Tulis Saja, Jangan Berpikir?!

Diana AV Sasa
http://indonesasa.wordpress.com/

? Mulai lah menulis, jangan berpikir. Berpikir itu nanti saja. Yang penting menulis dulu. Tulis draft pertamamu itu dengan hati. Baru nanti kau akan menulis ulang dengan kepalamu. Kunci utama menulis adalah menulis, bukannya berpikir?.

Itu adalah pelajaran pertama Jamal Wallace dari seorang penulis terkenal yang hanya menerbitkan satu buku kemudian menghilang, dan meraih Pulitzer, William Forrester. Pelajaran pertama yang mengasah bakat menulis Jamal hingga menjadi penulis yang berkarakter. Karakter yang ia temukan setelah menemukan serangkaian latihan demi latihan di kamar William. Khas Jamal yang menemukan titik setelah di caci maki Profesor di sekolahnya. Karya yang ditulis dengan hati.

Jamal adalah seorang kulit hitam yang tumbuh menjadi remaja di lingkungan Bronx. Kawasan ras kulit hitam yang padat dan kasar. Ia hidup serumah dengan ibunya. Ayahnya pergi karena tak tahan dengan omelan ibunya soal kebersihan. Saudara laki-lakinya ikut pergi setalah ayahnya pergi. Kesepian membawanya kesudut kamar dan melarikannya pada buku harian. Tempat ia menorehkan segala kecamuk hati.

Buku harian itu tertinggal di kamar William ketika suatu malam ia lari terbirit-birit setelah terpergok menerobos masuk rumah William tanpa ijin atas tantangan kawan-kawannya. Buku harian itu dikembalikan William dengan melempar tas dari jendela saat Jamal pulang sekolah. Sampai di rumah, Jamal mendapati catatan hariannya dicoret-coret dengan tinta merah. Lebih tepatnya dikoreksi dan diberi komentar. Diantaranya adalah komentar paragraf ini fantastik, ketelitian,bagus sekali, menakjubkan. Juga beberapa koreksi gramatika, dan sebuah pesan : Saya ingin mendukung penulis ini. Bisakah kita pergi keluar The Bronx sebentar?

Undangan itu dipenuhi Jamal. Tapi tak semulus harapannya. Kedatangannya dengan cara baik-baik ditolak mentah-mentah. Permintaannya agar William mau memeriksa beberapa catatannya lagi dibalas dengan tantangan menulis 5ribu kata tentang ?Mengapa kau akan tetap berada di luar rumahku? ?. Jamal pulang dengan kemarahan sekaligus tantangan. 5ribu kata itu dipenuhinya dibalik kamar dan diantara teriakan perempuan tetangganya yang sedang diamuk nafsu. Ia kembali beberapa hari kemudian.

Pintu rumah William akhirnya terbuka. Dari situ persahabatan mereka mulai terjalin. Pelajaran pembuka yang diterima Jamal mengenai esensi sebuah pertanyaan. Obyek dari pertanyaan adalah untuk memeproleh informasi yang berati bagi kita. Jadi jangan menanyakan hal-hal yang jawabannya sudah kita tahu, hanya untuk sebuah penegasan. Mereka menyebutnya ?soup question?. Seperti sup krim yang jika tidak diaduk dan dibiarkan saja maka akan membuih. Pertanyaan seperti itu lama-lama akan menjadi bualan omong kosong jika diteruskan.

Pelajaran selanjutnya adalah tentang menghormati buku. Selalu kembalikan buku setelah dibaca ke raknya semula dengan rapi. Jangan sekali-kali melipat sudut kertas untuk menandai batas membaca. Itu seperti membuat kuping anjing saja. Menghina penulisnya.Pelajaran-pelajaran sederhana ini mengalir dalam pertemuan-pertemuan awal William dan Jamal tanpa sengaja. Sebuah pondasi yang dibangun untuk mencintai buku dengan hati melalui hal-hal kecil yang remeh sebelum mereka bersepakat untuk menjadi mentor dan murid.

William mau menjadi mentor asal tak ada pertanyaan tentang pribadinya, keluarganya, dan mengapa hanya satu buku yang ditulisnya. Ia juga meminta jaminan bahwa segala yang ia ceritakan yang terjadi di kamar itu tak akan pernah diceritakan pada orang lain. Jamal menerima semua syarat itu, asal William mengajarinya menulis. Maka pelajaran menulis itupun dimulai.

Sebagai awal, William meminjamkan judul dan paragraf pertamanya untuk memberi pancingan agar Jamal mampu menemukan kata-katanya sendiri. Strategi itu manjur. Tulisan pertama Jamal mendapat pujian Profesornya di kelas. Namun Profesor itu terus meragukan orisinilitas tulisan Jamal. Bagi sang Profesor, seorang anak kulit hitam dari The Bronx dan berasal dari sekolah kecil yang miskin sangat meragukan bisa memiliki tulisan sebagus itu.

Jamal tersinggung tulisannya diragukan. Namun ia tak marah. Disimpannya dendam itu untuk memicunya menulis lebih baik. Ia menulis lagi dengan dibantu judul dan paragraf dari William. Lalu ia mengumpulkan tulisannya untuk lomba menulis essay akhir tahun di sekolah. Sayang setelah menulis itu Jamal lalai tak mengganti judulnya. Begitu saja dibawa ke sekolah dan mengumpulkan untuk lomba menulis.

Kelalaian itu akhirnya menjadi bumerang. Profesornya-yang sejak semula meragukan kemampuannya- menemukan bahwa judul dan paragraf pertama itu pernah diterbitkan atas nama William Forrester di majalah New Yorkers. Jamal lemas tak berdaya. Dewan sekolah mengancam akan menarik beasiswa. Ia akan diampuni jika mau membuat surat permintaan maaf pada semua siswa atas plagiat yang dilakukannya atau mendapat ijin dari si empunya paragraf. Jamal tak memilih dua-duanya.

Ia marah sekali pada gurunya, William. Ia menyesal mengapa William tak mengatakan bahwa tulisan itu pernah dipublikasikan sehingga Jamal bisa menyebutkan sumber kutipan. Tapi William justru berbalik marah karena sejak awal ia sudah menerapkan bahwa apa yang ditulis di kamarnya akan tetap ada di kamarnya, tanpa kecuali. Jamal membela diri. Ketika ia akan minta ijin membawa tulisan itu keluar William sedang tertidur pulas. Jamal malah mengumpat dan mengatakan William tak lebih dari seorang pengecut. ?Untuk apa menulis sampai almarimu penuh jika tak ada seorang pun diluar sana yang mengetahui tulisanmu?!? Wlliam naik pitam. Jamal juga. Mereka berseteru.

Jamal tidak menulis surat permintaan maaf, tapi juga tak mengatakan pada dewan sekolah atau siapapun bahwa ia telah mendapat ijin dari si empunya paragraf. Ia pegang teguh sumpahnya dengan sang guru. Ia juga siap melepas beasiswanya. Namun sebuah keajaiban terjadi.

Disaat acara pemenang lomba menulis akhir tahun itu hampir diumumkan, tiba-tiba William muncul dan meminta waktu membacakan sebuah paragraf. Seluruh orang yang ada diruangan itu terkejut ketika ia menyebutkan nama sambil menunjuk foto yang tergantung diatas dinding. Mereka terdiam. Apa yang dibaca William sangat menohok perasaan. Kalimatnya sederhana, lugas, dan dalam. Tentang keluarga dan persahabatan. William membacanya dengan sepenuh hati. Hadirin bertepuk tangan riuh.

William katakan bahwa ia ada diruangan itu karena seorang sahabat mengijinkannya untuk hadir. Sahabat yang tetap melindunginya di saat William tak bisa melakukan hal yang sama. William beritahu semua orang di ruang itu bahwa ia membantu Jamal menemukan kata-katanya dengan meminjamkan kalimatnya asal Jamal tak menceritakan pada siapapun tentang dirinya. Dan janji itu dipegang teguh. Meski Jamal nyaris kehilangan segala kebanggaannya sekaligus. Itu lah seorang sahabat sejati. Dibaritahukannya juga bahwa paragraf yang dibacanya tadi bukan tulisannya, itu karya Jamal. Hadirin terhenyak dan berdecak kagum sebelum kemudian bertepuk tangan riuh lagi. Sebuah tepuk tangan kebanggaan dan penghormatan. Pengakuan akan sebuah karya dan talenta.

Jamal memang menulis karena ia punya bakat. Tapi bakat saja tak cukup. Perlu pengetahuan tentang bagaimana menulis yang baik dan terus berlatih. Dari sana lah pisau bakat itu menjadi kian tajam dan mengkilap. Sungguh sebesar apapun bakat menulis seseorang, tak akan pernah berkilau jika ia tak terus melatihnya. Tak cukup disitu. Penulis harus mulai membiarkan tulisannya dibaca orang lain. Seorang penulis harus belajar menghakimi tulisannya. Hingga ia bisa terus melakukan perbaikan-perbaian. Karena tulisan yang baik tak akan pernah mencapai kesempurnaannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *