayangkan saja seperti apa perasaannya karena terbaring terus di tempat tidur, apa yang dirasakannya, bagian tubuh mana yang sakit, pegalnya seperti apa, lalu saya mengkhayalkan siapa sih dia, latar belakangnya apa hingga ia bertindak, merintih kesakitan, mengumpat dalam putus asa, dan lain sebagainya.
Dalam novel itu Anda hampir seperti dokter?
Ha ha ha. Thank you very much. Saya mencoba menuangkan perasaan pasien, putus ada, perasaan mengetahui dirinya akan mati, sakit.
Bagaimana Anda menggali atau menciptakan sebuah karakter dalam buku yang akan ditulis?
Sebagai penulis, saya mengamati banyak hal. Saya menyelami dengan berobservasi di lingkungan. Tapi, pada intinya saya mengandaikan diri saya seperti si tokoh. Keadaan, lingkungan dia hidup, sifat dan watak apa yang sekiranya akan muncul dari lingkungan itu dan lain sebagainya.
Ketika kita menulis sesuatu, menemukan sebuah karakter menarik, kita akan dengan otomatis menemukan bangunan struktur cerita dan kita bebas memainkannya dalam alur yang kita kehendaki. Saya kira itu sebuah proses yang pasti dilalui juga oleh setiap penulis, meskipun mungkin ada perbedaan. Saya tidak suka menciptakan karakter yang sama terus menerus. Saya suka menciptakan karakter yang baru, menarik.
Itu sebuah tantangan. Saya berusaha untuk tidak menutup karakter saya sebagai sesuatu yang mengikat. Melainkan selalu terbuka, seperti berpintu dan berjendela. Itu akan memberikan kesempatan kepada saya dan juga pembaca untuk bermain- main dengan karakter tokoh.
Buku anda telah difilmkan?
Oh ya. Saya senang sekali. Itu pengalaman baru.
Anda puas?
Lumayan. Ha ha ha. Akan ada selalu perubahan dan perbedaan ketika menerjemahkan bahasa tulisan ke dalam seluloid. Sebuah novel tidak bisa diadaptasi begitu saja ke film tanpa perubahan di sana-sini. Sebab, dunia tulisan berbeda dengan film, visualisasinya berbeda. Saya kira saya puas.
Ketika mendapati perbedaan dan perubahan itu, apa yang pertama dilakukan?
Merenung. Saya lalu sadar, oh, memang berbeda. Tapi, itu tidak mengubah substansi, jadi saya baik-baik saja. Jadi, saya pun tidak melakukan apa-apa.
Buku-buku Anda kebanyakan mengambil latar belakang Sri Lanka. Mengapa?
Karena saya dilahirkan di sana. Saya tahu seperti apa negara kelahiran saya itu. Saya melaluinya dan tumbuh bersama Sri Lanka. Ia kenangan masa kecil saya. Saya tumbuh bersamanya. Jadi saya merasa bernostalgia. Saya suka menulis tentang Sri Lanka.
Menurut Anda apa yang menarik dari Sri Lanka?
Ketika orang menyebut Sri Lanka, bayangan saya adalah my big family saya di sana. Nenek saya, kakek dan juga saudara yang lainnya. Sri Lanka buat saya, ya, tanah kelahiran. Sedangkan Kanada adalah tempat saya berkarya. Bagaimanapun orang tak akan bisa melupakan tanah tumpah darah, bagaimanapun keadaannya.
Bagaimana Anda tumbuh sampai menjadi seorang penulis?
I don?t remember, ha ha ha. Orang tua saya bercerai di Sri Lanka, ada keluarga besar, paman, bibi, kakek, nenek. Jadi, saya tak hidup seperti di Bronx. Hingga kerusakan mental saya kira tak terjadi. Tapi, bagaimana saya tumbuh, saya tak tahu. Begitu banyak identitas di Srilangka, Budha, Islam, dan lain-lainnya mungkin China.
Anda termasuk yang mana?
Saya Sri Lanka. Tak pernah saya mengelompokkan diri saya ke kelompok tertentu. Itu sebuah keindahan. Memang banyak sekali buku- buku saya yang berlatar belakang negeri itu. Keluarga saya sesungguhnya berasal dari India yang bermigrasi ke India, mungkin pada abad ke-16. Mereka beranakpinak dengan berbagai bangsa, Belanda, India, penduduk setempat.
Bagaimana dengan Bali?
Saya suka sekali. Saya tak pernah mengunjungi tempat di mana saya ingin tinggal lebih lama dari tiga hari. Saya kerasan di sini. Saya tak percaya Bali bisa digambarkan hanya dalam waktu singkat. Bali begitu indah. Saya sangat exciting dengan Bali.
Dalam In The Skin of a Lion, banyak orang menganggapnya sebagai teks pasca-kolonialisme. Menurut Anda?
Saya tak pernah bermaksud menulis novel dengan tujuan genre tertentu. Silakan saja orang berpendapat demikian. Yang ingin saya tulis adalah sebuah komunitas tertentu yang kebetulan memang kehidupan kaum marginal di Kanada. Itu saja. Buat saya itu cuma cerita tentang 5 orang yang menarik saya untuk saya tuangkan sebagai novel.
Anda sedang menulis buku sekarang?
Ya, saya sekarang sedang menulis sebuah buku. Saya juga senang menulis puisi. Tapi lebih bisa bereksplorasi dalam novel.
Jenisnya?
Novel. Tapi kalau kamu bertanya tema, ceritanya, tokoh-tokohnya, saya tak mau jawab. Ha ha ha . It?s still secret.
Buku apa saja yang biasa Anda baca?
Semua buku. Novel. Saya juga senang membaca karya orang lain, menambah pengayaan. Saya suka baca John Steinbeck, penulis Mesir seperti Najib Mahfudz.
Bagaimana dengan penulis Indonesia?
Saya tak begitu kenal, mungkin karena masih sedikit yang menerjemahkan karya penulis Indonesia. Saya juga tak bisa bahasa Indonesia.
Buku favorit Anda?
Saya tak punya yang favorit. Semua saya baca. Tapi fiksi yang sureal lebih menarik minat saya. Mengapa? di sana saya bisa membayangkan bagaimana penulisnya berimajinasi, melambung dan bisa juga menukik.