MATA SIAPA
seperti awan makin pekat
makin gelap makin padat
kian berpetir kian berkilat
seolah kacakaca yang rapuh
tetes pertama nyaris runtuh
rindu yang kini punya mata
berbekal selembar tisue
memandang jalan pulang
24.03.2010
DI AKHIR MALAM
mata pejam hitam bercahaya
s e n t o s a
03.04.2010
SAAT MENEMU BETAH
dinding beratap
berpintu berjendela
beberapa ruang
dengan kursi meja
dan tilam di atas ranjang
menyimpan keluh lenguh tubuh
keringat tawa juga airmata
lalu nyaris segala rasa
segera akan menjadi usang
lesap pada lantainya
yang dingin
yang kadang kita lebih memilihnya
ketimbang ranjang basah
sebagai tempat rebah
tempat istirah dan tetirah
saat malam menciumi diri kita
dengan gelap dan heningnya
bikin hasrat
segera menanak nasi
menjerang air membuat wedang kopi
sebagai bekal pagi
untuk membawa pulang matahari
yang kini kian renta
tapi masih saja setia
menyalakan lampu beranda
menjadikannya isyarat kembali
bagi para pencari
masihkah pengin pergi ke siang
yang kau sangka selalu benderang
01.04.2010
IBU DALAM TIDUR ANAK LELAKI
dari balik selimut
tidur yang membatu
yang selalu bungkam
dari kenyataan dari hidup
menunggu kematian
bertahun memandangmu
senyap ! penyap !
perempuan tua
bersimbah darah wajahnya
bersimpuh di tepi liang kubur
yang entah milik siapa
tak ada suara
hanya airmata merah muda
terlihat samar mengalir
pada keriput yang terukir
begitu memelas begitu memeras
musim berganti cuaca
sang suami entah ke mana
barangkali ditelan kota
yang melahirkan anak lelakimu
menjadi biadab sekarat
yang menyala matanya
menggenapkan umur
di tiap tidur
sembari tak henti memanggil
namamu namanya
dan namanya sendiri
29.03.2010
KE RUMAH
jika kau memang rumah
pasti tak kan ke manamana
sekian jarak hanya butuh arah
jalan pulang tak akan lupa
barangkali rumput ilalang
kini rimbun di pelataran
setapak batu menuju pintu
masihkah licin di musim hujan
biarlah di sudut tiap ruang
labalaba membangun sarang
sekian waktu tebal oleh debu
kau tampak kusam begitu kelabu
sendirian di atas bukit
melewati nyaris semua rasa sakit
purnama ke tujuhpuluh
kau makin renta kian rapuh
dan perjalananku baru separuh tempuh
bertahanlah sayang
sepetak lubang di halaman belakang
masih cukup lebar dan dalam
tubuh ini hanya butuh rebah
tertanam di tanah
aku akan segera menjemputmu
kali ini benarbenar Pulang
28.03.2010
MEMINTA UDARA
udara yang terhirup itu sayang
yang katanya membuat kita hidup
bukankah telah kita curi
sejak kita lahir hingga saat ini
lalu dengan bahagia kita menari
berloncatan ke sana kemari
seperti tak pernah terjadi sesuatu
yang bikin jengah ataupun tersipu
masih saja kita terus berlari
terengahengah tak pernah henti
lalu ada yang bilang sayang
itu pemberian tuhan kepada kita
aha ada yang masih punya tuhan
heiii boleh aku minta
s a t u s a j a
27.03.2010