Puisi-Puisi Mardi Luhung

PENDALUNGAN

Di genting aku tertidur dan bersiap menantimu.
Tertidur seperti mayat yang matanya terbuka.
Terpulas warna samar sampai gelap pekat.

Di udara yang tipis, benang itu terentang.
Lurus dan lenyap di ketinggian. Lewat benang itulah
kau akan tiba padaku. Mungkin memelukku.

Dan menciumku. Seperti kisah perawan yang
tersihir di peti yang cokelat. Dengan tujuh lelaki
cebol yang selalu menangis dan tertawa.

Tujuh lelaki cebol yang kemarin memasuki kamarku.
Dan membangun sebuah keraton mini. Yang penuh
dengan kuburan dan kenduri.

Juga para badut yang selalu ribut dengan
gelang-gelang, obor dan sepatu raksasa. Serta
senapan yang berpeluru bunga-bunga dan hujan.

Katamu dulu: “Bidiklah aku dengan senapan itu?”
Tapi kataku kini: “Aku hanya ingin menantimu. Bukan
membidik!” Tujuh lelaki cebol pun terperangah.

Lalu, di udara yang tipis dan semakin tipis itu,
benang yang terentang bergoyang. Ada gelembung
besar menggelinding turun. Gelembung yang menyala.

Gelembung yang setiap bergerak, selalu menyerakkan irama
saluang. Irama yang membuat ribuan tikus takjub.
Dan bersedekuh di seputar aku yang tertidur.

“Kemarilah, kemarilah, gelembung,” pinta ribuan tikus itu.
Tapi, sebelum tiba, gelembung yang menyala itu pecah.
Sinar pun bersilangan. Membentuk dirimu yang aku nanti.

Dirimu yang begitu mirip diriku sendiri. Yang pernah
aku benci. Sebab telah merayu kekasihku yang lain.
Yang wujudnya telah aku torehkan di lantai-lantai!

(Gresik, 2007)

PEREMPUAN NILA

“Aku selalu memburu. Aku tak bisa diburu!” Ya, orang anonim
mengelak. Dipikir pulau hanya kebun taruhan. Kartu dikocok. Dan
puisi selalu datang setiap Sabtu. Setelah, di Jum’at mengirim pesan:
“Tolong antarkan aku ke rumah ibadah. Berdoa. Dan mencari jalan
yang belum pernah disebut. Jalan si sipit atau yang bening,”

Dan di Minggu, orang anonim bergegas. Melintas bukit. Di belakangnya,
sebatang laut yang keruh diseret. Laut tempat orang anonim menyelam.
Sedang, di atas laut, hiu murka berlompatan. Sesekali memangsa burung
yang terbang. Bulu-bulu burung pun berlepasan. Ada darah yang yang
menetes. Pause. Siapa yang hendak menuding?

Orang anonim pun sendawa. Senin, Selasa, Rabu dan Kamis telah
diikatnya. Diikat di pelana keledai. Mau kemana kiranya? Orang anonim
pun lalu menggambar. Menggambar ayam, macan, pasar, uang dan
perempuan nila. Perempuan dengan rambut dikuncir gimbal. Yang tepat
di malam-malam ganjil, mengantarkan paku panjang pada orang anonim.
Paku panjang dengan ujung berasap.

Desah perempuan itu: “Sayang, apa kau tak rindu untuk menancapkan
kembali paku ini ke ubun-ubunmu?” Dan, orang anonim pun kembali
sendawa. Di matanya, mata yang penuh zik-zak dan menelikung, sekian
kenang-kenangan memluntir. Dan sekian keberuntungan yang pernah
didatangi, sekaligus ditinggalkan dengan peluru yang dimuntahkan,
juga turut memluntir. “Perempuan nila pun penasaran menggenggam paku!”

(Gresik, 2007)

ORANG GILI

Aku menyapa dia. Tanpa salam. Tanpa kenal. Tanpa kedip. Dan
dia mengajakku ke pulaunya. Pulau yang terpencil. Pulau yang
penuh jalan sempit. Melingkar-melingkar. Naik-turun. Berdebu.
Yang kerjanya melahap setiap yang masuk. Dan yang ke luar
di bekap mabuk. Mabuk laut yang licik.

“Aku punya tunangan. Tapi menampik. Sebab dipikir, dirinya
tak sepadan denganku!” katanya sambil merapikan rambutnya.
Matanya mengerling. Menjadi danau luas. Danau tempat dia
pernah mencium tunangannya. Danau, yang di pusarnya, ada
sumur yang berundak. Tempat orang ingin hilang.

“Tapi, meski ditampik, aku tak mau hilang!” tambahnya.
Memang, dia seperti tak bisa hilang. Dua kakinya kokoh. Dua
tangannya cekatan. Sedang, badannya pun liat. Mengkilat.
Seperti baja yang berlapis-lapis. Baja yang akan membalik tanah.
Juga nasib pemiliknya.

“Segalanya mesti disederhanakan. Mesti!” Dan dia pun menulis
pesan di pohon dengan pisau. Artinya tak jelas. Cuma yang aku
lihat: gambar-hati, tanda-silang dan sebuah wajah-segi-tiga.
Dan di sebelahnya lagi, ada sebuah bendera bergambar rangka:
“Hidup memang cuma tulang!”

Dan ketika lebih masuk ke pulau, aku melihat dia melepas
pakaiannya. Di punggungnya ada tato. Tato binatang. Binatang
apa? Aku tak pernah melihatnya. Cuma mulut binatang itu terbuka.
Seperti sedotan sebuah kapal. Kapal ganjil yang angker. Yang
kaptennya putih. Berbau pesing.

“Kamu tahu, kapten itulah yang mengajari aku bersiul,” Dan
bersiullah dia. Bersiul memanggil yang bisa dipanggil. Agar
keluar dari kerimbunan. Keluar dari gua-gua seperti orang
yang bingung menerjang cahaya. Orang yang bingung yang selalu
membakar dengan setiap apa yang bisa di bakar.

“Kamu tahu juga, tunanganku menampik karena orang yang bingung
Itu!” Dan akh, dia pun memeluki yang disiuli itu. Lalu, seperti
kotbah yang mendadak, dia pun berkotbah di tengah-tengahnya.
Kotbah miring. Dan kedengarannya, seperti bahasa yang tersedak
oleh muntahannya sendiri.

Aku pun rindu pada jalan balik. Jalan ke sumur di pusar danau tadi…

(Gresik, 2007)

*) Dari kumpulan puisi Mardi Luhung bertitel “BUWUN” diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.


MARDI LUHUNG: Lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Dia lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember. Puisinya tersebar di berbagai media, seperti: Kalam, Surabaya Post, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, HAI, Kuntum, Tebuireng, Memorandum, Kolong, Teras, Buletin DKS, Kidung DKJT, Karya Darma dan Jurnal Selarong. Sedangkan buku yang memuat puisinya adalah: Antologi Puisi Indonesia (KSI, 1997), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2003), Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (Horison, 2002), Bapakku Telah Pergi (BMS, 1995), TUK volume II Bertandang dalam Proses (TUK, 1999), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), Birahi Hujan (DKJ-AKAR-Logung, 2004) dan Living Together (Kalam, 2005). Buku puisi tunggalnya: Terbelah Sudah Jantungku (1996) dan Wanita yang Kencing di Semak (2002). Pernah memenangkan lomba penulisan esai tingkat nasional pada Sayembara Mengarang tentang Apresiasi Sastra untuk Guru SLTA yang diadakan oleh Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1999). Mengikuti Program Penulisan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) dalam Bidang Puisi (2002), Cakrawala Sastra Indonesia (2004), International Literary Biennale (2005) serta diundang dalam Festival Kesenian Yogyakarta XVIII/2006.

Leave a Reply

Bahasa »