Gunoto Saparie *
suarakarya-online.com
PADA awal perkembangannya (1945-1970-an), cerita pendek (cerpen) memang tumbuh dalam majalah. Terutama majalah kebudayaan/kesusastraan, seperti Pantja Raya, Zenith, Indonesia, Kisah, Sastra, Zaman Baru, Horison, Basis, dan lain-lain. Majalah-majalah tersebut memiliki visi-misi untuk pengembangan kebudayaan/kesusastraan. Dengan karakteristiknya ini, majalah-majalah tersebut memberikan ruang yang leluasa bagi cerpen. Longgarnya ruang ini diyakini merupakan faktor yang menyebabkan para cerpenis dapat melakukan eksplorasi dalam bidang estetika.
Dewasa ini, seiring dengan kematian majalah, cerpen tumbuh dalam koran dengan ruangan yang terbatas. Terbatasnya ruang ini menjadi masalah tersendiri bagi para penulis cerpen, terutama penulis generasi cerpen majalah. Pendeknya, dari keterbatasan koran tersebut, para pengarang merasakan berbagai “kehilangan”. Adapun para pengamat merasakan berbagai penurunan kualitas, yang menimbulkan semacam keyakinan bahwa cerpen majalah lebih berhasil melakukan pencapaian estetika daripada cerpen koran.
Memang, harus diakui bahwa tak semua cerpen koran berhasil melakukan pencapaian estetika. Namun juga tak semua cerpen majalah berhasil melakukannya.
Karya-karya dari cerpen majalah yang sering disebut berhasil melakukan pencapaian estetik tentunya hanya sebagian atau beberapa saja yang memang merupakan masterpiece. Begitu pula dengan cerpen koran.
Tak semua cerpen koran bersifat lugas, topikal, dan permukaan. Banyak pula yang berhasil melakukan pencapaian estetik sekalipun ruangnya terbatas. Bahkan, pencapaian estetika dari cerpen koran, dapat dikatakan telah sampai pada tahap inovasi.
Nenden Lilis pernah menunjukkan, bahwa ternyata dari tumpukan keluhan dan kekesalan terhadap mutu cerpen koran, kita menemukan mutiara yang terpendam jauh di dasar samudra sastra. Tetapi ia tak akan kita temukan jika hanya mencari di atas permukaan. Kita harus menyelaminya terlebih dahulu hingga ke dasarnya untuk menemukan kelebihan dan eksplorasi-eksplorasi yang ada.
Fenomena Indonesia
Menurut Umar Junus, sastra koran adalah fenomena Indonesia. Hanya di Indonesia orang bising tentangnya.Kurangnya majalah sastra yang menyediakan ruang untuk cerpen “memaksa” pengarang menyalurkan cerpen melalui koran. Koran bukan tidak mungkin menjadi penentu kesusastraan juga.
Begitulah uniknya sastra koran kita. Ketika koran adalah “seonggok janin” di negara ini beberapa dekade sebelumnya, sastra sudah menghiasinya sebagai kembang. Sementara di luar negeri, yang konon telah berabad-abad mencicipi yang namanya koran, sedikitpun tidak menyentuhkan sastra ke dalam bisnis koran mereka. Bagi kaum bule, sastra-sastra hanya dibukukan, atau setidak-tidaknya menghiasi majalah-majalah luks, bukan dimuat di halaman koran.
Melihat kenyataan ini kita tentu merasa bangga. Ternyata penulis di Indonesia menjamur, sehingga tidak hanya buku-buku sastra yang dirambahnya, namun koran-koran juga penuh luber dengan tumpukan karya sastranya. Karya-karya sastra tersebut hampir setiap hari singgah di meja redaktur koran, mengakibatkan timbulnya persaingan yang tentunya akan meningkatkan mutu karya sastra di halaman koran-koran tersebut.
Meskipun demikian, sastra koran ternyata tetap mengalami hal tragis. Di kalangan pembaca, nasibnya tidak jauh beda dengan nasib berita-berita aktual kriminalitas, ekonomi, politik maupun features.
Ketika berita-berita di koran sudah basi dan berakhir di tempat sampah atau menjadi bahan pembungkus, begitu pula yang dialami karya sastra. Akibatnya, banyak yang memandang sebelah mata kepada penulis sastra di koran.
Karya-karya sastra yang termuat di situ, teramat sering dicap kacangan, atau setidak-tidaknya cenderung dicap beraliran pop, dan tidak memiliki “ruh sastra”. Ibaratnya, sastra koran hanyalah penghias hari Minggu. Tatkala hari berubah menjadi Senin, dia akan menjadi setumpuk barang loak, mendekam di tempat sampah, atau menjadi sasaran pemburu koran bekas untuk dijadikan pembungkus.
Tentu saja hal itu terimbas kepada para penulisnya sendiri. Meskipun mereka sudah berpuluh, bahkan beratus kali menulis karya sastra di halaman koran, tapi keeksisan para penulis itu tetap jarang (tidak) diakui. Apresiasi pun hanya sekali dua menghiasi halaman koran. Para penggiat sastra koran paling tidak hanya mencicipi honorarium “sepenggal napas”, tapi kreativitasnya tidak dipandang sebagai suatu karya berbobot.
Berbeda sekali dengan para penggiat sastra yang menerbitkan karyanya berupa buku. Apreasiasi pembaca pasti akan teramat besar. Penghargaan demi penghargaan bergerak secara simultan. Bahkan penghasilan dari menciptakan buku karya sastra lebih menjanjikan.
Membukukan karya sastra telah membuat tulisan mereka berkelas. Bahkan tersimpan rapi di rak-rak, yang setiap saat bisa dibaca generasi selanjutnya. Bahkan sampai puluhan tahun ke depan.
Tapi apakah penggiat sastra koran harus banting setir menjadi penulis buku? Kalau menuruti hati nurani pasti semuanya berkeinginan cukup besar untuk menjadi penulis buku sastra. Namun adakah semudah itu mewujudkannya? Tentu tidak. Selain membutuhkan “napas” lebih panjang, untuk membuat buku membutuhkan dana lumayan banyak. Lagi pula tidak mungkin menerbitkan sekian ratus buku dari puluhan atau ratusan penulis sastra dalam waktu bersamaan.
Berbasis dari keberadaan sastra koran yang minim apresiasi dan penghargaan tersebutlah, upaya membukukan sastra-sastra koran yang berkualitas patut dipuji. Upaya ini bisa dilaksanakan sekali dalam setahun. Artinya, karya puisi, cerpen maupun cerber yang mengisi kolom-kolom koran, diseleksi, kemudian beberapa karya bermutu dibuat dalam bentuk buku. Hal tersebut untuk mengantisipasi terbuangnya karya-karya bermutu karena nasib sastra yang dimuat di koran hanyalah berumur sehari.
Kita tahu, program demikian sebenarnya sudah beberapa tahun terakhir ini dilaksanakan beberapa koran Jakarta. Masing-masing koran itu mengumpulkan seluruh cerpen yang dimuat selama setahun. Menyeleksi mana karya terbaik dan menjadi santapan berkualitas bagi pembaca. Kemudian membuatnya dalam bentuk buku.
Seharusnya koran-koran lain, terutama koran daerah mengikuti kebijaksanaan untuk membukukan sastra-sastra koran. Sebab sekali lagi, dengan membukukan karya-karya para penggiat sastra koran, pasti akan menimbulkan nuansa lain.
Kita ingat bagaimana ketika Nirwan Dewanto, pada periode 1890-an, sempat memuji cerpen koran. Cerpen-cerpen terbaik di Indonesia ternyata tidak dimuat di majalah sastra Horison Melihat kondisi cerpen koran, Nirwan pun berkomentar bahwa ruang cerpen di surat kabar, betapa pun terbatas, menyediakan potensi penyegaran sastra yang tidak kecil.
Saya kira kita setuju dengan pernyataan Nirwan itu.
*) Gunoto Saparie, penyair dan Bendahara Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)