SM ARDAN: SASTRAWAN BETAWI-INDONESIA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Bagi masyarakat Betawi, SM Ardan boleh jadi lebih dikenal sebagai seniman Betawi daripada sebagai sastrawan Indonesia. Sememangnya, belakangan ini kiprah kesenimanan Ardan lebih banyak berkecimpung dalam berbagai masalah kebetawian daripada kesusastraan Indonesia. Wajarlah jika masyarakat Betawi menempatkannya sebagai sastrawan Betawi bergandengan dengan nama Firman Muntaco (1935?1993), Ramlan, dan Zaidan Wahab. Jika Ardan dan Firman Muntaco, secara konsisten seolah-olah hendak memotret peri kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi, maka Ramlan dan Zaidan Wahab lebih banyak mengangkat cerita-cerita silat Betawi.

Kiprah Ardan dalam perjalanan kesusastraan Indonesia, juga tidak begitu banyak dibicarakan para pengamat sastra Indonesia. H.B. Jassin dan A. Teeuw, misalnya, hampir-hampir tidak menyentuh karya-karya SM Ardan. Di dalam buku yang disusun A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1 (1978) dan Sastra Indonesia Modern II (1989) misalnya, nama SM Ardan hanya disinggung empat kali. Pembicaraan itu pun sama sekali tidak mengungkapkan kelebihan atau kekurangan karya-karyanya.

Meskipun begitu, Ajip Rosidi dalam bukunya, Tjerita Pendek Indonesia (1959), membuat ulasan cukup tajam mengenai antologi cerpen SM Ardan, Terang Bulan Terang Dikali (1955). Inilah salah satu komentar Ajip Rosidi: ?Justru lantaran kehendak memberikan gambaran yang senyata-nyatanya, sewajar-wajarnya tentang manusia dan kebudayaan Jakarta itulah, maka dalam Terang Bulan Terang Dikali ini, Ardan lebih cenderung menulis sketsa daripada cerpen. ? Dan Ardan, demi pengetahuannya yang luas dan mendalam kepada kota tempat selama ini dia hidup, masyarakat yang dicintainya, kepada kita ia telah menyuguhkan lukisan-lukisan yang indah tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Jakarta, bahkan dalam beberapa bagian mencapai tingkatan sastra yang tinggi.?
***

SM Ardan yang nama aslinya Sahmardan, lahir di Medan, 2 Februari 1932. Mengikuti orang tuanya, ia hijrah ke Jakarta. Seperti kebanyakan pelajar pada masa itu, Ardan pun banyak terlibat dalam berbagai kegiatan kebudayaan. Maka, tidak perlu heran jika ia sudah berhasil mempublikasikan sejumlah puisinya ketika ia bersekolah di Taman Madya Taman Siswa, Jakarta. Satu prestasi yang lebih dahulu diraih teman sekolahnya, Ajip Rosidi dan Sukanto S.A. Oleh karena itu, seperti juga sastrawan seangkatannya, selepas lulus sekolah, dunia menulis dan profesi kepengarangan, disadari telah menjadi pilihan hidupnya. Karya-karyanya, baik puisi, cerpen, maupun esai, mulai banyak menghiasi rubrik kesusastraan berbagai media massa.

Sejalan dengan semaraknya penerbitan majalah dan suratkabar waktu itu, Ardan pun tahun 1954 ?bersama Ajip Rosidi dan Sukanto S.A.? ikut terlibat sebagai redaktur majalah Arus. Setelah itu, ia bersama Sobron Aidit, ikut menangani Genta, sebuah rubrik kebudayaan mingguan Merdeka (1955?1956). Kemudian, bersama Trisnojuwono, ia menerbitkan majalah Trio (1958). Di awal zaman Orde Baru, Ardan kembali ikut pula menerbitkan majalah Abad Muslimin (1966). Belakangan, ketika perfilman Indonesia mencapai masa keemasannya, ia menerbitkan majalah Citra Film (1981?1982). Selain itu, pada tahun 1963?1965, Ardan pernah pula menjadi pemimpin grup drama ?Kuncup Harapan?, Jakarta. Dan kini, di antara kesibukan sehari-hari di Pusat Perfilman Usmar Ismail, ia masih tetap aktif dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan berbagai persoalan kebetawian.

Meskipun sekarang ini Ardan lebih banyak mengurusi soal-soal kebetawian, tidak berarti pula ia telah melupakan kegiatan di bidang sastra. Ia masih kerap diundang ke sana ke mari, baik dalam hubungan dengan masalah kebetawian, perfilman, maupun kesusastraan Indonesia. Pamusuk Eneste dalam Buku Pintar Sastra Indonesia (2001: 218), Korrie Layun Rampan dalam Leksikon Susastra Indonesia (2000: 431) dan dalam beberapa buku yang membicarakan sejarah sastra Indonesia, nama SM Ardan masih tetap menempati kedudukannya yang khas.

Kiprah kesastrawanannya sendiri dimulai lewat penulisan puisi. Dua buah puisinya yang berjudul ?Dengan Tengkorak? dan ?Skets? pertama kali dimuat di majalah Pujangga Baru, No. 4, Oktober 1950. Setelah puisinya banyak dimuat berbagai majalah, Ardan kemudian mulai menulis cerita pendek. Cerpen awalnya, ?Adik, Tetangga, dan Asni? dimuat di majalah Nasional, No. 49, Th, III, 1952. Setelah itu, cerpen-cerpennya seperti mengalir dari tangannya. Beberapa majalah yang memuat buah karya SM Ardan waktu itu, antara lain, majalah Pujangga Baru, Siasat, Kisah, Zenith, Duta Suasana, Mimbar Indonesia, Merdeka, Djaja, dan lain-lain. Keseluruhannya, cerpen-cerpen Ardan yang masih tercecer di berbagai media massa itu berjumlah sekitar 40-an cerpen.

Beberapa dari cerpennya itu kemudian diterbitkan dalam kumpulan cerpen Terang Bulan Terang Di Kali (1955). Tahun berikutnya, bersama Ajip Rosidi dan Sobron Aidit, ia menerbitkan antologi puisi bersama, berjudul Ketemu di Jalan (1956). Sekitar 50-an buah puisinya yang lain, seperti juga sejumlah cerpennya, masih berserakan di berbagai media massa. Sebelum itu, naskah dramanya yang paling awal, Kubangan, dimuat majalah Drama, No. 2, I, 1953. Sebuah noveletnya yang merupakan naskah sandiwara tiga babak mengangkat kisah Nyai Dasima (1965, Cetakan kedua, 1971).
***

Jika saja Ardan hanya menulis puisi, niscaya kita dengan mudah memasukkannya sebagai salah seorang penyair Indonesia yang kiprahnya dimulai tahun 1950-an. Tetapi untuk bidang drama dan cerpen, sastrawan yang berperawakan agak kurus ini, dapat saja diposisikan di dua tempat: sebagai sastrawan Betawi dan sekaligus sastrawan Indonesia. Lalu, bagaimana duduk soalnya sehingga ia berada di dua tempat?

Tempat Ardan dalam sejarah perjalanan cerpen Indonesia memang agak khas. Secara intrinsik, style yang dikembangkannya mirip dengan cerpen-cerpen M. Balfas (1921?1975). Hanya, Ardan cenderung memusatkan perhatiannya pada kehidupan keseharian wong cilik masyarakat Betawi. Dan secara meyakinkan, gambaran kehidupan warga Betawi itu disajikannya lewat narasi dalam bahasa Indonesia, sementara dialognya memakai bahasa Betawi. Maka, ia seperti sedang memotret perilaku orang-orang Betawi yang sering kali kalah dan tergusur. Sebuah ironi yang sungguh terasa getir.

Dilihat dari tema-tema yang diangkat dan cara penyajian, tampak ada perbedaan antara sosok Ardan dengan Firman Muntaco. Kedua sastrawan ini memang menampilkan kisah-kisah ringan model sketsa. Namun, Muntaco sepenuhnya mengeksploitasi bahasa Betawi sebagai mediumnya, sementara Ardan memanfaatkannya untuk kepentingan dialog. Perbedaan yang cukup mendasar justru terjadi pada tone (nada) yang menyertai keduanya. Muntaco terkesan memposisikan dirinya sebagai pewarta yang tidak terlibat, sedangkan Ardan sebagai pelaku yang terlibat. Dengan demikian nada ironi dalam cerpen Ardan terasa lebih menukik-menyentuh.

Menurut Ajip Rosidi yang mengutip pernyataan Ardan sendiri, cerpen-cerpen yang dilahirkan SM Ardan merupakan refleksi kepedulian dan kecintaannya pada dunia kehidupan Jakarta yang sudah sangat dikenalnya benar; di sana ada kebiasaan, tradisi, penderitaan, dan suka duka warga Jakarta dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Itulah yang mendorongnya mengangkat peri kehidupan warga Jakarta yang memang telah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya sendiri.
***

Jika kita cermati perjalanan keseniman Ardan sejak masa awal hingga sekarang, tampak benar bahwa kecintaannya terhadap kehidupan masyarakat dan kebudayaan Betawi, selalu ia wujudkan melalui kiprah kesenimanannya. Mula-mula ia menekuni penulisan puisi yang sebagian besar kemudian dikumpulkan dalam antologi bertiga, Ajip Rosidi, SM Ardan, dan Sobron Aidit, Ketemu di Jalan (1956).

Tidak puas dengan puisi, Ardan kemudian beralih ke penulisan cerpen yang sepuluh di antara cerpennya yang terbar itu, dikumpulkan dalam Terang Bulan Terang Dikali (1955). Di antara kegiatannya mengurusi majalah, ia menulis skenario film Di Balik Dinding (1956). Inilah langkah awal Ardan menulis skenario film. Sejak tahun 1969, ia aktif membina kesenian Betawi, khususnya lenong. Dari sana pula, ia ?terpaksa? menulis sejumlah naskah lenong. Sayangnya, naskah-naskah lenong yang dihasilkannya, masih tercecer dan belum dipublikasikan dalam bentuk buku. Selain menulis naskah lenong, Ardan kembali menggarap penulisan skenario film. Beberapa skenario film yang telah dihasilkannya, antara lain, Si Pitung (1970), Si Gondrong (1971), Brandal-Brandal Metropolitan (1971), Pendekar Sumur Tujuh (1971), Pembalasan si Pitung (1977), dan Rahasia Wisma Mega (1978).

Sejak tahun 1985, Ardan tercatat sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta. Kini, dalam usianya yang memasuki kepala tujuh itu, hampir sebagian besar waktunya ia curahkan dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan Lembaga Kebudayaan Betawi, di samping mengurus pekerjaan rutinnya di Pusat Perfilman Usmar Ismail. Meski begitu, dari perbincangannya beberapa waktu yang lalu, ia masih menyimpan semangat untuk menghasilkan cerpen-cerpen yang mengangkat masyarakat dan kultur Betawi. Kita tunggu saja karya-karya lainnya, sebagaimana yang pernah dihasilkannya waktu lalu.

(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *