Selamat Jalan Achdiat Kartamihardja?

D.day *
luar-negeri.kompasiana.com

Kamis 8 July 2010 sekitar jam 11 siang, seorang teman memanggil namaku, ada kabar duka pak Achdiat Kartamihardja meninggal dunia..ucapnya Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. ucapku tercekat.

Nama Achdiat K Mihardja, seorang sastrawan besar sudah saya kenal dan kagumi sejak saya duduk di bangku SMP. Pada masa SMP dan SMA memang ada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, dan sering kali kita diperkenalkan untuk mengapresiasi karya-karya sastra Indonesia, dan nama Achdiat K. Mihardja adalah salah satu diantara sastrawan tersebut, entahlah apakah anak-anak sekolah zaman sekarang masih diperkenalkan pelajaran sastra Indonesia. Achdiat K. Mihardja yang lahir di Cibatu, Garut, 6 Maret 1911 memang sejak beberapa minggu belakangan ini diberitakan sakit dan dirawat di Canberra Hospital dalam usianya yang menginjak ke 99 tahun.

“Mau nggak menemani memandikan jenazahnya?”, kata temanku kemudian memecahkan keterpakuanku. “Memandikan jenazah?” Kataku agak terbata, “bukan apa-apa aku belum pernah memandikan jenazah”.. “ya, siapa lagi kalau bukan kita-kita”, lanjut temanku, “disini kan komunitas orang islam sedikit..”

Sekitar jam 1 kemudian aku dan kedua temanku meluncur menuju Tobin Brother Funeral, Kingston, Canberra, tempat pemandian jenazah. Memang sesuai peraturan di Australia, tidak diijinkan untuk memandikan jenazah dirumah sendiri, bahkan untuk membawa jenazah ke rumah pun harus dengan prosedur dan pengawasan yang ketat, karena terkait dengan masalah kesehatan lingkungan.

Di depan Tobin Brother Funeral telah menunggu beberapa orang termasuk salah satu anak kandung beliau yang terlihat berduka. Proses pemandian sendiri dipimpin salah seorang ulama dari Indonesia yang telah menjadi Permanent Resident di Australia. Proses pemandian selesai pukul 3 siang waktu Canberra dan setelah dikafani, jenazah kemudian dibawa ke Canberra Mosque di daerah Yarralumla untuk disholatkan. Pihak KBRI sendiri dari pengumuman resminya yang disebar melalui beberapa milis mengadakan tahlilan setelah proses pemakaman.

Selepas Ashar, kita kemudian mencari restaurant, karena tersadar perut yang sudah keroncongan belum terisi makanan. Dalam perjalanan pulang aku tercenung, ada banyak hal yang hinggap di benakku. Pertama, takdir ternyata mempertemukan aku dengan sosok Achdiat Kartamihardja yang terkenal dengan novel Atheis-nya yang sangat saya kagumi dalam kondisi yang “berbeda” di tempat antah berantah di negeri orang, kedua, agak miris juga kalau aku ditakdirkan meninggal dunia di negeri yang muslimnya minoritas seperti di Australia ini apalagi tak ada keluarga, disaat seperti itu barulah benar-benar merasakan nilai persaudaraan sebagai sesama muslim, ketiga, tak ada salahnya memang kita sebagai muslim belajar hal-hal yang terkadang kita abaikan selama di tanah air, seperti memandikan, mengkafani, dsb., karena bisa jadi hal itu sangat dibutuhkan suatu saat, apalagi hal-hal itu sifatnya adalah fardlu kifayah, yang artinya kira-kira kewajibannya bagi semua orang-orang islam untuk melaksanakannya dan tak akan gugur selama belum dilaksanakan oleh sebagian orang-orang islam yang lainnya.

Kupandangi pohon-pohon yang meranggas dan tanah-tanah tua yang kering gersang sepanjang perjalanan dari balik kaca jendela mobil, “ah dunia memang hanya tempat sementara kita bersinggah, dari tanah kita kembali ke tanah”, gumamku terima kasih pak Achdiat Kartamihardja, ada banyak pelajaran hidup kupetik hari ini, selamat jalan, semoga amal ibadahmu diterima oleh Allah taala ya robbil izzati

*) Lahir dan besar di lingkungan alam pedesaan di Purbalingga, merantau ke Jakarta mulai tahun 1994 untuk melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi kedinasan, dan mulai tahun 1997 berkarir sebagai PNS di salah satu departemen pemerintah, sekarang sedang menyelesaikan master of international business di salah satu university di Australia.

Leave a Reply

Bahasa ยป