Puisi-Puisi Mardi Luhung

Kucing Beling

Mesin jahit di atas meja. Meja di atas usungan. Usungan di atas selusin pundak. Dan di mesin jahit itu dia menjahit tubuhku yang telah digunting dan dimal. Setelah dibentang seperti 7 meter kafan. Dan ditaburi minyak serimpi. Minyak si penari yang telah membuat usia menyingkap kerahasiaannya. Membiarkan risik tertabur pada yang tak pernah mengatupkan mulutnya: “Aku ingin menghadap tanpa riasan apa pun. Aku adalah teja senja yang tak terduga!”

Tapi, selusin pundak terus mengusung dan bergerak. Seperti gerak pelayat ketika selusin cahaya tumpas. Dan arah jalan menjadi lurus. Yang di kanan-kirinya sekian kucing berjejer. Kucing beling yang bermata bening. Kucing yang terus menatap dia yang menjahit tubuhku. Dan saat itu, aku merasa, dia menyerahkan kerjanya pada gambang. Gambang yang bertalu. Yang taluannya merambat dari depa ke depa. Dan jatuh pada kening Hawa. Yang tergagap saat maut menepuk pundak Adam.

Maut yang menggandeng dan mengajak Adam menyelam ke teluk. Seperti penyu yang menyelam setelah bertelur di pasir. Seperti meteor yang berisik di langit. Yang mencari jejak henti di tempat entah. Tempat yang selalu mengawetkan lubang kubur: “Saudara, bersediakah jadi saksi atas hidup orang ini?” Ya, pinta talkin akan dibuka sehabis penguburanku nanti. Dan tubuhku yang telah digunting, dimal serta dijahit itu, tinggal dipasanginya kancing.

Nasi Pandan

“Kau tak boleh dikubur dulu sebelum mencicipi nasi pandanku!” Dan dengan kebat, dia menyorongkan sepiring nasi pandan. Nasi pandan yang punel. Yang ketika aku sendok, mengingatkan pada gumpal-gumpal cahaya begitu menggiurkan. Barangkali, gumpal-gumpal cahaya itu adalah daging jantungnya. Yang telah diiris segi empat. Ketika pintu diketuk. Dan kilat yang mengambang masuk. Lalu berbisik: “Wanita yang telah menjadi istri orang, memang mengiris jantung sendiri setiap membuat nasi pandan,”

Dan beribu angsa menetas dari biji matanya. Beribu angsa yang pernah mengangkatku jauh melampaui akal. Sampai si jejadian yang bertanduk dan berekor itu mengernyit. Lalu teringat betapa bebalnya dirinya ketika menegak. Dan menyangka, jika penyamarannya dalam wujud ular telah mendulang aman. Lalu si jejadian pun mengibaskan sayapnya yang hangus. Dan melompat ke jendela: “Aku teringat, betapa mudahnya dulu dia aku kibuli. Betapa mudahnya!”

Dan di meja yang berpelitur dop, aku menelan nasi pandannya. Seperti kelokan umbian yang merambat, nasi pandan itu mencari arah rambatnya. Ke jantung, ke usus, ke lambung dan kembali lagi ke leher. Bolak-balik seperti menentukan arah keluar. Sedang, di luar tubuhku, hujan yang telah lama mengancam, hilir-mudik seperti menanti sesuatu. Teriaknya: “Keluarkan gumpal-gumpal cahaya itu!” sambil menangis. Sambil mengharap akan ada gempa di tubuhku. Dan akan ada lubang mendadak yang akan mengeluarkan yang dinantinya.

Bukit Onik

Dia, seperti yang aku kenal belasan tahun dulu, memang masih terlihat cantik dan enak digarap. Dan langkahnya yang berjingkat pelan, seperti manabuhi lantai. Membuat tirai bergoyang. Padahal, di antara pedang samurai yang pernah aku hunus, dia cuma menjawil. Lalu berseloroh tentang pertempuran yang tak pernah dilakukan. Tetapi selalu saja dirampungkan. “Kau, lelakiku, memang milik Adam. Selalu kisruh dan selalu merasa paling unggul,” sambil terus berbalik dan hilang di hutan bambu yang penuh warna.

Dan di hutan bambu itu, aku melihat matahari turun dan terbelah sama persis. Yang satu mirip kuldi. Satunya lagi tak pernah aku kenal. Apa itu jamu atau tuba? Dan ketika menjilatnya, mendadak aku menjelma sekuntum teratai. Teratai merah menyala. Teratai yang di hari-hari ganjil mewarnai bibirnya. Dan membuat senyumnya begitu indah. Senyum yang kini telah menjadi milik bukit onik. Bukit onik yang goyang karena tertakik. Tertakik oleh sebaris taklimat: “Percayalah, dia selalu menampik tulang-rusuk-lelaki yang tak cermat,”

“Ya, ya, dia, istriku, memang adalah Hawa. Adalah yang akan terpisah dariku. Terpisah paksa atau pasrah!” Dan aku pun jadi tahu, jika jarakku dan jaraknya telah saling melambai. Aku di seberang. Dia di jauh yang tak terukur. Dan kami, seperti sudah-sudah, kembali saling bertualang sendirian. Saling merindu. Dan saling mencoba untuk menghapus setiap amanat. Yang membuat kami pernah melahirkan pembunuh pertama. Yang akan selalu kalian kenang. Seperti mengenang kebun dan ternak di pulau. “Akh, sudah ada yang menulis namaku di kubur itu!”

(Gresik, 2007)

*) Dari kumpulan puisi Mardi Luhung bertitel “BUWUN” diterbitkan PUstaka puJAngga, 2010.


MARDI LUHUNG: Lahir di Gresik, 5 Maret 1965. Dia lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Jember. Puisinya tersebar di berbagai media, seperti: Kalam, Surabaya Post, Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, HAI, Kuntum, Tebuireng, Memorandum, Kolong, Teras, Buletin DKS, Kidung DKJT, Karya Darma dan Jurnal Selarong. Sedangkan buku yang memuat puisinya adalah: Antologi Puisi Indonesia (KSI, 1997), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Grasindo, 2003), Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (Horison, 2002), Bapakku Telah Pergi (BMS, 1995), TUK volume II Bertandang dalam Proses (TUK, 1999), Mimbar Penyair Abad 21 (DKJ, 1996), Birahi Hujan (DKJ-AKAR-Logung, 2004) dan Living Together (Kalam, 2005). Buku puisi tunggalnya: Terbelah Sudah Jantungku (1996) dan Wanita yang Kencing di Semak (2002). Pernah memenangkan lomba penulisan esai tingkat nasional pada Sayembara Mengarang tentang Apresiasi Sastra untuk Guru SLTA yang diadakan oleh Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1999). Mengikuti Program Penulisan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) dalam Bidang Puisi (2002), Cakrawala Sastra Indonesia (2004), International Literary Biennale (2005) serta diundang dalam Festival Kesenian Yogyakarta XVIII/2006.

Leave a Reply

Bahasa »