lampungpost.com
Sekuncup Bunga di Taman Kupetik Pagi Ini
Setelah Kulewati Pagar Berduri
pagi ini saat kubangun dan membuka jendela kamarku,
bukan saja matahari dengan mata yang benderang
memandangku penuh senyum seperti ingin mengajakku
berdendang, tetapi sekuncup bunga di halaman samping rumahku
mengirimkan aromanya nan wangi
ke kamarku. daun-daunnya melambai:
aku segera mencapai
meski harus kuliwati pagar berduri di dekat jendela kamarku
biarkan tanganku yang luka ini sebagai tanda
betapa untuk memetikmu tidaklah mudah
seperti juga kaubalikkan halaman kalender, perlu waktu berhari-hari
mencecap panas dan musim hujan
mendaki dan menyigi lurah
maka ketika telah kupetik sekuncup bunga di halaman rumah
pagi ini, aku merasa ada kelopak yang harus
gugur:
apakah itu usiaku, apakah….
5 Juni 2010
Jika Kauperkenankan Kubalikkan Jarum Jam Ini
menunggu waktu melipat kalender
jika kau perkenankan akan kukembalikan
jarum waktu berputar-balik
menyusun angka demi angka yang jatuh
lalu kutempel lagi di halaman pertama
almanak yang sudah menguning
karena berkali-kali dibanting
dan aku akan berada di bawah, selalu
memandangi puncak waktu
mengampu setiap angka yang jatuh
aku ingin menghentikan setiap
kausorong angka lima
berdiri agam di antara simpang
di mana kau selalu datang!
04.06.2010
Seusai Hujan, dan Kau Terngiang
bekas hujan masih terngiang di pucuk-pucuk daun, di setiap
langkah yang mengantarmu pergi dari sini menuju Sana
dan awan yang masih menahan beban hujan sudah
tak tahan, ingin menumpahkan lagi ke bumi yang kautunggu
meski kau sudah ingin menjauh atau lari ke balik lindung,
melepas burung-burung setelah kaupasang
mantera, terbang ke angkasa. ke tuju pusat kabut. bercumbu
dengan gumpalan air yang sebentar lagi akan luruh sebagai hujan
lalu bulu-bulu burung yang telah pula gugur sebagai kapas
dan hinggap di ranting-ranting, di pucuk daun,
atau di sekujur pohon. membuatmu teringat
pada malam kudus: ketika yesus memanggul kayu melangkah
dengan berat menggelilingi kota golgota: “tapi dia
bukan Isa! ke mana lelaki Nazaret itu kini, setelah disulap?”
aku menunggumu. di bekas hujan yang mungkin akan
tergenang pula langkahmu yang memanjang, tapi
bukan sebagai labirin. di tempatmu itu akan pula
kutulis setiap jalinan perjalananku: juga memanggul
beban–namun bukan bongkahan kayu berupa salib.
“akulah yang melangkah itu di bawah gerimis,
setelah hujan mengiris.”
hari yang penuh luka. di bawah langit dan cuaca yang
sulit kauterka aku tetap berjalan. menuntunmu hingga
di depan gerbang Kota: memandang setiap tugu, setiap patung
yang selama ini tak akan memberi apa-apa, kecuali penat
dan matamu layu. sebab mata-mata patung dan diamnya tugu
sedingin tubuhmu oleh cuaca yang terkadang panas,
kadang pula berhujan….
sebelum dari 5 Juni 2010
Subuh yang Hangat
di subuh yang hangat, kalian datang menyerang
dengan senapan yang siap menyalak
lalu subuh itu pun berubah hujan
— hujan airmata,
dan darah —
tapi kematian amatlah syahdu,
sangat dirindu saat perjalanan
menuju senyum-Mu
maka apalah arti kematian,
tanpa bertempur
sebab kami
tak dibekali senjata?
apakah orang-orang sedunia
lalu tak akan mengecam kalian:
mengutuk kebiadaban kalian?
lalu kami ditahan
barang-barang kami kalian rampas,
lantas pantaskah kami
menyebut kalian
perompak?
01.06.2010
Mei
api itu membakar tubuhmu, Mei
tangan-tangan hitam itu
menarikmu ke semak:
mengubur masa depanmu
15/05/10
Rumah Puisi
jangan biarkan aku sendiri
tersesat di dalam hutan kata
dan kubangan asap rokokmu
sebelum sampai di rumah puisi
22/05/10
Perempuan Bernama Luna
sebab perempuan bernama luna
kau tersesat di kolam iklan
memilih baju dan sepatu,
lipstik ataupun sampo
di depan cermin: wajah retak!
24.05.10
***
Isbedy Stiawan Z.S., lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan hingga kini masih menetap di kota kelahirannya tersebut. Buku puisi terbarunya Anjing Dini Hari (2010).