ZAMAN EDAN: ZAMAN PENUH KUTUKAN

Puji Santosa
http://www.facebook.com/

Kalatidha adalah salah satu judul karya sastra yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita seputar tahun 1861. Karya ini merupakan kritik sosial profetis yang menggambarkan akan datangnya masa sulit, suram, rusak, dan tidak menentu yang disebut sebagai zaman edan. Pada zaman itu negara demikian kacau-balau, undang-undangnya tidak dihargai, derajat negara menjadi suram, dan rakyat semakin rakus dan loba. Hal ini mengingat pada tahun 1858 raja Surakarta, Sinuhun Paku Buwana VII meninggal dan digantikan oleh adik tirinya Kusen dengan gelar Paku Buwana VIII. Raja Surakarta ini memerintah tidak lama, hanya tiga tahun, dan meninggal 1861. Sepeninggal Paku Buwana VIII kemudian Kasunanan Surakarta digantikan oleh Paku Buwana IX yang merupakan anak dari Paku Buwana VI yang ditangkap oleh Belanda, dibuang ke Ambon, dan kemudian mati dalam pengasingan.

Di bawah pemerintahan raja baru, Paku Buwana IX, kehidupan Ranggawarsita, terutama karier politiknya, mengalami berbagai hambatan. Banyak catatan yang mengatakan bahwa hubungan Ranggawarsita dengan raja yang bertahta kurang serasi. Hal ini terjadi karena beredarnya kabar bahwa penangkapan dan pembuangan raja Paku Buwana VI ke Ambon adalah karena rahasia yang dibocorkan oleh ayahanda Ranggawarsita sewaktu diinterograsi Belanda di Batavia. Atas peristiwa seperti itu Raja Paku Buwana IX tidak pernah menaikkan pangkat Ranggawarsita dari Kliwon Carik ke Tumenggung, apalagi menjadi Bupati. Bentuk kekecewaan Ranggawarsita seperti itulah yang diungkapkan dalam karyanya Kalatidha tersebut.

Selain hal itu, Kalatidha juga disebut-sebut sebagai ?Jangka Ranggawarsitan? yang memuat ramalan tentang zaman edan. Menurut catatan Bratakesawa (1959:34), selain Serat Kalatidha yang terdiri atas 12 bait dalam bentuk tembang macapat sinom, ditemukan pula Serat Kaltidha Piningit yang hanya terdiri atas 11 bait dari meja redaksi majalah Sedya Tama, Yogyakarta, tahun 1930. Dalam penulisan edisi Kakilangit ini yang digunakan sebagai acuan penulisan adalah Serat Kalatidha yang terdiri atas 12 bait, tanpa ada kata piningit. Kata kalatidha itu sendiri termuat dalam bait pertama baris ketujuh. Kata kala artinya zaman atau masa, dan kata tidha berarti samar-samar, kabur, khawatir, ragu-ragu (Nardiati et al. 1993). Jadi, kalatidha artinya suatu zaman atau masa yang serba tidak jelas, rusak, penuh dengan rasa kekhawatiran dan ragu-ragu untuk bertindak. Istilah lainnya adalah kalabendu atau jaman retu.

Kata kalabendu disebut dalam Serat Kalatidha bait kedua baris keenam. Kata kala artinya waktu, zaman, atau masa, dan bendu artinya kutuk atau laknat (Nardiati et al, 1993). Jadi, kalabendu artinya zaman yang penuh laknat, suatu masa yang penuh dengan kutukan Tuhan karena manusia banyak menyandang dosa. W.S. Rendra, dalam orasi kebudayaan di Solo, 27 Februari 2001, menyebut-nyebut pula pada zaman krisis sekarang ini sebagai zaman Kalabendu. Tentu saja referensi W.S. Rendra menyebut hal itu dari Serat Kalatidha karya Ranggawarsita (Lihat Ardus M. Sawega, Kompas, 30 Maret 2001, dengan judul artikel ?Zaman Kaliyuga, Kalabendu, atau Tafsir Baru…?).

Sementara itu, perkataan jaman retu disebut-sebut dalam buku Sasangka Jati, ?Pembuka Tunggal Sabda? (Pangestu Pusat, 1986:66). Kata retu berarti rusak, kacau-balau, huru-hara, dan kerusuhan (Nardiati et al, 1993:203, dan Mardiwarsito et al, 1985: 269). Jadi, arti perkataan ?jaman retu? adalah suatu masa atau zaman yang penuh kerusakan, kerusuhuan massal, karut-marut, banyak kekacauan, dan penuh huru-hara.

Bait ketujuh Serat Kalatidha yang ditulis dalam bentuk tembang macapat, bermatra sinom, amat terkenal karena secara ekplisit memuat perkataan amenangi jaman edan ?menghadapi zaman gila?. Isi keseluruhan teks Kalatidha karya Ranggawarsita itu memuat tanda-tanda kekuasaan zaman edan atau zaman rusak yang serba kabur dan tidak jelas yang mengakibatkan suramnya derajat negara. Tanda-tanda zaman yang termuat dalam Kalatidha karya Ranggawarsita itu antara lain sebagai berikut.

1) Derajat suatu negara terlihat suram, kosong dan sepi atau suwung, yakni suatu negara tidak lagi memiliki wibawa, tidak mimiliki pengaruh sama sekali pada rakyatnya atau negara lain. Meskipun penguasanya adalah raja utama, perdana menterinya orang yang memiliki kelebihan, para menteri dan aparat pegawainya baik-baik, tetap tidak dapat menolak hadirnya zaman kutukan karena sudah sebagai karma/dosa bangsa.

2) Rusaknya pelaksanaan undang-undang, yaitu masyarakat banyak yang melanggar tata aturan, baik penguasanya sendiri maupun rakyatnya tidak lagi patuh pada aturan negara yang ada, mereka berbuat sekehendaknya atau menyimpang dari aturan hukum yang ada.

3) Tidak ada suri teladan, contoh, dari pemimpin negara, para aparatnya, dan penguasa pemerintahan, terhadap rakyatnya. Mereka sama saja perbuatannya, telah bejat moralnya, seperti melakukan korupsi, rebutan kekuasaan dan pengaruh, merasa benar sendiri, penindasan kepada rakyat, dan berbuat asusila, berderajat tercela, rendah, dan hina dina.

4) Banyak rakyat yang sedih, menderita, prihatin, sengsara, dan kelaparan sehingga banyak terjadi kesukaran hidup, terasa hidup hina dina dan amat suram, serta hidup sengsara, tanda-tanda kehidupan di masa depan suram, gelap, dan tidak menentu.

5) Banyak terjadi musibah, bencana, dan malapetaka yang datang bertubi-tubi, silih berganti tiada henti-hentinya, baik yang disebabkan oleh murkanya alam maupun oleh kelalaian manusia yang rakus dan angkara.

6) Berbeda-beda, berjenis-jenis, dan banyak ragamnya perbuatan angkara murka orang seluruh negara.

7) Banyak berita bohong, kabar angin, sulit dipercaya kebenarannya karena banyak orang yang munafik, hanya pura-pura, penuh fitnahan, dan tipu muslihat, hanya bermaksud mencari keuntungan pribadi.

8 ) Banyak pejabat yang menanam benih-benih kesalahan, keteledoran, dan tidak hati-hati, disebabkan oleh lupa, alpa, dan khilaf sehingga menjadi perkara hukum dan sebagainya.

9) Banyak orang yang berjiwa baik, cerdas, dan bijaksana, justru kalah dengan mereka yang culas, kerdil, dan jahat (wong ambeg jatmika kontit). Itulah sebabnya orang yang baik-baik justru tersisihkan dan berada di belakang atau tenggelam oleh hiruk-pukuk dunia yang penuh angkara murka atas silau pesona maya dunia.

10) Terjadi banyak peristiwa keanehan, ajaib, tidak masuk akal, banyak orang yang stres dan putus asa, atau tidak bernalar sehingga serba sulit untuk bertindak. Keadaan seperti itu menyebabkan orang-orang menjadi gila, edan, atau tidak ada yang waras. Rumah-rumah sakit jiwa dipenuhi dengan pasien yang menderita gangguan jiwanya.

Sebagai pembaca yang budiman tentunya kita bertanya-tanya: Apa yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan dalam menghadapi kekuasaan zaman edan? Banyak hal yang dapat kita perbuat, kita lakukan, dan kita kerjakan ketika keadaan negara dan bangsa begitu rusaknya. Kita tidak perlu putus asa atau putus harapan, kita tidak hanya bertopang dagu sambil meratapi nasib dan keadaan, dan kita tidak hanya tinggal diam. Setiap perbuatan yang menuju ke arah kebajikan tentu dapat kita lakukan. Berdasarkan makna yang tersurat dan yang tersirat dalam Serat Kalatidha karya Ranggawarsita di atas tentu dapat kita deskripsikan tentang hal-hal yang dapat kita perbuat dalam menghadapi zaman edan sebagai berikut.

1) Mematuhi peraturan negara dengan undang-undangnya secara baik. Sebagai warga negara yang baik hendaknya kita patuh melaksanakan undang-undang dan peraturan yang ada agar tertib, hidup teratur, dan berdisiplin. Undang-undang dan peraturan negara dibuat agar negara menjadi tertib, teratur, dan disiplin sehingga negara segera dapat mewujudkan keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat.

2) Tidak mudah percaya pada kabar angin, kabar burung, atau pepesan kosong. Kabar-kabar burung itu banyak berisi fitnahan, hanya mengenak-enakan saja, bahkan ada juga kabar duka bagi orang lain. Oleh karena itu, kita dituntut untuk memiliki watak kehati-hatian (weweka). Artinya, kita dapat menyaring dengan benar berita itu, lalu menganalisisnya, dan kemudian baru bertindak sesuai dengan hati nurani agar kita tidak terjerumus ke jurang kehancuran.

3) Menjadi teladan perbuatan keutamaan. Di mana pun kita berada, dalam posisi apa pun, kita harus dapat menjadi teladan perbuatan keutamaan, baik di rumah, di kantor atau perusahaan tempat bekerja, maupun di tengah masyarakat. Dengan teladan baik itulah kita akan menjadi kusuma bangsa dan bukan sampah masyarakat.

4) Tekun dan rajin beikhtiar. Bekerja dalam bidang apa pun kita dituntut untuk dapat tekun dan rajin berusaha mencapai prestasi. Kita tidak boleh berputus asa menghadapi situasi apa pun, baik itu yang berupa cobaan, bencana, malapetaka, maupun rintangan lainnya. Oleh karena itu, kita dituntut untuk tetap memiliki semangat berikhtiar mencapai cita-cita menuju keberhasilan dan kebahagiaan hidup.

5) Memperhatikan petuah orang tua. Artinya, kita selalu mengindahkan nasihat, ajaran, atau wejangan orang tua dahulu yang berusaha mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dicontohkan oleh Ranggawarsita dengan cara menuliskan cerita-cerita kuno, mempelajari serat Panitisastra, dan melakukan kegiatan kreatif yang bermanfaat bagi bangsa, negara, dan masyarakat lainnya.

6) Selalu tawakal dan bersyukur dengan menyadari ketentuan takdir Tuhan. Apa pun yang terjadi di dunia ini sudah kehendak Tuhan, tidak ada sesuatu peristiwa yang kebetulan, semuanya sudah diatur oleh Tuhan. Kita harus dapat tabah dan kuat menghadapi segala cobaan hidup, ikhlas menerima apa pun yang terjadi dengan selalu memanjatkan rasa syukur. Apa pun yang sudah ada di tangan kita, dikerjakan dengan senang hati, tidak tamak, tidak rakus, tidak loba, dan tidak serakah. Kita tidak menginginkan milik orang lain, dan juga tidak iri akan keberuntungan orang lain.

7) Sabar sentosa. Sabar artinya berhati lapang, dan sentosa artinya kuat, kukuh, dan teguh. Kita harus kuat menerima pelbagai cobaan, tetapi bukan orang yang mudah putus asa, melainkan orang yang berhati teguh sentosa, berpengetahuan luas, dan tidak berbudi sempit. Orang yang sabar sentosa dapat disebut sebagai lautan pengetahuan. Ibarat lautan yang dapat memuat apa saja, tidak meluap walau mendapat tambahan air dari sungai-sungai mana pun. Caranya ialah tidak mudah emosional, tidak marah, serta menyingkiri watak picik dan berangasan.

8 ) Sadar dan Waspada (eling lan waspada). Kita dituntut untuk dapat selalu eling lan waspada. Eling berarti kita senantiasa sadar untuk berbakti kepada Tuhan. Salah satu caranya adalah selalu berzikir kepada Tuhan di mana pun kita berada, baik itu sedang duduk menganggur, sedang dalam perjalanan, sedang berdiri, sedang tiduran, maupun sedang bekerja. Waktu kapan pun, baik siang maupun malam, kita dapat senantiasa sadar kepada Tuhan. Cara yang lain adalah tidak melupakan dan tidak meninggalkan sembahyang. Waspada berarti mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Kita senantiasa diberi weweka ?kehati-hatian? dapat membedakan mana emas dan mana tanah liat, mana berlian dan mana batu pasir.

9) Menetapi darma masing-masing. Kita hendaknya dapat menetapi darma atau kewajiban masing-masing dengan benar, baik kita sebagai bangsa brahmana, bangsa ksatria, bangsa waisya, maupun menjadi bangsa sudra sekalipun. Kita harus sungguh-sungguh menekuni bidang pekerjaan dan kewajiban masing-masing agar dapat melaksanakan bagiannya secara cermat dan teliti sehingga dicapai hasil yang sesempurna mungkin.

10) Mendekatkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa. Banyak cara manusia untuk dapat mendekatkan diri kepada tuhan Yang Maha Esa. Dalam Serat Kalatidha di atas dicontohkan dengan cara menjauhkan diri dari dunia keramaian, selalu eling lan waspada, menyadari akan takdir Tuhan, selalu berzikir, dan melaksanakan panembah atau sembayang sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Sembahyang merupakan tali kesadaran dan kepercayaan kepada Tuhan. Wujud mendekatkan diri kepada Tuhan adalah kita selalu berusaha meningkatkan kesadaran rasa iman dan takwa, selalu berzikir dan bersembahnya, serta berbuat keutanmaan atau berbudi pekerti luhur dan mulia.

Kesepuluh hal di atas penting sekali kita laksanakan agar kita tidak ikut edan, tidak tergilas oleh arus zaman, serta tidak hanyut dalam situasi yang tidak menentu. Hanya dengan cara seperti itulah kita tidak tinggal diam menjadi penonton, tidak hanya bertopang dagu sambil meratapi nasib dan keadaan, serta tidak hanya menangis dalam kesedihan dan kedukaan. Dengan demikian kesepuluh hal di atas dapat kita jadikan pegangan dalam menghadapi kekuasaan zaman edan. Seberapa kemampuan kita melaksanakan kesepuluh hal seperti yang disarankan dalam tembang di atas, sebaiknya kita serahkan sepenuhnya kepada Tuhan yang Maha Esa agar terhindar dari kekuasaan zaman edan yang begitu dahsyat mencekam. Kita tetap mengasuransikan keselamatan jiwa raga kita kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dalam keadaan apa pun.***

[Puji Santosa adalah peneliti bidang kebahasaan dan kesusastraan pada Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, pernah menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah (2006?2008), alumnus magister humaniora dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2002), dan kini menjabat sebagai Koordinator Jabatan Fungsional di lingkungan Pusat Bahasa. Naskah ini dimuat dalam Kakilangit 161/Mei 2010, halaman 1?13; Sisipan Majalah Sastra Horison Tahun XLIV, Nomor 5/2010. Mei 2010).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *