M.D. Atmaja
Suatu sore di Tamansari ketika hati sedang diliputi prahara, kecemasan, ketakutan, dan kegamangan arti, Lelaki Pendosa berjalan menyusur setiap puing-puing reruntuhan yang tertinggal. Dia melangkah sunyi dalam hati yang semakin kelam oleh kekosongan, namun di sana dia juga menanggung rindu yang telah lama tak tertahan. Sekali ingin berlari di dalam suatu malam, melompati Sindoro-Sumbing dari Barat, lalu menghempaskan panasnya kawah Merapi yang kini telah sunyi.
Lelaki Pendosa berjalan, kadang melangkahkan kaki di langit hati, mencari keberadaan Tuhan di sana. Berharap ketemu, Tuhan sedang tersenyum kepadanya. Lelaki Pendosa menggelengkan kepala. Berjuta rasa tertawa, kemudian bercampur dengan tangis dan keharuan diri yang selama ini selalu coba untuk dimengerti. Dia menyusuri sampai sejauh mungkin, mencari pemahaman yang semakin lama semakin meragukan. ?Tahukah Engkau dengan jalanku, Tuhan?? tanya Lelaki Pendosa di dalam hati. ?Tahukah Engkau bagaimana aku mencintai? Sangat mencintai Tuhan. Ijinkalah aku untuk mengekangnya dengan janji.?
Dia terus berjalan dalam diamnya. Sedangkan apa yang ada di dalam dada terus bergejolak, mencari arti dan pembenaran.
?Kamu baik-baik saja kan, Mas?? tanya Perempuan Pendoa sambil memandangi Lelaki Pendosa yang tengah berbaring di atas reruntuhan.
Lelaki Pendosa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Dia ingin mengatakan, aku baik-baik saja dengan senyuman itu. Tangannya erat menggenggam batu yang berserak di bawahnya. Dadanya terasa semakin sesak bersamaan nafas yang akan segera terhenti.
?Mas??
?Aku baik-baik saja, Sayang!? ucap si Lelaki Pendosa sambil tersenyum dan menahan sesak yang bergejolak di dalam dada.
?Kamu tidak membuat catatan, Mas? Tidak seperti biasanya yang langsung duduk, melihat orang-orang, melihat tanah, melihat langit dan membuat catatan.?
?Tidak,? Lelaki Pendosa menggelengkan kepala untuk melanjutkan kata yang tidak selesai.
?Kenapa??
?Tidak kenapa-kenapa!? sahutnya sambil menggelengkan kepala. ?Malas.?
?Sejak kapan kamu malas, Mas??
Lelaki itu pun tidak bisa menjawab. Dia menengadah ke langit. Lalu bergumam sesuatu mencoba mengajak bercakap sesuatu yang besar di atas sana. Sesaat kemudian dia menundukkan kepala.
?Aku mencintaimu!? ucap Lelaki Pendosa setengah bergumam sambil memandangi perempuan yang duduk di depannya.
?Aku tidak perlu mengatakannya, Mas. Aku akan membuktikannya!? ungkap perempuan itu sambil memandang ke barat yang jauh.
?Aku ingin kamu berjanji.? Ucap Lelaki Pendosa yang kembali menengadah ke langit. Dia menterjemahkan bayang-bayang di sana, senyuman ribuan malaikat yang tersamarkan. ?Berjanjilah untuk mencintaiku diketika kamu hidup dan diketika kamu mati.?
Perempuan Pendoa pun terkesiap. Dia memandangi lelaki kurus yang berbaring di depannya. Dia menggelengkan kepala, tidak mengerti dengan apa yang baru saja kekasihnya minta.
?Cintailah aku diketika kamu masih hidup, dan cintailah aku diketika kamu sudah mati. Cinta tidak perlu memiliki, kata orang bijak seperti itu. Andaisaja aku bisa mendengarnya, aku akan tenang menjalani akhir dari kehidupanku, bahwa ketika aku mati masih yang hidup dan mencintaiku. Dan, diketika aku mati, aku senang ada yang mati masih mencintaiku, aku akan tenang menghadapi murka Mungkar dan Nakir.?
?Mas, aku tidak mau berjanji padamu. Bukan karena aku tidak mencintaimu. Lebih baik, Mas, aku membuktikannya!?
Lelaki Pendosa menggelengkan kepala dalam senyuman yang lebar. ?Aku ingin mendengarnya!?
Perempuan Pendoa kini yang menggelengkan kepala. ?Lebih baik aku membuktikannya!? ungkapnya dalam senyuman namun Lelaki Pendosa tersenyum lebih lebar.
?Buktikan, aku ingin mendengarnya!?
Perempuan Pendoa tersenyum sambil menggelengkan kepala. Dia tahu kalau lelaki di depannya tengah membujuk dalam senyuman yang selalu terkesan tenang. Lalu, dia pun mengangguk-anggukkan kepala.
?Aku berjanji, untuk mencintaimu, dalam hidup dan mencintaimu dalam matiku!? ucap Perempuan Pendoa dalam senyuman.
Lelaki Pendosa menengadah ke langit. Bersamaan dengan itu, adzan Maghrib berkumdang. Mengalun jauh dalam kemerduan yang indah.
?Janjimu telah disaksikan Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi.? Ucap Lelaki Pendosa dalam senyuman kecil. Beberapa saat, dia bergerak cepat lalu terbatuk dengan sangat kerasnya.
?Kamu kenapa, Mas?? tanya Perempuan Pendoa dengan khawatir.
Lelaki Pendosa menggelengkan kepala. Dia mencoba untuk tegar kembali. Walau gemuruh di dalam dada terasa semakin menyesakkan. Lelaki Pendosa merekahkan senyuman yang lebar.
?Aku ada sesuatu untukmu, Mas, semoga bisa menjadi kawan perjalananmu. Menjadi sesuatu yang selalu dapat menghadirkanmu dalam setiap guratannya. Ketika dalam perjalanan kamu merindukanku, semoga saja aku selalu dekat di hatimu. Karena aku mencintaimu, Mas, seperti engkau mencintaiku. Bahkan lebih.?
?Sayang?? sahut Lelaki Pendosa sambil menerima ujung tombak yang akan menjadi kawannya dalam mengguratkan dunia ke tanah putih yang mengkristal untuk menjadi keabadian.
?Dan di saat kamu mengingatku, merindukanku, aku berharap, engkau, Mas, dapat bersikap manis walau kehidupan kita begitu pahit. Aku berharap, agar Dia ridha walau pun setiap orang di dunia ini murka, karena jika cintaNya membara di dalam dada, maka semuanya akan terasa ringan. Yang ada di atas tanah hanya lah tanah, dan di atas langit hanya lah langit. Aku harap engkau mengerti dengan ketulusan cinta, karena aku yakin Dia pasti mengerti!?
Lelaki Pendosa menatap haru perempuannya yang tersenyum. Dia menahan sakit, sambil menggenggam erat sebuah pena yang kelak akan menjadi tombaknya yang baru. Tombak yang telah disepuhkan oleh Perempuan Pendoa yang dia cintai, hadir sebagai semangat dan kekuatan untuknya menahan kesakitan hidup yang terus dirasakan disetiap harinya. Yang semakin besar dan menyesakkan.
?Aku mencintaimu, Sayang, Perempuanku!? ucap Lelaki Pendosa sambil menggenggam erat mata tombaknya yang tertulis nama indah: Sekar Sinelir, bunga yang terpilih!
Bantul ? Studio Semangat Desa Sejahtera Fictionbooks,
Selasa, 06 Juli 2010