cetak.kompas.com
Babi Merah Jambu
untuk Agus Suwage
Barangkali buluku sepantas sutera, tapi sungguh aku enggan bercermin. Sebab pantulanku akan terlihat suci, dan aku tak suka bersaing dengan mereka yang beriman.
Bangun sebelum fajar itu, aku masuk ke dalam sisa tidurmu, menyaru sebagai penghibur berpupur putih lesih dan bermoncong merah jambu dan berhujah betapa kau terlihat bahagia di antara para musuhmu.
Terjaga tiba-tiba, kau mencariku di dekat nyala api dan berharap sebagian rusukku hangus untuk menebalkan rasa laparmu dan menghapus sisa tawamu.
Wahai kau yang selalu memamerkan kaki kijangmu untuk memperbesar jumlah para penyanjungmu. Kakiku lebih sempurna daripada kakimu, meski aku lebih suka menghunjamkan kakiku ke dalam lumpur belaka.
Sudah kubaca riwayat kaumku sampai aku tahu bahwa kami memang bukan pedandan. Ketika kami berpindah ke kota, kaummu menghibahkan pakaian berlimpah ruah kepada kami, namun kami tetap saja gemar mengendus cacing dan umbi-umbian.
Ketika kautikam leherku, dari lubang tusukanmu menjulurlah gaun merah luas, luas tak terhingga. Gaun yang kaupikir serasi dengan tubuhku yang menggelembung menggeletar di bawah matahari.
Ketika aku terguling sempurna, kau sudah lupa betapa subur wajahku, wajah yang berlipat ganda untuk menutupi sosok para pembunuh yang senantiasa mengitarimu.
Kukatakan dengan hati-hati bahwa kau bukan tukang jagal, dan para penyembah berhala akan percuma saja membuat aku sebagai sekutu mereka.
Jiwaku tak terbang ke langit tinggi, tapi menyelam ke lapisan bumi paling dalam, di mana Tuhan akan diam-diam membuka pintu gerbang bagiku.
Di ujung jalan, telingaku tampak sebagai mawar penghabisan. Mawar hitam legam. Mungkin mawar lapar, lapar mengembang sampai hari kiamat nanti. Kau sungguh ingin memetiknya. Tapi jangan.
Bagi umat manusia, tidaklah baik mengagumi kembang gelap gulita, yang pastilah mengganggu doa mereka. Lagipula aku tidak bermakam, setelah menghiburmu sekadarnya dalam mimpimu yang betapa terang dan sebentar itu.
Kau tak mendengar doaku. Amin.
(2009)
Potret Diri Forugh Farrokhzad
untuk Shirin Neshat
Dalam gelap sempurna ini hanya setitik nyala berpindah-pindah dari bibirmu ke bibirku. Kau tak dapat melihat wajahku, dan aku hanya berupaya membayangkan wajahmu.
Mungkin aku adalah mempelaimu. Yang pasti, inilah jeda antar- persetubuhan. Sebatang rokok sudah kaunyalakan, dan kita menghisapnya bergantian sambil menanti kemesraan berikutnya, jika masih ada.
Kau tentu ingat anting-antingku adalah dua pasang buah ceri dan kuku tanganku terbungkus kelopak dahlia. Dalam upacara berlimpah cahaya itu, kau dan semua orang leluasa memandangku, sementara aku hanya runduk ke lantai menyigi sepasang kakimu. Kau segempal menara kaum Majusi tapi aku akan menebangmu, demikianlah aku berkata dalam hati di hadapan Tuan Kadi.
Sudah berapa lama kita di kamar ini? Berjam-jam barangkali, sebab masih terdengar langkah polisi rahasia sang Shah mencarimu nun di luar sana. Atau bertahun-tahun barangkali, sebab kita juga merasa bebas menghikmati hujah para mullah.
Biarkan saja gelap yang kian luas ini. Meski kau mendaki tubuhku, aku mau kau tetap tak mengenalku. Jika pun aku sungguh-sungguh telanjang, maka cobalah membayangkan wujudku di antara semua perempuan yang membungkus seluruh tubuh dengan kain hitam di jalanan. Siapa pemilik tubuh mereka, tubuh kami, sebenarnya?
Noktah nyala rokok yang beredar di antara kita sesekali mampu juga menerangi tubuhku. Tapi janganlah terpukau oleh dadaku, yang akan membuatmu dahaga belaka. Sepasang mata air di puncak busung dadaku yang kauhasratkan akan kusimpan hanya untuk anakmu kelak.
Sesekali kuhembuskan asap putih langsung ke tubuhmu untuk sedikit melunakkan gelap jenuh tak terperi. Percayalah, gelung asap ini mampu menghela ke mari bayangan khat dari Qum, Isfahan, atau Nishapur ke mataku, barangkali khat yang telah mengukuhkan kita sebagai pasangan suci. Maka bolehlah aku menghisap sungai di lidahmu dan menyadap getah di pangkal pahamu tanpa rasa berdosa.
Dan aku menumbangkanmu, membangkitkanmu kembali, merebut rokokmu, sementara mereka yang salih itu mengira aku sekadar makmummu, juru masakmu, ladang suburmu, pencuci bajumu.
Kautahu sudah berapa lama kita di sini? Betapa kita dengar kaum mahasiswa mulai gencar baris-berbaris di pelbagai plaza dan alun- alun. Mereka memanggili namamu. Mengajakmu menggulingkan sang Shah. Atau mengelu-elukan sang Ayatullah. Atau memerangi sang jelmaan Nebukhadnezzar.
Jika aku mulai hamil, pergilah mengendap-endap ke haribaan mereka. Tapi jangan lupa bawakan jendela dan sebagian matahari ke mari, agar aku leluasa melihat kaum perempuan berwarna hitam legam itu. Dan aku akan belajar bagaimana memahirkan mata pada lubang hijab seperti mereka.
Kini biarkan dulu bibir kita bertukar titik nyala dalam gelap ini. Naikkanlah. Turunkanlah. Sampai kemesraan berikutnya, jika masih ada. Jangan pernah mereka-reka wajahku.
Aku tahu puntung ini tengah mengeras oleh kerak noda merah. Darahmu. Atau cat bibirku. Sampai aku merubuhkanmu lagi.
(2009)
Catatan: Sajak di atas memetik dan memiuhkan sejumlah frase dari sajak-sajak penyair Iran, Forugh Farrokhzad (1935-1967), yang dalam terjemahan Inggris-nya oleh Jascha Kessler dan Amin Banani berjudul “The Gift”, “Mates”, “A Red Rose”, dan “Born Again” -lihat Bride of Acacias: Selected Poems of Forugh Farrokhzad (New York: Caravan Books, 1982).
Asal-Usul Kebahagiaan
Ketika kau tak mesti lagi mengerutkan jemari
Untuk menguji manakah buah segar dewasa
Yang terkirim diam-diam dari Selatan?
Ketika sarung tanganmu mesti tersimpan
Barangkali dengan selekeh getah buah
Yang hanya akan kentara di tahun depan?
Ketika kau merasa mubazir bertanya
Apel ataukah aprikot yang giat meredam
Jejarum cahaya matahari bulan April?
Ketika tanganmu tak sabar menyentuh
Daging buah yang kaukira menggeletar
Seraya malu-malu melindungi bijinya?
Ketika pisau di tanganmu terjatuh
Oleh kulit buah yang terlalu licin
Dan bangga akan merah atau jingganya?
Sesungguhnya tanganmu hendak kembali
Menelusuri kulit murni yang tak pernah
Gentar akan laparmu. Akan birahimu?
Kulit dada. Mungkin kulit buah dada
Entah di musim salju atau musim semi.
(2009)
Nirwan Dewanto sehari-hari bekerja sebagai penyelia seni dan penyunting sastra. Ia menjaga, antara lain, lembar sastra Koran Tempo Minggu. Buku puisinya adalah Jantung Lebah Ratu (2008). Tulisannya yang lain terunggah di nirwandewanto.blogspot.com.