Salim Alatas
http://www.lampungpost.com/
Kebebasan pers adalah unsur yang esensial dalam demokrasi, dan melekat pada konsep demokrasi itu sendiri. Jika diperhatikan peranan yang dimainkannya dalam masyarakat yang demokratis, dapat dikatakan batasan demokrasi banyak ditentukan oleh kebebasan pers dan tersedianya ruang publik (public sphere) yang menjamin setiap warga masyarakat dapat menyampaikan pendapatnya secara bebas.
Pada sisi lain, demokrasi juga banyak ditentukan oleh struktur dan ciri sistem komunikasi. Sebuah negara, atau institusi dapat dinamakan demokratis bila memungkinkan terjadinya komunikasi tanpa hambatan. Tolok ukur demokrasi adalah kriteria komunikasi, yaitu adanya wacana publik, pertukaran pendapat, gagasan dan perbedaan secara terbuka, arus informasi yang tidak dibatasi, kebebasan pers serta hak dan kebebasan memilih.
Kemerdekaan dan kebebasan pers juga merupakan tuntutan hakiki dari wahana media informasi yang harus menjalankan peran dan fungsinya sebagai pilar keempat demokrasi di samping eksekutif, legislatif, dan yudikatif sehingga dapat tercipta suatu keseimbangan dalam negara demokrasi. Jaminan kemerdekaan dan kebebasan pers juga penting untuk menjaga objektivitas dan transparansi pers dalam menuliskan berita-beritanya tanpa tanpa rasa takut di bawah tekanan penguasa.
Dalam konteks Indonesia, kebebasan pers mulai mendapatkan ruang setelah reformasi pada 1998. Hal ini bahkan semakin dipertegas dengan pengakuan dan landasan hukum melalui Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) untuk menggantikan Undang-Undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982 yang dinilai represif dan membelenggu kemerdekaan pers. Dengan demikian, seiring bertumbuhnya demokrasi di Indonesia, negara harus menjamin kebebasan pers untuk mempergunakan ruang kebebasan sebagaimana dijamin oleh undang-undang sehingga akhirnya pers dapat menjadi watch dog atau pemberi peringatan dini terhadap penyelenggaraan negara, mengungkap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Dalam konteks inilah kita dapat mengatakan bahwa pidato Presiden mengenai kritik yang ditujukan kepadanya sebagai suatu hal yang inkonstitusional dan tidak memiliki landasan hukum. Sebagaimana telah menjadi pemberitaan media, beberapa saat lalu dalam pidatonya di Mataram, Presiden menyebutkan bahwa ada gerakan politik yang keliling Indonesia untuk sengaja menjelek-jelekkan pemerintah. Tentu, dengan tujuan untuk memperburuk citra pemerintah yang sedang dipimpinnya. Selain itu, Presiden pun menyinggung bahwa media turut berperan dalam memperburuk citra pemerintah.
Meskipun sampai kini tidak jelas gerakan politik apa dan media mana yang dimaksud oleh Presiden. Namun pidato itu terlihat seolah-olah ingin membatasi pers dan membatasi ruang publik serta antikritik. Karena dalam negara demokrasi kebebasan berpendapat diakui oleh undang-undang, siapa pun?termasuk presiden?tidak memiliki dasar hukum untuk membatasi setiap orang untuk menyatakan pendapatnya.
Sebagai seorang pemimpin dari sebuah negara yang sedang mengembangkan demokrasi, tidak layak Presiden mengeluarkan pernyataan tersebut karena akan berbahaya bagi masa depan demokrasi di negeri ini. Presiden lupa bahwa kebebasan pers diatur dan diakui oleh undang-undang di negeri ini dan kebebasan berpendapat setiap warga negara diatur oleh undang-undang.
Seharusnya kritik pers ataupun masyarakat terhadap pemerintah harus dimaknai oleh Presiden sebagai bentuk kepedulian rakyat terhadap Presiden, dan merupakan upaya untuk menumbuhkan unlightened understanding dari persoalah-persoalan publik hingga persoalan politik. Dengan demikian, tidak perlu ada upaya-upaya negara untuk mengintervensi pers dengan cara apa pun, dan membiarkan pers melakukan aktivitas untuk menghasilkan karya-karya jurnalistik dalam rangka meningkatkan kecerdasan dan kesadaran masyarakat terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Jika memang Presiden merasa dirugikan oleh pemberitaan media, sesuai dengan ketentuan undang-undang, Presiden dapat menggunakan ?hak jawab?, yaki hak untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap karya jurnalistik menyangkut fakta (pemberitaan) yang bersifat sepihak dan tidak akurat sehingga merugikan nama baiknya. Mekanisme lain yang dapat ditempuh oleh Presiden atau pihak mana pun yang merasa telah dirugikan oleh pemberitaan media adalah mengajukan mengajukan permasalahannya kepada dewan pers. Dalam konteks ini, dewan pers akan menjadi mediator antara Presiden dan pers untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan pemberitaan media.
Seharusnya hal ini tidak terulang kembali karena akan menjadi preseden buruk bagi masa depan kebebasan pers di negeri ini. Kita semua tidak ingin, kehidupan pers di negeri ini dihadapkan pada kompromi-kompromi yang akhirnya akan melenyapkan independensi redaksional media pers. Pers juga harus bebas dari upaya campur tangan pihak lain untuk membengkokkan standar profesional dan kode etik jurnalistik. Karena setiap kompromi dan upaya campur tangan pihak luar, hanya akan memerosotkan martabatnya sampai titik terendah. Akibatnya, demokrasi yang telah dengan susah payah dibangun, akan hancur seiring dengan terbelenggunya kebebasan pers.
*) Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Bandar Lampung