PARODI ?SYAHWAT? DAN PROBLEM JENDER

Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Cerpen, sebagai cerita rekaan yang mengolah fakta menjadi fiksi, berada dalam dunia yang di sana keserbamungkinan dan kebolehjadiannya bisa dihadirkan dalam serangkaian peristiwa. Jadi, rentetan kisahan dalam cerpen, boleh kita curigai sebagai peristiwa yang serba mungkin. Semuanya sah, lantaran imajinasi bisa menembus ruang dan waktu, bahkan juga dapat seenaknya menabrak apa pun, termasuk logika formal.

Bagi pembaca, segala keserbamungkinan dan kebolehjadian itu kerap diterima atau ditolak atas dasar parameter yang menjadi ukurannya. Dan itu bertumpu pada pengalaman empirisnya. Dalam hal ini, resepsi pembaca tidak terlepas dari usahanya mencantelkan peristiwa dalam teks (cerpen) dengan peristiwa yang (mungkin) pernah dialaminya. Itulah salah satu kekuasaan cerpen. Pemahaman pembaca terhadapnya bisa tekstual, bisa juga kontekstual. Hal itu pula yang perlu kita cermati ketika kita mencoba memahami antologi cerpen Mister Vital karya Lilimunir Croft-Cusworth (Jakarta: Djambatan, vi + 158 hlm).

Sebagian besar tokoh dalam antologi cerpen ini adalah wanita. Di sana, ada semacam tarik-menarik posisi perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki. Di satu pihak, pengarang seperti hendak menumbangkan dominasi laki-laki dan sekaligus menjadikannya sebagai pecundang, dan di pihak lain, problem jender itu sesungguhnya bersumber dari tabiat dan perilaku perempuan sendiri. Jadi, inferioritas itu seperti berada di alam ketaksadarannya. Ia mengeram hendak dienyahkan, tetapi juga tanpa sadar muncul dan mencolot begitu saja. Setidak-tidaknya, kesan itu muncul pada lima cerpen yang ditempatkan di bagian awal.

Pengambilan latar tempat di negeri asing dengan tokoh-tokohnya yang juga orang asing ?dalam beberapa cerpen?, menggiring kita untuk coba memahaminya secara tekstual. Maka, yang dapat kita tangkap adalah munculnya kesan hiperbolis. Dalam hal ini, kita seperti membaca sebuah gelegak emosi yang kadangkala gagal dikendalikan. Akibatnya, jalinan peristiwa dalam kerangka hubungan sebab-akibat, kurang mendapat perhatian mengingat semangatnya yang begitu kuat hendak menekankan tema cerita. Lilimunir seperti terjebak sendiri oleh keinginannya menyelusupkan sejumlah peristiwa yang berkaitan dengan problem jender.

Sebagian besar cerpen dalam antologi ini mengandalkan narasi dengan menempatkan narator begitu berkuasa atas tokoh-tokohnya. Sering kali narator berada dalam posisi yang mahatahu. Akibatnya, dalam beberapa cerpen, campur tangan narator seperti sengaja dilakukan semata-mata demi memenuhi tuntutan tema cerita.

Kuatnya campur tangan narator, juga berakibat pada penghadiran berbagai peristiwa yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan tema cerita. Dalam beberapa cerpen, terkesan pengarang seenaknya mengangkat peristiwa lain dan bercerita ke sana ke mari yang justru malah menjadikan cerpen itu tidak fokus pada satu titik persoalan. Kelak-kelok peristiwa kadang kala lebih menyerupai digresi, ketimbang rangkaian peristiwa yang berjalin-kelindan membangun struktur alur cerita.

Dilihat dari tema dan gaya bertuturnya (style), antologi cerpen ini sesungguhnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu lima cerpen yang ditempatkan di bagian awal bagai hendak mengumbar sensasi syahwat?meskipun tak terjerumus pada bentuk pornografi?dan lima cerpen sisanya berkaitan dengan problem perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Di sana, kita seperti dibawa pada problem domestik dengan posisi narator yang terkesan bercerita tanpa beban, tanpa pretensi, dan lepas begitu saja.

Pada kelima cerpen yang ditempatkan di bagian akhir itu kita menjumpai kekuatan antologi cerpen ini. Pengarang tidak hanya dapat mengendalikan gelegak emosinya, tetapi juga pandai memanfaatkan tokoh-tokoh yang ditampilkan untuk menyelimuti ideologinya yang berkaitan dengan problem domestik. Di sana, kelak-kelok cerita hadir sangat fungsional, lantaran peristiwa di akhir cerita, cukup berhasil mengecoh pembaca.

Seluruhnya, antologi ini memuat 10 cerpen. Lima cerpen pertama ? ?Karena Buah Dadaku yang Besar, Mister Vital, Aku Seorang Frigid, Billy dan Casanova, dan Nasib Celine?terkesan hendak mengusung sensasi ?syahwat?. Hadirlah di sana kisah tentang payudara yang wah, alat vital yang dijadikan modal mencari penghidupan, virginitas yang membawa derita berkelanjutan, obat perkasa yang bikin sengsara, dan kisah perempuan Australia yang berakhir bahagia. Kesan mengusung ?syahwat? tidak jatuh pada bentuk vulgar dan artifisial. Malah, ia tampil sebagai tirai untuk menutupi parodinya tentang seks. Boleh jadi itu merupakan ledekan pada mereka yang gemar mengumbar syahwat.

Dalam kelima cerpen ini, pengarang menyoroti problem jender dengan menempatkan posisi perempuan dan laki-laki bisa saling mengalahkan. Dalam hal tertentu, sangat mungkin laki-laki menjadi pecundang akibat perbuatannya sendiri, dan dalam hal lain, ia bisa tetap menempati kedudukan superior. Dalam bagian ini, gelegak semangat pengarang yang tak terkendali, justru menjadikan kelima cerpen tadi sarat dengan serangkaian peristiwa hiperbolis. Sebagai bentuk metafora, tentu saja peristiwa hiperbolis itu tak begitu menjadi persoalan benar, tetapi ketika ia dicantelkan dengan fakta sosiologis atau psikologis, maka penggambaran peristiwa yang hiperbolis itu, bisa mengundang gugatan faktual.

Lima cerpen berikutnya, Lelaki yang Gentleman, Dahlia, Kartu Valentine, Stres, dan Aku dapat Anak?membawa kita pada persoalan domestik yang di sana, posisi perempuan seperti harus menerima nasibnya sebagai pecundang. Maka, kita akan berhadapan dengan tokoh Sriyem yang sengsara, Dahlia, Sang Doktor, yang kawin dengan tukang ojek, tokoh aku yang dianggap kolot, Tukang Pijit dan Tukang Pidato yang stress, dan tokoh Sari yang ditinggalkan kekasihnya dalam keadaan hamil tiga bulan. Lilimunir terkesan hendak membuat parodi tentang dunia perempuan dengan segala superioritas dan inferioritasnya.
***

Kelima cerpen yang ditempatkan di bagian akhir, sungguh merupakan cerpen-cerpen yang kuat. Cara bertutur yang tanpa beban ideologis dan jauh dari kesan mencari sensasi, justru menjadikan penyajian narasinya mengalir dan kemudian bermuara pada satu fokus persoalan. Dengan demikian, penghadiran tokoh-tokoh lain dalam keseluruhan cerita, masih tetap fungsional, lantaran rangkaian peristiwanya mengalir pada satu muara. Tambahan lagi, tampilnya tokoh-tokoh warganegara asing, menjadikan cerpen-cerpen itu, tidak sekadar menyajikan kisah rumah tangga an sich, tetapi juga mengungkapkan keberagaman karakter dan tabiatnya sekaligus yang di belakangnya ada persoalan kultural.

Sebagai mantan wartawan dengan pengalamannya ke mancanegara, Lilimunir Croft-Cusworth sesungguhnya telah berhasil menyuguhkan serangkaian kisah yang kaya informasi tentang keberagaman manusia. Sayang, keberagaman manusia itu belum dihiasi oleh wawasannya tentang berbagai kebudayaan yang berada di belakangnya. Meski demikian, secara tematis, antologi cerpen ini telah ikut memperkaya khazanah cerpen Indonesia kontemporer.

(Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FIB-UI, Depok)

Leave a Reply

Bahasa ยป