Para Gila

Fakhrunnas M.A. Jabbar
lampungpost.com

MAU merasakan jadi orang gila? Bacalah cerita ini. Seekor musang di siang tegak bercintaan dengan seekor rama-rama di pokok murbai di halaman belakang tempat tinggal kami. Musang jantan mencumbui rama-rama betina begitu seronok. Sampai-sampai menitik air liurnya. Mereka saling berkecupan. Saling birahi. Daun-daun murbai yang rindang itu sambil berguncang-guncang padahal angin tak bertiup sedikit pun. Pada mulanya hanya aku yang melihat kejadian itu. Tapi secara sengaja kukabarkan pada teman-teman yang lain. Tak peduli lelaki atau perempuan. Selang setengah jam kemudian, kami jadi beramai-ramai menyaksikan percintaan yang luar biasa itu.

Saking birahinya, saat musang jantan menindih tubuh rama-rama betinia, daun-daun murbai berjatuhan. Dan, tanpa sengaja, musang yang berbulu lebat kehitaman itu terpeleset jatuh ke rerimbunan di bawahnya. Serempak dengan kejatuhan musang, dari balik rerimbunan daun bunga dan rumputan terdengar jerit yang tergesa-gesa.

“Ampun… kiamat. Ada apa nih..!” Rama-rama betina merasa malu lalu terbang menjauh.

Rerimbunan bunga dan rerumputan itu terus saja bergoyang-goyang. Bagaikan induk musang yang bermain-main bersama anaknya. Kami berusaha memelototkan bola mata agar lebih jelas melihat apa yang terdedah di depan. Sejenak muncul punggung seorang lelaki setengah baya berbaju putih. Sekelabat tampak pula seorang perempuan muda juga berbaju putih. Tapi yang pasti, baju keduanya sudah kusut masai karena saling menindih. Benar, mereka sedang melakukan percintaan gelap di siang tegak. Mereka saling berkecupan. Saling birahi. Dan saling memadu kegairahan yang telah lama padam.

Maaf, aku jadi menerawang. Ceritaku di bagian awal tadi sebenarnya melukiskan kemesraan sepasang anak manusia yang sedang memadu kasih di bawah matahari siang. Jadi, bukan kisah musang yang bercinta dengan rama-rama. Kalaupun kisah itu ada tentu tak seberahi percintaan sepasang anak manusia yang baru kuceritakan.

Mau tahu, siapa sepasang anak manusia tadi? Ampun, di luar dugaan. Ternyata lelaki berkaca mata bening dan bertubuh ceking tinggi itu tak lain oknum -boleh ya, kupakai kata ‘oknum’ agar tak dituduh macam-macam- kepala RSJ sendiri. Para penghuni RSJ memanggilnya akrab dengan Pak Kepala saja. Dan sang perempuan juga tak lain Suster Mainar, suster muda yang tercantik di antara belasan suster yang merawat kami.

Alamak, aku jadi ingat kembali. Benar, memang benar percintaan musang dan rama-rama ternyata lebih birahi dibanding percintaan oknum Pak Kepala dengan Suster Mainar. Ah, bangsat! Sudahlah, sebenarnya bagiku tak penting percintaan siapa yang paling birahi. Sebab, aku sendiri tak pernah tahu bagaimana seorang perempuan muda seperti aku bisa birahi. Padahal usiaku sudah 27 tahun. Aku tak pernah merasakan percintaan walaupun menurut semua orang aku cantik-molek. Memesona. Menawan. Dan senyumku bisa menghanyutkan ratusan lelaki-lelaki di sungai birahi mereka.

Kami terus menyaksikan percintaan gelap Pak Kepala dengan Suster Mainar yang berdelau. Mereka saling tindih. Saling kecup. Saling birahi. Berjam-jam peristiwa itu berlangsung disaksikan matahari siang. Menjelang petang, Pak Kepala berdiri sambil mengibas-ngibaskan baju putihnya yang kumal. Masya Allah, tak hanya kumal. Tapi baju putih itu berlumuran darah. Mulutnya juga berdarah-darah. Ia melangkah terhuyung-huyung ke kamar kerjanya. Kami serempak bersembunyi. Semula tertawa geli. Sekarang tak. Kami jadi gusar dan waswas. Jangan-jangan lelaki jangkung itu telah membunuh Suster Mainar.

“Heh, apa yang telah kalian perbuat sampai berkumpul ramai-ramai di sini?” suara seseorang mengejutkan kami. Kami serempak menoleh. Ampun, ada Suster Mainar yang molek. Tersenyum ramah dan bergairah. Kuamati baju putihnya. Mana tahu juga ditemukan bercak darah seperti yang dialami Pak Kepala. Ternyata tidak. Baju Suster Mainar tetap utuh dan rapi. Aku dan teman-teman menatap perempuan cantik itu penuh keheranan.

Aku mewakili teman-teman menceritakan semua apa yang kami saksikan di rimbunan semak di siang tegak tadi. Suster Mainar jadi tertarik. Marahnya mulai reda. Senyuman di bibirnya mulai mengembang. Ternyata ia menikmati ceritaku sebagai sebuah kelakar yang menggelikan.

“Tapi ini fakta, Sus. Kalau tak percaya, mari kita lihat bersama,” ajakku yang diikuti Suster Mainar.

Aku bersama teman-teman mengiringi langkah Suster berbaju putih bersih itu ke rimbunan semak yang dipenuhi kebun bunga dan rerumputan. Persis di dekat pokok murbai. Memang ditemukan ada sebagian semak itu yang merunduk bagai diimpit. Ada pula percik darah yang banyak. Dan nyaris serempak kami menemukan sesosok musang hitam terkapar mengenaskan.

Suster Mainar mengerutkan dahi menyaksikan pemandangan aneh itu.

“Jadi, apa yang kalian saksikan tadi di sini?” Suster Mainar langsung menatapku dan meminta penjelasan.

“Ya, kami tadi menyaksikan pergumulan Pak Kepala dengan Suster di sini. Begitu seru. Begitu menegangkan,” ucapku perlahan dan hati-hati.

“Aku? Kalian bilang aku bersama Pak Kepala berduaan di sini?”

“Iya, Sus. Aku berani sumpah,” kataku dibenarkan teman-teman yang lain.

Suster Mainar terdiam sejenak. Pikirannya tampak menerawang sambil mengingat-ingat apa yang dilakukannya sejak pagi tadi hingga petang ini.

“Suster, tak apa-apa, kan? Sebab, kami menyaksikan tadi Pak Kepala mengempas-empaskan Suster sampai berdarah-darah. Sadis ya, Sus?” ungkapku lagi.

Kulihat Suster makin bingung. Kemudian tertawa geli. Tertawa sejadi-jadinya. Kami juga jadi ikut-ikutan tertawa bersama.

“Terus. Apa yang terjadi selanjutnya?” desak Suster Mainar lagi.

“Ya, Pak Kepala lari ke ruang kerjanya dengan berlumuran darah.”

“Ah, masak? Pak Kepala berlumuran darah?”

“Pasti, Sus. Kalau tak percaya, mari kita lihat bersama,” ajakku.

“Hep! Jangan..jangan! Biar aku yang menjumpai beliau. Sekarang, kalian bubar. Dan masuk ke kamar masing-masing.”

Suster Mainar langsung berlalu. Langkahnya bergegas menuju ruang kerja Pak Kepala. Tampak perempuan itu mengetuk pintu hati-hati. Pintu terbuka. Ia pun langsung menyelinap ke dalam.

Suster Mainar menemukan Pak Kepala duduk di tempatnya. Pak Kepala tampak gugup. Wajahnya agak pucat. Suster Mainar merasa agak heran sebab Pak Kepala tidak lagi mengenakan baju kerja, tetapi baju kaos santai. Padahal, pagi tadi, Pak Kepala datang ke kantor dengan baju kerja putih-putih.

“Ada yang aneh, Sus?” sambut Pak Kepala memulai pembicaraan sambil mencairkan kebekuan suasana.

Sejenak Suster Mainar tertunduk. Ia merasa gugup sekali.

“Begini, Pak. Bapak jangan marah kalau hal ini saya tanyakan. Penghuni di sini merasa melihat saya dengan Bapak berkencan siang hari di rimbunan bunga sana. Kata mereka, hubungan itu sangat sadis. Sampai-sampai Bapak berlumuran darah.” Suster Mainar berbicara hati-hati.

Pak Kepala sempat memegang dahi dan menghembuskan napasnya dalam-dalam. Ada beban berat menggelayut di benaknya.

“Ya, saya tak habis pikir. Kenapa bisa hal ini terjadi. Tapi, mohon soal ini jangan diceritakan kepada siapa pun. Ini rahasia. Sejak pagi, kepala saya agak pusing. Pandangan saya pun agak nanar. Seketika bagai ada suatu dorongan yang menggiring saya ke kawasan semak itu. Waktu itu, saya merasa bersama kamu, Sus. Kemudian, terjadilah hubungan yang tak pantas. Anehnya, dalam pergumulan itu aku sampai membunuh kamu sehingga darah muncrat.”

“Bapak tak sadar waktu itu?” desak Suster Mainar.

“Kalau sadar, mengapa aku harus melakukannya.”

“Lantas?”

“Sewaktu saya kembali ke ruang kerja ini, saya tiba-tiba tersadar. Saya temukan diri saya dalam keadaan tak wajar. Semua baju putih saya berlumuran darah. Entah apa sebenarnya yang saya lakukan.” Pak Kepala menggeleng beberapa kali menyimpan rasa malu.

“Mau tahu, apa yang telah Bapak lakukan?” tanya Suster Mainar mulai tertawa geli.

“Ya, kenapa? Apa sebenarnya yang terjadi?” Pak Kepala tercengang dan penuh ingin tahu.

“Bapak telah membunuh seekor musang,” tutur Suster Mainar.

“Ah, masak?! Waktu itu, saya merasa berkencan denganmu. Tapi akhirnya, saya membunuhmu.”

Sejak pertemuan itu, aku melihat hubungan Suster Mainar dan Pak Kepala kian dekat. Sebentar-sebentar, Pak Kepala memanggil Suster Mainar ke ruangannya. Bahkan berjam-jam, suster cantik itu berkurung di kamar itu. Meski aku disebut-sebut sebagai orang gila, tapi hati kecilku masih curiga kalau Pak Kepala dan Suster Mainar benar-benar main gila di sana. Siapa tahu? Ruangan itu selalu terkunci rapat. Tak seorang pun yang bisa tahu.

Pernah beberapa kali kucoba untuk mengintip dengan berjingkat di tingkap depan ruangan Pak Kepala, Satpam itu cepat-cepat mengusirku. Malah ia menghardik keras dan bertanya :

“Hah..jangan-jangan Pak Satpam juga ikut-ikutan main gila, ya?” ucapku masih cengengesan dan tersenyum-sipu. Jemariku menunjuk lemas ke arah satpam yang pemarah itu.

Ajaib, satpam itu jadi ikut tersipu. Aku jadi tertawa benaran. Terbahak-bahak. Terkekeh-kekeh. Tawa kami bersahutan. Suasana jadi gaduh seketika. Sampai-sampai Pak Kepala tergesa-gesa membuka pintu.

Aku dan satpam jadi tertawa besar lagi begitu kami lihat Pak Kepala muncul hanya dengan kaus singlet dan bercelana pendek. Rambutnya kusut masai seperti orang baru saja bergumul di tempat tidur. Tak lama kemudian, Suster Mainar menyusul di pintu. Luar biasa. Pakaiannya sangat minim. Hanya memakai BH warna putih.

Aku memandang Pak Kepala dan Suster Mainar sambil tertawa cekikikan hingga membuat semua pegawai kantor dan penghuni rumah sakit jiwa itu berhamburan ke luar.

“Benar kan…? Benar-benar sudah gila. Pak Kepala secara ceroboh main gila dengan bawahannya, Suster Mainar. Siapa yang gila sebenarnya? Aku? Kami? Atau, siapa?” suaraku kedengaran lantang sambil tertawa-tawa panjang.

“Siapa yang lebih gila? Segila-gila orang gila seperti kami tak pernah terpikir main gila sesama kami. Kami tahu… kami ini orang gila. Tapi sudahlah…di zaman gila ini semakin sulit membedakan orang gila dengan orang bukan gila.”

Lepas berteriak lantang bagaikan seorang demonstran, aku meninggalkan kerumunan itu. Aku hanya menyaksikan tiga orang polisi tergesa-gesa menuju kerumunan. Tentu, Pak Kepala dan Suster Mainar mereka seret ke kantor polisi terdekat. Sementara aku tiba-tiba ingin pulang ke rumah. Aku tiba-tiba merasa rindu rumah. Rindu pada suami, Rustam, dan tiga anakku yang masih kecil serta emakku yang sudah renta.

Aku tiba-tiba merasa tenang. Tak ada lagi pikiran macam-macam bergelayut di benakku. Aku sudah merasa bukan gila lagi. Ah, mungkin ini metamorfosis belaka. Aku jadi gila dalam kesementaraan saja.

Dalam perjalanan pulang, aku merasa jernih mengenang detik per detik yang akhirnya mengantarkanku sampai di RSJ itu. Ya, aku masih ingat, Rustamlah yang membawaku ke sana. Sebab, aku baru saja membanting Rukmini, anak kami, yang paling bungsu. Aku marah besar padanya sampai hilang kendali. Itulah biang bala yang mengukuhkan diriku benar-benar gila. Tapi sebelum itu, sebenarnya, aku sempat pula mengejar-ngejar Rustam dengan pisau hanya karena Rustam mengingkatkanku agar salat magrib. Tapi Rustam masih sabar.

Pantas Rustam dan emak menerima kedatanganku dengan ragu-ragu. Wajah mereka menyembulkan kegamangan.

“Alisa? Kau melarikan dari RSJ? Kenapa?” pertanyaan Rustam bertubi-tubi saat melihat kehadiranku di depan pintu beranda petang itu.

Aku berusaha tersenyum. Tapi Rustam diam terpekur. Ketiga anak kami memang tak muncul waktu itu. Sebab, Hilda dan Sukri pasti bersekolah sore hari. Sedang Rukmini masih tertidur pulas siang hari.

“Bang Rustam….Aku sudah tak gila lagi. Sungguh…” Aku berusaha memperlihatkan kesadaran seutuhnya. Aku berusaha bersikap wajar layaknya bukan orang gila.

“Syukur Alhamdulillah, Bang. Allah masih menyayangiku..menyayangi kita semua..Maafkan aku….!” ucapku terbata-bata.

Aku baru saja mendapat kabar dari beberapa suster RSJ, ternyata Pak Kepala ditengarai sakit jiwa. Jadi, perbuatan halusinasi yang pernah kusaksikan di RSJ itu semata-mata proses inkubasi kelainan jiwanya itu. Masya Allah, Pak Kepala sekarang sudah benar-benar gila.

Pekanbaru, 0310

Leave a Reply

Bahasa ยป