lampungpost.com
Tuhan Mengundang Kita di Beranda Ramadan
Tuhan mengundang kita di beranda Ramadan
Ayo kita bersama-sama segera memenuhi undangan-Nya
Jika kita mendekat sejengkal, Tuhan menyongsongnya sehasta
Jika kita mendekat sehasta, Tuhan menyongsongnya sedepa
Jika kita mendekat berjalan, Tuhan menyongsongnya berlari-lari
Di hadapan-Nya, kita sama berkendara rasa lapar dan dahaga
Dengan niat tulus ikhlas kita hanya mengharap keridhoan-Nya
Di beranda Ramadan, tak ada kursi, kita harus maklumi
Karena kalau ada kursi pasti nanti akan diperebutkan
Seperti kursi kekuasaan yang selalu menjadi incaran
Orang-orang licik korup yang penuh tipu muslihat
Dan selalu berbuat yang menghalalkan segala cara
Tuhan, banyak masalah kehidupan yang harus kita bicarakan
Di jaman sekarang yang semakin tak karuan semakin sungsang
Keadaan jaman yang sering terjadi memutar balik kenyataan
Mari, Tuhan, kita dialogkan alternatif penyelesaian terbaik
Di antara kita tak ingin ada rasa sungkan ewuh-pakewuh
Kita begitu akrab layaknya sahabat yang sangat dekat
Persahabatan yang tetap terjalin di dunia sampai akhirat kelak
Di beranda Ramadan, kita semua diperlakukan sama
Pria-wanita, tua-muda, kaya-miskin, senang-susah
Karena yang membedakan di antara kita adalah
Tingkah laku perbuatan dan ketaqwaan kita beribadah
Menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya
Tuhan menyuguhi kami makanan ruhani sejati
Yang mengenyangkan kita akan hakekat makanan
Paling enak dan sangat lezat bagi jiwa yang papa
Semua arah pembicaraan kita di beranda selalu bermuara
Pada permohonan maaf kami sebagai manusia biasa
Yang selalu tak luput dari khilaf dan kesalahan, betapa
Engkaulah, Tuhan Mahapemaaf dan Mahapenyayang
Betapa aku tak berani menatap wajah Tuhan
Karena aku selalu merasakan kehadiran-Nya
Yang benar nyata ada menyatu dalam diriku
Tuhan, kita begitu sangat dekat, bahkan tak berjarak
Karena Tuhan memang lebih dekat dari urat leher kita
Pengadegan, 2010
Gelombang Ramadan
Aku ingin membelah gelisah, bagaikan Musa
membelah lautan yang gelombangnya ketakmenentuan
dunia meraja di hati, hingga telah terpelanting
dan Fir?aun pun tenggelam, betapa terlambat
kembali pada kebenaran hakiki, hingga kini
menjadi pelajaran dalam arus zaman ini
empasannya lebih deras melindas kehidupan kita
Terhadap tanda-tanda zaman yang tertangkap
yang belum terlambat, betapa segalanya
mesti disadari lebih dini, untuk mengerti
hingga hanya memperturutkan nafsu diri
menyeret kita dalam arus yang menenggelamkan
Ada kecipak makna yang tersirat
meniti aku pada buih-buih tasbih
terangkum dalam gelombang ramadan
yang mengangkat harkat kehidupan kita
Dari Subuh Sampai Magrib
Perutku mau pecah, telah terisi angin ribut
lapar memburuku dengan berkendara rasa
hingga laku batin ini terus saja kujalani
Dari subuh sampai magrib, aku mengalir
ke dalam curahan cahaya matahari, betapa
aliran kesibukan seharian penuh pematangan ibadah
Pikiranku semakin jernih meniti tasbih
dalam keberkahan Tuhan yang telah tercurah
di bulan ramadan penuh pematangan ibadah
Dari subuh sampai magrib, aku mencari
keridlaan ilahi rabbi dengan bergulir dzikir
dari perjalanan abadi menuju kedamaian abadi
Ketika Masjid di Hati Nurani
Ketika masjid di hati nurani
: sebuah mata air akan selalu mengalir
mengairi kali, anak kali hingga
pada muara hidup kita
Ketika masjid di hati nurani
: berlayar perahu-perahu di atas gelombang
meniti buih, pahami ombak dan karang
melaut perenunganku yang paling dalam
Ketika masjid di hati nurani
: ada sepercik air yang terbetik
menetes ke dalam danau bening
dan kita bagai ikan berenangan.
***
Akhmad Sekhu, lahir di Jatibogor, Suradadi, Tegal. Kini bergiat di Komunitas Penulis Pancoran, tinggal di Jakarta Selatan. Buku puisinya: Penyeberangan ke Masa Depan (1997), Cakrawala Menjelang (2000), dan Seribu Tahun Ketabahan (siap terbit).