Ridwan Munawwar
http://www.jawapos.co.id/
SETIAP kali tangan saya memegang sebuah buku pengantar, setiap kali itu pula benak saya selalu menyadari betapa menulis buku pengantar bukanlah sebuah pekerjaan sederhana atau main-main. Menulis buku pengantar adalah memberikan atlas diskursus yang fundamental kepada publik, terutama kepada mereka yang baru memulai adventure pembacaannya di suatu belantara ilmu.
Memang, idealnya penulis buku pengantar adalah para petualang wacana yang sudah mumpuni dalam bidang keilmuan yang dipengantarinya. Dia harus memiliki jam terbang membaca yang lebih unggul dari yang lain, hingga tidak diragukan lagi penguasaan literaturnya. Dia harus sudah mengenal setiap sudut bidang keilmuan itu, baik teori maupun aplikasi/praktik. Dengan demikian, dia akan memberikan rambu-rambu ngelmu yang tepat kepada para pembaca pemula.
Buku pengantar mungkin sama pentingnya dengan buku karya sastra dalam hal membentuk tradisi membaca masyarakat beserta seluruh kelas pembaca di dalamnya. Bila karya sastra memiliki estetika bahasa yang menjadi daya tariknya, maka buku pengantar memiliki nilai komunikatif yang memungkinkan seorang pembaca nonakademis bisa memiliki pengetahuan mendasar tentang suatu ilmu dan bagaimana hal itu mengonstruksi struktur kehidupan di sekitar mereka. Bukan suatu hal yang mustahil bahwa sebuah buku pengantar telah berperan membentuk nalar kritis publik. Buku-buku pengantar tentang manajemen kota, misalnya, bisa membuat masyarakat kritis terhadap kebijakan-kebijakan penataan kota yang dilakukan pemerintahnya.
Tripartisi hubungan komunikasi yang dibentuk oleh buku pengantar adalah buku pengantar dengan narasi besar (grand narrative) dan buku pengantar dengan sidang pembaca nampak di ranah publik civitas academica. Di suatu institusi pendidikan, nampak sekali bahwa buku-buku pengantar turut membentuk karakter tradisi wacana dan pola pikir serta pola interpretasi civitas academica itu dengan ilmu yang bersangkutan. Sebuah buku pengantar tentang psikoanalisis bisa saja menghadirkan wajah dunia psikoanalisis secara berbeda dari buku babon psikoanalisis atau karangan Freud sendiri tentang pemikirannya. Sebab, hubungan buku pengantar dengan suatu narasi besar bersifat hermeneutis. Buku pengantar bukan sekadar perpanjangan atas narasi besar yang bersifat introduktif semata, melainkan juga interpretatif dan terkadang politis.
Tapi, permasalahannya, buku pengantar sering dijadikan azimat yang sakral. Padahal, ada risiko yang tidak kecil yang bisa dituai seandainya kita menghadirkan buku pengantar yang tidak tepat dan tidak kuat. Ini adalah soal kenaifan penafsiran. Di sebuah fakultas psikologi di universitas Jogja, buku-buku pengantar psikologi karangan para ilmuwan psikologi muslim membentuk pemahaman awal para mahasiswa (dan sebagian dosen) dalam memandang perbedaan antarparadigma ilmu psikologi. Ada ”stereotip keilmuan” yang lucu dan membeku di fakultas itu. Salah satunya, pandangan bahwa psikologi aliran behaviorisme pastilah membahas perilaku manusia yang nampak, psikoanalisis membahas wilayah asadar dan masa lalu, dan seterusnya. Karena itu dibekukan sebagai dogma, maka terciptalah kesan seolah-olah behaviorisme tidak mempertimbangkan faktor masa lalu dan psikoanalisis tidak memperhatikan perilaku nampak manusia.
Yang lebih lucu adalah buku-buku pengantar psikologi bandingan, misalnya tradisi psikologi Islam dengan tradisi psikoanalisis. Disebutkan bahwa teori Freud singular dengan teori psikologi Islam; tripartisi id-ego-superego sama dan sebangun dengan tripartisi Ghazalian; yakni nafs ammarah-nafs lawwamah-naf muthmainnah. Luar biasa. Padahal, Freud dan Ghazali memiliki sistem epistemologi yang jauh berbeda karena keduanya hidup di zaman yang berlainan, yang tentu saja kondisi kultural dan sosiologisnya juga berbeda. Simplifikasi-simplifikasi wacana semacam itulah yang kemudian mengakibatkan kemandulan dalam tradisi akademik.
Wacana ilmu pengetahuan memang merupakan sesuatu yang selalu berkembang dalam arus sejarah yang juga terus bergerak. Para pembaca yang dewasa idealnya adalah mereka yang selalu mengikuti dan mencermati perkembangan itu dengan intensif. Dengan demikian, mereka bisa mengetahui risiko-risiko sosial yang ditimbulkan suatu wacana teoritis sehingga ia layak digantikan teori lain yang menjawab dan mengkritiknya.
Alangkah panjang jalan terbentang di hadapan suatu generasi pembaca untuk menjelajahi sebuah wacana. Belum lagi kita selesai dengan sebuah wacana yang lahir berdekade silam, tiba-tiba kita dikejutkan lahirnya sebuah wacana baru. Di sini jugalah salah satu fungsi utama buku pengantar sebagai salah satu ”media rekam jejak” dari proses dialektika suatu tradisi wacana. Yaitu, menemukan hal-hal terpenting dari suatu keilmuan dengan cepat dan tepat. (*)
*) Ridwan Munawwar, esais, studi di Prodi Psikologi UIN Sunan Kalijaga.