Hujan di awan, mendung di tanah
Musim bersilih selisih
di air kulihat wajah awan mengapung
rumbai rambutnya putih tertambat karang
pikirku sedang digelung
; ombak kian pecah
cakrawala berbelah
matahari tumpahkan air bah
riaknya kabut fatamorgana
nafas dihempas keruh debu
liku jalan sedepa
membalik arah ke gurun sahara
menyeka keringat basa leluhur
bathin embun ditusuk pucuk cemara
angin lautan mengayuh dedaun selara
24 November 2009
Simfoni Pagi
Lalu pagi
kau pun beranjak
membuka jendela, melepas saujana
segeliat mata kendana
ke tengah lembah, bukit berkaki salju
menapak jejak burung sehangat kuku
sebelum cair, seratnya jingga cahaya
memukau
di pucuk cemara, kini ia berlagu
sebait jatuh, seputik salju
diriuh edelweise menari kaku
Love at Sahara
Halwa sezalir embun menitik pada mizan wisikan wiraga
sepucuk kolase seayun kepakan santun
selembut virga sesadrah ruas telinga
kriya bersilap pandang, nafas soja
selenting mint selembab malam sahara
pada bulan di pelataran azzura
tilas pesirah gugusan airmata bintang kala
duhai zuhara, di atas sinai kutebalkan rona wajah dengan debu maskara,
sebelum sesosok harem melepaskan cadarnya demi kegairahan syair-syairku
dimana rindunya tergenang fatamorgana, sampai gaunnya memerah delima
seperti bulir-bulir anggur yang masak karna cinta
bias cahaya tersepuh dengan racun dalam cawan kristal, dimana dahaga menahan satu tegukan
Cinta dan Imitasi
Bagi mata yang terang, Cinta adalah keajaiban cahaya abadi, meski dalam wujud kasar ia adalah bentuk dan nafs.
Dalam konteks ini, Rumi menerangkan hakikat keindahan secara ringkas dan jelas: Cinta adalah setetes air yang berasal dari Lautan yang tak berwatas, atau sebuah cahaya yang memantul pada dinding. Semua keindahan berasal dari dunia lain, yang ada di sini hanyalah kesementaraan dan pinjaman. Keindahan yang sesungguhnya hanya ada pada Tuhan.
Adapun dalam beberapa baitnya, yaitu:
Keindahan manusia bagai sepuhan–tapi mengapa kekasihmu yang menawan menjelma seekor keledai tua?
dia dulu bagaikan malaikat, tapi kini seperti setan, karena keelokannya adalah sesuatu yang terpinjam.
“Keindahan wajah rembulan dunia mencurinya dari Keindahan Kami: mereka mencuri Keindahan dan Kebaikan-Ku.
Akhir wajah rembulan sang kekasih menjelma wajah jerami. Itulah keaadan pencuri-pencuri kehadiran kekuasan-Ku.
Hari telah datang, oh mahluk debu! Kembalikan apa yang kau curi! Oh kekasih yang manis, mungkinkah debu memiliki kekayaan dan keindahan?”
Manakala malam menyelubungi matahari, planet-planet mulai berkoar. Kata Venus, “Ketahuilah bahwa segalanya milikku!” Bulan menyahut, “Ia milikku!”
Yupiter mengeluarkan emas murni dari kantongnya; Mars mendesak Saturnus “Kenakan pisauku yang tajam!”
Merkuri duduk di depan: “Aku adalah pemimpin dari para pemimpin. Langit adalah milikku dan seluruh konstelasi pilar-pilar.”
Saat fajar Matahari memancarkan sinarnya dari ufuk timur, ia berkata, “Oh para pencuri! Ke mana kalian pergi? Kini segalanya milikku!”
Jantung Venus tertusuk dan leher rembulan pecah; pancaran wajahku mengeringkan Merkuri lalu menjadikannya beku.
Cahaya Kami menghancurkan Mars dan Saturnus; menyedihkan, Yupiter berteriak, “Musnahlah kantong emasku!”
Alam semesta menunjukan Keelokan Dikau! Tujuan adalah Keindahan Dikau–segala yang lain adalah dalih.
Sungguh, betapa Rumi amat menafsirkan segala sesuatu amat jernih dan mendasar. Semoga dengan “penjelajahannya” menghiasi perbendaharaan kita.
“Duhai Matahari dan Rembulan; Duhai Zuhara, duhai Bunga-bunga…”
18 November 2009