Puisi-Puisi Indra Tjahyadi

jawapos.co.id

HIKAYAT BAJAK LAUT
: trombol

berdayungkan ombak berlayarkan angin
: ”hai! mau ke mana, bung?”
rambut kuncir ekor kuda tumbuh uban satu satu
lengan kekar sebesar akar sengon tua
bersanding bangkai tikus busuk
kota masih seperti dulu, bung
: lampu-lampu kuning,
jalan yang menderu lantas hening
angin yang ditiup musim
dan jatuh mendenging
sapi yang dikarap selalu lebih cepat ketimbang laju
memburaikan debu
menusuki mripatku
di tengkuk
udara selalu terasa lebih ringan
lebih rinding lebih riang ketimbang dingin, bung
selalu mengingatkanku pada hikayat seorang bajak laut
yang terdampar di ujung teluk
waktu itu:
jukung-jukung pikun tak melaju
orang-orang pantai menekur
terpekur
jalan ngelindur
lalai melaut
”moyangku datang
dari sebuah pulau tandus
di timur bandar besar yang kumuh
datang dengan berperahu.”
(sungguh) kau (pernah) berkata seperti itu
seperti bunyi lesung
yang ditumbuk perempuan-perempuan kampung
perempuan-perempuan yang kakinya kurus
yang menjejak tanah berlumpur
konon:
dulu seorang raja
pernah membangun
seonggok candi
tempat istirah
dari tanah berlumpur itu
sehabis menaklukan
para perusuh
tapi mengapa kau
masih saja mengingatkanku
pada hikayat seorang bajak laut
yang terdampar
di ujung teluk itu, bung
tiap kali gelombang debum
membentur karang
menabrak terumbu?
orang-orang gunung ngluyur-turun
berselempang sarung dan kabut
gadis-gadis berpupur di balik warung
mengikuti tabuh
menggoyangkan pinggul
seorang pengemis berdeku gagu
di sudut samun tidur
ada kereta melesat
tak jauh dari duduk
derunya
seperti pekik sakratul
di malam-malam
seusai gestapu
”bukankah kau datang
dari bandar besar yang kumuh itu
adakah kau juga datang
berperahu?”
”bukan,
aku datang dari sebuah sudut lusuh penuh hantu
datang sebagai buruh
datang sebagai menantu.”
seorang lelaki
menyelipkan uang di kutang ungu
seorang penabuh
melihat langit dilingkari bisu
seorang pemabuk
limbung, alpa arah, lalai tuju
seekor kucing garong
melompati pagar –mencari setubuh
kiranya ada pernah
kau beri pesan sebelum dengkur
sebelum guntur merobek halimun:
”peluh boleh beku
mengeras di atas kasur
arak segendul ayo lekas teguk
: panasnya
pahitnya
sialnya
tak lebih dari hidup!”
eit! sebentar! mau kemana, bung
adakah kau seorang bajak laut
yang terdampar di ujung teluk itu?

2007-2009.

Empat Pantun Rindu dan Satunya Maut

1
Malam duda duduk di beranda
tercium harum sunyi kamboja
hatiku adik perih bergada
dilalai peluk sakit meraja.

2
Bulan di langit kilau semata
bintang berkelip terang percuma
kenangan wajahmu adik kekal meronta
memanggil perih kencang bergema.

3
Siapa mampu petik bunga di hari gulita
jalan berkelok dipagar sepi mendera
aku sendiri adik dibakar airmata
raga sekujur dipasung hati penuh cedera.

4
Kulihat bulan kuingat ranjang
tubuhku adik sakit meregang
makin jauh kau dari pulang
makin perih hati rindu mengenang.

5
Lanun sunyi labuh di hulu puisi
di hulu puisi berenang ikan mati
hati siapa adik tak kecut tak pasi
lihat maut dalam tidur menanti.

2008-2009.

Indra Tjahyadi, lahir di Jakarta, 21 Juni 1974. Dosen di Program Studi Sastra Inggris Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Airlangga Surabaya. Aktif bergiat di Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya. Menulis esai, puisi dan cerpen.

Leave a Reply

Bahasa ยป