Philipus Parera
http://majalah.tempointeraktif.com/
“Sejak aku sadar akan hal itu, entah sejak kapan, tidak segera, dan secara samasekali tak disengaja, aku pun tak pernah lagi merayakan hari ulang tahunku. Di hari-hari seperti itu kuteringat ayah. Ingatkah, ayah, bahwa esok hari setelah ayah ditangkap, hari itu adalah kelahiran putri sulungmu?”
KUTIPAN di atas adalah bagian dari cerita Ibarruri Putri Alam, putri sulung Ketua CC Partai Komunis Indonesia, D.N. Aidit. Monolog itu ia tuangkan dalam manuskrip berjudul Anak Sulung DN Aidit. Autobiografi sepanjang 242 halaman kuarto itu kabarnya akan segera diterbitkan dalam bentuk buku oleh Hasta Mitra, Jakarta.
Iba, demikian ia disapa, lahir pada 23 November 1949 dari pasangan Aidit dan Sutanti. Sejak usia delapan tahun, Aidit mengirimnya ke Moskow, Rusia, untuk bersekolah. Beberapa tahun kemudian adiknya, Ilya, menyusul. Tetapi segalanya berubah setelah peristiwa G30S.
Untuk waktu yang lama, Iba tak tahu kabar ayah-ibunya. Berita di koran membingungkan, berbagai-bagai versi. Ada yang mengatakan Aidit lari dengan kapal selam ke Hong Kong. Ada yang mengabarkan Aidit sudah mati.
Hingga suatu hari, seorang utusan Partai Komunis Uni Soviet memastikan kepadanya: D.N. Aidit sudah dibunuh. Menurut koran-koran, itu terjadi pada 25 November 1965, tiga hari setelah Aidit tertangkap. Ibunya, Dokter Sutanti, masuk penjara. Ketidakpastian nasib akhirnya membawa Iba berkelana ke berbagai negeri, hingga akhirnya menetap di Paris, Prancis.
Kisah itu dituangkan Iba dalam manuskripnya dengan lancar dan memikat. Bentuk “aku” yang ia pakai membuat ceritanya menjadi akrab. Dalam naskahnya, Iba juga sempat menyelipkan kekagumannya pada Abdurrahman Wahid, yang semasa menjadi presiden pernah menemuinya di Paris.
Manuskrip ini tentu kian menambah panjang katalog kesaksian tertulis versi non-penguasa tentang peristiwa 30 September 1965. Sebetulnya, selama Soeharto berkuasa, analisis kritis tentang peristiwa kelam itu acap dilakukan, meski kebanyakan oleh orang luar.
Ben Anderson, misalnya, bersama teman-temannya di Universitas Cornell, Ithaca, New York, menulis makalah yang kemudian dikenal sebagai “Cornell Paper”, 1971. Menurut paper ini, tak ada bukti PKI terlibat langsung dalam tragedi berdarah itu. Ben justru meragukan “kebersihan” Soeharto.
Baru setelah Soeharto lengser pada 1998, upaya-upaya yang lebih “berani” di dalam negeri mulai dilakukan. Niat Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan Komunisme/Marxisme/Leninisme kian menggelorakan semangat penulisan peristiwa itu. Maka, bertebaranlah cerita-cerita baru, fakta baru, dan berbagai spekulasi yang tak pernah ada sebelumnya.
Eep Saefulloh Fatah membenarkan, angin segar reformasi telah memupuk semangat merekonstruksi sejarah 1965. Umumnya itu dilakukan dengan tiga cara: membuat tulisan di media, kebanyakan oleh ahli sejarah; menerjemahkan berbagai versi penceritaan dari terbitan asing; dan penerbitan kisah-kisah para pelaku sejarah.
Modus terakhir, menurut pengamat politik dari Universitas Indonesia itu, paling diminati. Alasannya, sejarah dilihat bukan hanya sebagai potret yang terpaku pada peran segelintir orang pada waktu itu, melainkan sebagai adegan dengan rentang waktu panjang dalam konteks sosial-politik yang luas.
“Buku-buku seperti itu menampilkan aspek-aspek kemanusiaan yang hilang dalam analisis sejarah yang kering,” ujar Eep pada peluncuran buku Tragedi Kemanusiaan 1965-2005, Antologi Puisi, Cerpen, Esai, Curhat, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Buku yang terbit pada era reformasi ini, antara lain, karya Ribka Tjiptaning Proletariyati, Soebandrio, dan Ilham Aidit. Buku-buku itu mendatangi pembaca, menawarkan sisi lain dari sebuah kisah yang sudah telanjur mendekam dalam ingatan masyarakat dengan corak suram.
* * *
RIBKA Tjiptaning boleh dikatakan cukup gencar menuliskan kesaksiannya. Dari tangannya telah lahir dua buku, Aku Bangga Jadi Anak PKI dan Anak PKI Masuk Parlemen. Manuskrip buku pertama sebenarnya sudah siap sejak 1997, namun tak ada penerbit yang berani mencetaknya.
Baru lima tahun kemudian, “Setelah muncul angin segar dari Presiden Abdurrahman Wahid, ada percetakan kecil yang mau menerbitkan,” ujarnya. Yang dimaksud Ribka adalah percetakan Cipta Lestari. Cetakan pertamanya, 5.000 eksemplar, habis terjual pada Oktober 2003. Kini sudah keluar cetakan keduanya, 5.000 eksemplar juga.
Aku Bangga Jadi Anak PKI boleh dibilang autobiografi Ribka. Dia anak Raden Mas Soeripto Tjondro Saputra, pengusaha kaya sekaligus aktivis PKI di Solo, Jawa Tengah. Pergolakan 1965 membikin ayahnya dikejar-kejar hingga akhirnya dijebloskan ke penjara. Nasib Ribka pun berubah.
Dari anak seorang hartawan dengan dua mobil mewah di garasi, dia menjadi “gelandangan” di Jakarta. Zaman bergerak, dan roda sejarah berputar. Kini Ribka anggota DPR RI. Adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang membawanya ke Senayan.
Ribka pun menulis buku berjudul Anak PKI Masuk Parlemen. Buku terbitan Percetakan Proletariat itu merekam sepak terjangnya sebagai anggota parlemen yang mewakili daerah pemilihan Sukabumi dan Cianjur. “Saya ingin bilang, kini ada lho anak anggota PKI di parlemen,” ujar Ketua Komisi IX DPR RI itu.
Penerbitan manuskrip yang terganjal juga dialami almarhum Soebandrio. Pernah ada sebuah penerbitan besar berniat mencetak tulisan mantan Wakil Perdana Menteri I era Soekarno itu. Manuskrip itu berjudul Kesaksianku tentang G-30-S. Rencana itu gagal akibat maraknya demonstrasi menolak buku-buku berbau komunis pada Mei 2001. Kabarnya, beberapa ribu eksemplar yang sudah dicetak pun akhirnya dibakar.
Soebandrio divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Tinggi pada 1966. Namun, atas permintaan Ratu Elizabeth dari Inggris dan Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson, hukumannya diringankan menjadi penjara seumur hidup. Pada 1995 dia dibebaskan, dan meninggal tahun lalu pada usia 90 tahun.
Salah satu versi penting dari tulisan Soebandrio adalah bantahannya terhadap kisah sekitar penyakit yang diderita Soekarno. Menurut sejarah yang sudah baku, Soekarno saat itu sakit keras. Seorang dokter dari Cina memeriksanya dan mengambil kesimpulan: kalau tidak mati, Soekarno bakal lumpuh seumur hidup.
Situasi inilah, menurut sejarah mainstream itu, yang membuat PKI nekat melakukan coup d’etat agar kekuasaan tidak jatuh ke tangan TNI Angkatan Darat. Menurut Soebandrio, yang memeriksa Presiden bukan dokter dari Cina, melainkan seorang dokter keturunan Tionghoa dari Kebayoran Baru yang dibawa Aidit. Dan Soekarno ketika itu cuma masuk angin. Soebandrio-yang juga dokter-berada di dekat Soekarno ketika dokter Tionghoa itu menjelaskan perihal masuk anginnya sang Presiden. Aidit juga tahu.
“Mengenai penyebabnya, sayalah yang tahu. Beberapa malam sebelumnya Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin,” demikian ditulis Soebandrio dalam cuplikan manuskrip bukunya yang ditayangkan situs TokohIndonesia.com.
Buku yang paling gres adalah sebuah antologi: Tragedi Kemanusiaan 1965-2005, terbitan Lembaga Sastra Pembebasan dan Penerbitan Malka. Antologi dengan editor Heri Latief dan kawan-kawan itu menghimpun berbagai tulisan karya keluarga anggota PKI maupun bukan. Tulisan Ilham Aidit (anak keempat Aidit), Iramani.id (nama samaran anak kelima Njoto), termasuk di dalamnya. Beberapa orang “di luar lingkaran” itu, antara lain, Eep Saefulloh Fatah dan sebagainya.
Ilham ingin buku itu menjadi sebuah kesaksian jujur dari keluarga PKI yang menjadi korban stigma buruk pemerintah Orde Baru. Putra keempat Aidit itu menulis saat-saat terakhirnya dengan sang ayah. “Selama ini yang selalu diingat cuma kejadian Lubang Buaya. Orang lupa bahwa peristiwa berdarah itu punya dampak yang sangat dahsyat kepada banyak orang hingga berpuluh-puluh tahun kemudian,” ujar Ilham.
Menggunakan nama samaran Iramani, anak kelima Njoto, Wakil Ketua II CC PKI, menyumbang tulisan berjudul Kodim, 1966. Iramani-juga nama pena Njoto semasa hidupnya-mengenang masa ketika dia, ibunya, dan saudara-saudarinya ditahan di kodim. Setiap kali mereka bertanya soal ayah, ibu selalu menjawab: “Bapak sedang pergi jauh, jauuuh sekali! Ke luar negeri,” Dan mereka gembira, berharap ayah pulang membawa banyak cokelat.
Upaya menyuguhkan versi alternatif dari sejarah yang berderak pada 1965 itu adalah tulisan Murad Aidit. Paman Ilham Aidit itu menulis buku berjudul Aidit Sang Legenda. Bukunya diluncurkan di Teater Utan Kayu, Jakarta, Sabtu pekan lalu. “Orang terus-menerus menuduh dia sebagai dalang peristiwa 30 September. Saya tahu dia tak terlibat. Sebagai adik, saya punya kewajiban meluruskan ini,” ujar Murad tentang buku yang ditulisnya sejak dua tahun lalu itu.
Bagi Murad, Aidit adalah pahlawan. “Dan dia adalah legenda. Karena, kalau tidak, bagaimana dia bisa menjadi pimpinan sebuah partai besar dalam usia yang sangat muda, 24 tahun?” ujarnya.
* * *
JAUH di Paris, Ibarruri menjelaskan tujuannya menulis autobiografi. “Aku hanya ingin menumplekkan jeritan hatiku, darah dan tangisku, menyampaikan renungan-renungan serta senyumku padamu, pembaca. Aku ingin berbicara lirih, lirih sekali, membuka hatiku serta mengetuk hatimu untuk berbicara dari hati ke hati, sebagai manusia dengan manusia,” demikian ia menulis di akhir manuskrip.
Berbicara lirih. Ya, cuma itu yang ingin ia lakukan setelah menempuh setengah bumi dalam pelarian: dari Soviet ke Cina, Birma, lalu ke Makao, hingga berakhir di Orly, sebuah daerah di bagian selatan Paris. Bersama almarhum suaminya, Budiman Sudarsono (mantan Ketua Umum Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia), yang juga “terusir” setelah peristiwa 30 September, dia menetap di Paris sejak 1981.
Pemerintah Prancis sejatinya membolehkan mereka mengajukan permohonan kewarganegaraan. Namun, Budiman menolak: mereka tak pernah merasa menjadi anak bangsa lain.
Majalah ini beberapa kali menghubungi nomor telepon Iba di Paris, namun cuma direspons mesin penjawab. Kabarnya, dia tengah berlibur ke Jerman. Menurut Ilham, kakaknya itu menulis autobiografi sejak empat tahun lalu. “Ada banyak permenungan dalam bukunya. Dia bertambah matang setelah mulai mendalami Buddha,” ujarnya.
Iba dan Budiman pernah mengajukan permohonan normalisasi melalui Kedutaan Besar Indonesia di Paris agar bisa mendapatkan kewarganegaraannya kembali. Karena tak ada tanggapan, kerinduan untuk kembali ke pangkuan Pertiwi kini ia kubur dalam-dalam.
Mei lalu, Iba akhirnya “bisa” pulang, menginjakkan kakinya di Jakarta. Itulah kunjungan pertamanya setelah 40 tahun. Terakhir dia pulang saat liburan sekolah pada Mei 1965. Bedanya, kali ini janda tanpa anak itu cuma datang sebagai tamu: orang asing yang mengantongi paspor Prancis.
http ://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=191528
Sabtu, 01 Okt 2005,
Ceko Bongkar Konspirasi di Balik Kudeta PKI 1965
Minta Habisi dengan Sekali Pukul
447 halaman Kudeta 1 Oktober 1965 yang ditulis ilmuwan Ceko, Victor Miroslav Vic, mengungkap detail teori konspirasi di balik kudeta berdarah PKI 40 tahun lalu. Terutama tentang peran Ketua Partai Komunis China Mao Zedong.
Jakarta
Pesawat kepresidenan Jetstar yang membawa Presiden Soekarno dan 80 anggota rombongan, termasuk Ketua CC (Committee Central) PKI Dipo Nusantara (D.N.) Aidit, meninggalkan tanah air menuju Aljazair guna menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA) II. Pesawat transit di Kairo, Mesir, 26 Juni 1965.
Ada kabar bahwa Presiden Aljazair Ben Bella dikudeta. KAA pun ditunda hingga 5 November 1965. Bung Karno kemudian memutuskan pulang ke tanah air. Sedangkan rombongan kecil yang dipimpin Aidit melawat ke Peking (Beijing), China. Salah satu di antara mereka adalah Nyono.
Di tanah air, penyakit ginjal Bung Karno kambuh lagi. Tim dokter China yang merawat Bung Karno sejak 1960 mendiagnosis bahwa kali ini penyakitnya makin gawat. Bahkan, tim dokter China itu memperkirakan, sewaktu-waktu jika penyakit Bung Karno kambuh lagi nyawanya tak tertolong. Keadaan ini makin mematangkan rencana PKI mengambil alih kekuasaan dari tangan Bung Karno. Yakni, dengan menyingkirkan rival utamanya lebih dahulu: para jenderal TNI AD.
Kesehatan Bung Karno itu terlihat dari perintah pemanggilan mendadak Aidit dan Nyono oleh sang pemimpin besar revolusi itu lewat Menlu Soebandrio. Keduanya diminta segera pulang ke tanah air. Lewat kawat, Aidit menjawab akan pulang pada 3 Agustus 1965.
4 Agustus 1965, kesehatan Bung Karno terus memburuk. Dia tiba-tiba muntah-muntah sebanyak 11 kali, ditambah hilang kesadaran empat kali. Dokter kepresidenan, Dr Mahar Mardjono, pun mendadak dipanggil ke kamar Bung Karno di Istana Negara. Saat itu sudah ada tim dokter China.
Diduga keras ternyata diagnosis dokter China tadi berkaitan erat dengan rencana PKI mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Rencana ini muncul setelah Aidit bertemu Mao Tze Tung (Mao Zedong) di China. Sebab, posisi Bung Karno sebagai presiden sekaligus panglima tertinggi Angkatan Bersenjata sangat menentukan arah politik Indonesia.
Sampai Bung Karno mangkat, sudah bisa ditebak akan terjadi perebutan kekuasaan antara PKI dan TNI-AD. Saling mendahului dan saling jegal antara kekuatan saat itu sangat mewarnai politik Indonesia 1965. “Ternyata diagnosis tim dokter China terbukti keliru. Sebab, Bung Karno baru meninggal tujuh tahun kemudian,” ungkap Ketua LIPI Taufik Abdulah dalam bedah buku di Yayasan Obor yang menerbitkan buku karya Miroslav kemarin.
Lain yang menguatkan bahwa PKI akan mengambil alih kekuasaan di Indonesia terekam dalam pembicaraan Ketua Partai Komunis China Mao Tze Tung dan Ketua CC PKI DP Aidit yang menemuinya Zhongnanghai, sebuah perkampungan dalam dinding-dinding kota terlarang di China.
“Kamu harus mengambil tindakan cepat,” kata Mao kepada Aidit.
“Saya khawatir AD akan menjadi penghalang,” keluh Aidit ragu-ragu.
“Baiklah, lakukan apa yang saya nasihatkan kepadamu; habisi semua jenderal dan perwira reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat akan menjadi seekor naga yang tidak berkepala dan akan mengikutimu,” ungkap Mao berapi-api.
“Itu berarti membunuh beratus-ratus perwira,” tanya Aidit lagi.
“Di Shensi Utara, saya membunuh lebih dari 20 ribu orang kader dalam sekali pukul saja,” tukas Mao.
Menemui Mao, Aidit disertai dua dokter China, Dr Wang Hsing Te dan Dr Tan Min Hsuen (salah satu di antaranya diyakini Miroslav sebagai perwira intelijen China) terbang ke Jakarta guna mendeteksi kesehatan Bung Karno. Pada 7 Agustus 1965, mereka menghadap Bung Karno di Istana Merdeka.
8 Agustus 1965, Aidit kembali menemui Bung Karno di Istana Bogor untuk berbicara empat mata. Menurut Miroslav, saat bertemu secara pribadi dengan Bung Karno itulah, Aidit melaporkan hasil pembicaraannya dengan Mao Tze Tung. Misalnya, advis untuk menyingkirkan jenderal AD yang tidak loyal kepada presiden (baca dewan jenderal sebutan PKI bagi jenderal AD).
Sadar benar tidak mudah menyingkirkan para jenderal AD tanpa payung kekuasaan Soekarno. Kedua, membentuk Kabinet Gotong Royong dengan PKI sebagai pemegang kendali (dengan memasukkan para kadernya). Ketiga, setelah semua misi itu sukses, diam-diam PKI menyiapkan strategi untuk menyingkirkan Bung Karno secara halus. Caranya, China menawari Bung Karno untuk istirahat panjang di sebuah vila dekat Danau Angsa, China, guna mengobati penyakitnya.
“Itu sebenarnya cara licik Aidit dan Mao untuk menyingkirkan Bung Karno dari kekuasaannya setelah melapangkan jalan PKI mengambil alih kekuasaan,” ungkap Miroslav.
Itu pernah diterapkan Mao kepada Raja Kamboja Pangeran Norodom Sihanouk. Setelah China berhasil mengomuniskan Kamboja lewat Pol Pot. Giliran Jenderal Lon Nol mengudeta Sihanouk saat berkunjung ke Moskow. Saat Kremlin (baca Uni Sovyet) menolak memberikan suaka kepada Sihanouk, China dengan senang hati menawarkan tempat tinggal dan perawatan yang wah bagi Sihanouk. “Istrinya, Princess Monica, sangat menikmati pemberian China tadi,” tambah Miroslav.
Hasil rekonstruksi kejadian yang dibuat Miroslav, Bung Karno tampaknya sejalan dengan rencana Mao. Terbukti, lanjut Miroslav, Bung Karno memanggil Brigjen Subur, Komandan Resimen Tjakrabhirawa, dan Letkol Untung ke kamar tidurnya untuk bertanya pada mereka.
“Apakah dia (Untung) cukup berani menangkap para jenderal yang tidak loyal kepada presiden dan menentang kebijakannya?” tanya Bung Karno.
“Saya akan melakukan kalau diperintahkan,” jawab Untung saat itu.
Ketua LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Taufik Abdullah mengatakan, kevalidan sejarah seperti itu memang perlu diuji. Tapi, boleh jadi dugaan keras Miroslav tersebut ada benarnya.
Membuat tamsil, ada sepasang pengantin masuk rumah. Saat keluar wajahnya terlihat lusuh. Orang bisa menduga, pasangan pengantin itu baru melaksanakan kewajibannya sebagai suami istri. Tapi, tidak ada yang tahu persis. “Bisa juga wajah yang tampak loyo itu disebabkan mereka habis membersihkan rumah,” ujar Taufik.
“Miroslav pantas menduga kuat bahwa pembicaraan Aidit dan Bung Karno di kamar tidurnya adalah soal isi pertemuan Aidit dengan Mao,” tambah Taufik.
Tze Tung, lanjut Miroslav, semula ingin menggandeng Bung Karno untuk menan-capkan kekuasaan PKI di Indonesia. Tapi, dalam perkembangan selanjutnya, Bung Karno dinilai bukan sosok pemimpin yang cocok. Dia dianggap terlalu sembrono dan pembawaannya meledak-ledak. Tapi, Mao tetap membutuhkan Bung Karno untuk mengantarkan PKI berkuasa di Indonesia.
Pembawaan yang meledak-ledak tersebut pernah dilaporkan Menlu China Marsekal Chen Yi saat menemui Bung Karno, 3 Desember 1964. Ketika itu, Bung Karno menuntut China agar membagi teknologi nuklirnya dengan Indonesia. Bung Karno juga mendesak uji nuklir dilakukan di wilayah Indonesia. Tujuannya, memberi dampak psikologis kepada kawan dan lawan Indonesia. Tapi, Chen Yi menolak karena itu terlalu berbahaya. Bung Karno kontan naik pitam. “Sambil menggebrak meja, Bung Karno berdiri menudingkan telunjuknya ke arah Chen Yi,” ungkap Miroslav.
Keragu-raguan Mao Tze Tung tersebut, akhirnya China menunda pengiriman 100 ribu pucuk senjata untuk angkatan kelima (baca buruh dan tani) seperti dijanjikan sebelumnya. Sebagai gantinya, Mao hanya mengirimkan 30 ribu pucuk senjata lewat beberapa kapal guna menghadapi jenderal AD yang reaksioner. Tapi, itu tidak gratis. Sebagai imbalannya, Mao minta presiden melapangkan jalan PKI menguasai Indonesia. “Soal perjanjian rahasia itu terungkap dalam surat Aidit 10 November 1965 yang dikirim ke Bung Karno,” terang Miroslav.
Intelijen yang dibangun PKI terus mengintesifkan pembicaraan dengan penguasa komunis China guna mempersiapkan pengambialihan kekuasaan di Indonesia. Kontak Aidit-Mao maupun Soebandrio-Chen Yi makin intensif menjelang pengambilalihan yang ternyata gagal itu.
Sejarah pun mencatat: pada 30 September 1965, terjadi penculikan dan pembunuhan enam jenderal TNI-AD oleh pasukan Cakrabhirawa. Mereka lalu dibawa ke Lubang Buaya untuk dimakamkan.
Itu sekaligus pukulan balik bagi PKI. Pangkostrad Mayjen Soeharto berhasil mengorganisasikan berbagai kekuatan anti-PKI untuk memukul balik lawannya. Soeharto akhirnya menjadi penguasa Orba selama 30 tahun lebih. (*)
***************** 0 0 0 0 0 0 *******************
Fakta-fakta Keterlibatan PKI Dalam Peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI)
Pembelaan Nyono dimuka Mahmilub pada tanggal 19 Februari 1966. Di publikasikan pada situs Indo-Marxis, situs kaum Marxis Indonesia, 16 Februari 2002.
Dalam amanat Presiden Sukarno dihadapan wakil-wakil partai politik di Guesthouse Istana, Jakarta, tanggal 27 Okt 1965, ditegaskan bahwa . kejadian September bukan sekedar kejadian 30 September, tetapi adalah suatu kejadian politik didalam Revolusi kita. Saya sudah kemukakan bahwa prolog daripada G30S adalah adanya rencana kudeta dari dewan jenderal.
Dalam bahasa sehari-hari, gara-gara ada Dewan Jenderal maka ada Dewan Revolusi. Saya telah kemukakan bahwa prakteknya Dewan Jenderal merupakan golongan politik tersendiri. Disini saya tegaskan, karena tidak semua Jenderal masuk dalam Dewan Jenderal, maka Dewan Jenderal adalah golongan politik tersendiri dari Jenderal-Jenderal tertentu yang menjalankan politik Nasakom-phobi, khususnya Komunisto-phobi, hal mana adalah bertentangan dengan politik Presiden Sukarno.
Kegiatan anti komunis tersebut adalah langsung bertentangan dengan politik Presiden yang justeru kurang lebih dua minggu sebelunya, berkenaan amanat dirapat raksasa ultah ke-45 PKI di Stadion Utama Senayan, dimana Presiden Sukarno sekali lagi menandaskan bahwa PPKI adalah “ya sanak ya kadang, yen mati melu kelangan”. Jelaslah bahwa menentang Dwan Jenderal pada hakekatnya adalah menentang Jenderal tertentu yang menjadi kapitalis birokraat, yang dalam prakteknya bersifat memusuhi Nasakom dan sokoguru-sokoguru Revolusi.
Saya lebih yakin lagi akan adanya Dewan Jenderal setelah saya mendapatkan bahan-bahan masa epilog dari G30S masa epilog merupakan masa “openbaring” atau masa terbukanya wajah politik yang sesungguhnya daripada Dewan Jenderal. Dari koran-koran dapaat diketahui bahwa Jenderal AH. Nasution muncul terang-terangan dengan kampanye anti komunisnya. Sesungguhnya Presiden Sukarno tiada jemu-jemunya memberikan indoktrinasi tentang mutlaknya Nasakom bagi penyelesaian indonesia. Saya mengakui bahwa saya telah melakukan serentetan kegiatan membantu G30S, jelaslah bahwa G30S bukanlah suatu pemberontakan, tetapi suatu gerakan pembersihan. Bagaimana keterangan yuridisnya saya serahkan kepada kuasa hukum saya.
Kesimpulan:
PKI berada dibalik G30S, dengan dalih membela presiden soekarno, secara pribadi maupun untuk mengamankan “REVOLUSI” yang sedang dijalankan presiden soekarno. Peristiwa G30S merupakan puncak dari aksi revolusiatau kudeta PKI di Indonesia, yang sebelumnya sudah didahului dengan berbagai aksi kekerasan (pembunuhan) terhadap warga masyarakat diberbagai wilayah indonesia, yang menentang keberadaan komunis (PKI).
Cuplikan Pengakuan Dr. Soebandrio Tentang Tragedi Nasional 30 September.
Saat G30S meletus saya tidak berada dijakarta, saya melaksanakan tugas keliling daerah yang disebut turba (turun kebawah). Pada tanggal 28 sept 1965 saya berangkat ke Medan, Sumatera Uara. Beberapa waktu sebelumnya saya keliling ke Jawa Timur dan Indonesia Timur.
Pada tanggal 29 Oktober 1965 pagi hari , Panglima AU Omar Dhani melaporkan kepada Presiden Soekarno tentang banyaknya pasukan yang datang dari daerah ke Jakarta. Beberapa waktu sebelumnya saya melaporkan kepada bung adanya sekelompok Dewan Jenderal -termasuk bocoran dewan Jenderal membentuk kabinet.
Menurut Serma Bungkoes (Komandan Peleton Kompi C Bataliyon Kawal Kehor-matan) yang memimpin prajurit penjemputan Mayjen MT Haryono, di militer tidak ada perintah culik, yang ada adalah tangkap dan hancurkan. Perintah yang saya terima dari Komandan Resimen Cakrabirawa Tawur dan Komandan Bataliyon Untung tangkap para jenderal itu, kata bangkoes setelah ia bebas dari hukuman. Namun MT Haryono terpaksa dibunuh sebab rombongan pasukan tidak diperkenankan masuk rumah oleh isteri MT Haryono, sang istri curiga suami dipanggil Presiden kok dinihari. Karena itu pintu rumah itu didobrak dan MT Haryono tertembak tidak jelas apakah Haryono Pondok Gede (lubang buaya).
Ada masa dimana Indonesia lowong kepemimpinan sejak awal oktober 1965 sampai Maret 1966 atau sekitar enam bulan. Bung Karno masih sebagai Presiden, tapi sudah tidak punya kuasa lagi Bung Karno pada tenggang waktu itu belum benar-benar sampai ajal politik. Beliau masih punya pengaruh, baik di Angkatan Bersenjata maupun dikalangan parpol-parpol besar dan kecil. Para pemimpin parpol umumnya mendukung Angkatan Darat untuk membasmi PKI, namun mereka juga mendukung Bung Karno yang mencoba memulihkan wibawa. Walaupun Bung Karno akrab dengan PKI.
Lantas..mahasiswa melanjutkan demo turun kejalan..satu-satunya tuntutan mahasiswa yang murni menurut saya adalah bubarkan PKI. Setelah ditangkap saya langsung ditahan, saya diadili di Mahkamah Militer. Luar Biasa dengan tuduhan subversi dan dijatuhi hukuman mati.
Jelas saya sangat terpukul saat itu. dari posisi orang orang nomor dua di Republik ini saya mendadak sontak diadili sebagai penjahat dan dihukum mati. Saya menjalani awal dipenjara Cimahi Bandung. Disana berkumpul orang-orang yang senasib dengan saya (dituduh sebagai penjahat yang terlibat G30S) diantaranya adalah Kolonel Untung yang memang Komandan G30S.
..kalau Aidit mendukung anggota Dewan Jenderal, memang ya dalam suatu saya dengar Aidit mendukung gerakan pembunuhan anggota jenderal yang dikabarkan akan melakukan kudeta terhadap Presiden, sebab kalau sampai Presiden terguling oleh kelompok militer, maka selanjutnya bakal sulit.
Kesimpulan:
PKI berada dibalik peristiwa G30S, buktinya kesaksian Menlu Subandrio yang sekaligus kepala BPI (Badan Pusat Intelejen) mengatakan bahwa Aidit dan Untung terlibat dalam aksi G30S, dimana kedua orang tersebut adalah tokoh-tokoh PKI.
Tetap dengan dalih yang sama, seperti pengakuan Nyono, bahwa ada Dewan Jenderal yang berniat menggulingkan kepemimpinan presiden Soekarno. Namun kalau Nyono jelas jelas mengatakan bahwa PKI yang membasmi Dewan Jenderal demi alasannya.
Mewaspadai Kuda Troya Komunisme Di Era Refromasi. (Drs. Markonina Hatisekar dan Drs. Akrin Ijani Abadi, Pustaka sarana kajian Jakarta Brat, cetakan ke 3 maret 2001, hal 116-118)
Kegagalan G30S/PKI merupakan pukulan yang paling telak bagi sejarah perjuangan kaum komunis di Indonesia. Kehancuran kekuatan militer G30S/PKI Kabur. DN Aidit lari ke Jawa Tengah, Sjam, Pono dan Brigjen Suparjo mundur kebasis camp didaerah perkebunan Pondok Gede. Pada taggal 3 Oktober 1965, Sjam dan Pono menghadap Sudisman untuk memberikan keterangan tentang gagalnya PKI di Kayu Awet, Rawamangun, Jakarta. Setelah mendengar laporan tersebut, Sudisman memerintahkan Pono untuk pergi ke Jawa Tengah untuk melaporkan situasi terahir di Jakarta kepada DN Aidit.
Pada hari yang sama, DN Aidit di Jawa Tengah telah memerintahkan Pono kembali ke Jakarta membawa instruksi lisan kepada Sudisman dan sepucuk surat kepada Presiden Soekarno. Instruksi kepada Sudisman adalah agar anggota-angota CC PKI yang masih ada di Jakarta melakukan upaya penyelamatan partai dan Nyono dapat mewakili DN. Aidit menghadiri Sidang Kabinet Paripurna di Bogor pada taggal 8 Oktober 1965. Aidit beralasan, dirinya tidak dapat menghadiri sidang itu karena tidak adanya transportasi ke Bogor dari Jawa Tengah.
Dalam Sidang Paripurna di Bogor tanggal 8 Oktober 1965, Nyono membacakan teks yang intinya menyebutkan bahwa bahwa PKI sama sekali tidak terlibat dalam apa yang disebut gerakan 30 September 1965. Secara rahasia, beberapa pentolan PKI juga mengadakan rapat yang membahas serangkaian peristiwa terahir setelah serangkaian G30S PKI dan melakukan konsolidasi partai. tanggal 12 Oktober 1965, dirumah Dargo, tokoh PKI Solo, dilakukan rapat gelap antara DN Aidit, Pono dan Munir (anggota PKI yang baru tiba dari Jawa Timur). Dalam rapat itu dikatakan bahwa kegagalan gerakan Sept akan membuka kedok keterlibatan PKI. Keberadaan PKI melakukan perjuangan secara parlementer sudah tidak mungkin dilakukan lagi. Munir melakukan usulan untuk dilakukan gerakan bersenjata, usulan Munir pada prinsipnya disetujui oleh peserta rapat. Aidit menugaskan Ponjo untuk meneliti daerah mana saja yang memungkinkan untuk dijadikan basis PKI guna melaksanakan perjuangan bersenjata, daerah yang diusulkan untuk ditinjau adalah : Merapi, Merbabu serta Kabupaten Boyolali, Semarang dan Klaten.
Belum lagi kegiatan itu direalisasikan, gerakan pasukan RPKAD telah memasuki kota Solo. Walau PKI berusaha melawan, namun pada operasi pembersihan yang dilakukan RPKAD di Boyolali, DN Aidit terbunuh. Kejadian demi kejadian berlangsung dengan amat cepat. Rakyat sudah tidak percaya lagi pada PKI. Rakyat bersama-sama dengan mahasiswa dan militer yang masih setia pada konstitusi negara merapatkan barisan dan bergabung dalam satu front melawan PKI. ahirnya legalisasi PKI sudak tidak mampu dipertahankan oleh pengikutnya.Lewat ketetapan MPRS-RI. NO.XXV/MPRS/1966, PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Bukan itu saja, lewat ketetapan yang sama, paham Komunis dan Marxis-Leninisme dinyatakan haram berada di negara Indonesia.
Aksi G30S/PKI Awal Dari Pelanggaran HAM.
Peristiwa penyiksaan dan pembunuhan sembilan Jenderal pada 1 Oktober 1965 oleh pasukan Cakrabirawa yang menjadi bagian dari pasukan komunis Indonesia (PKI) dan dikenal sebagai Grakan 30 September adalah tanggal pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM ) di Indonesia. “Orang sekarang bicara pelanggaran HAM , sesungguhnya titik awal dari pelanggaran HAM adalah penyiksaan para jenderal.Itu apa yang kami rasakan, kata putra pahlawan revolusi Mayjen Anumerta Sutijo, Agus Wijoyo, di Jakarta, Senin (23/9). Pernyataan Wakil Ketua MPR itu disampaikan saat penjelasan pers rencana peluncuran buku bertajuk kunang-kunang kebenaran dilangit malam setebal 250 halaman pada tanggal 30 September nanti.
Buku tersebut berisi penuturan anak-anak dan keluarga Pahlawan Revolusi tentang kejadian yang disaksikan dan dialami 1 Oktoer dini hari.Penuturan itu terdiri dari keluarga Jenderal Ahmad Yani, Letjen Purnawirawan Soeprapto, Letjen Anumerta S. Parman, Mayjen Anumerta D.I. Penjaitan, Mayjen Anumerta Soetojo Siswomiharjo, Lettu CZI Anumerta Piere Tendean dan Keluarga AH. Nasution.
Mengeluh
Katerin Penjaitan mengeluh, dirinya orang tua yang bisa dihargai pengorbanannya, belakangan mereka seolah-olah dikaburkan, “saya tidak terima. Saya tahu peritiwa itu, karena bukan anak kecil lagi, waktu itu usia saya 17 tahun” katanya. Menurutnya orang tuanya mati secara sadis. “Kita sakit mengingat peristiwa itu, komunis memang sadis,” katanya dengan terbata-bata.
Sedangkan Amelia yani menyayangkan, para tahanan politik yang keluar dari penjara, enak sekali bicara bagaimana membunuh para jenderal. Mereka tidak merasakan bagaimana rasanya putra-putri yang ditinggalkan. Ia membantah para pasukan Cakrabirawa yang tergabung dalam PKI tidak melakukan penyiksaan, orang tua kita diseret, ditembak, mereka bilang seenaknya, itu bukan penyiksaan tandasnya.
Amelia menyatakan siapa lagi yang mau membela para Pahlawan Revolusi kalau bukan anak-anaknya “Kita tidak pakai bedil, hanya pakai pena, kita menyatakan kudeta, penyiksaan itu terjadi jangan terulang kembali.
Putra D.I. Penjaitan mengatakan hal senada, bahwa pasukan PKI sadis, sebagai gambaran, selongsong peluru mencapai 360 biji yang ditemukan diarea pekarangan rumah seluas 800 meter pada peristiwa penculikan dan penembakan ayahandanya, 1 Oktober 1965, sekitar pukul 03.00-04.00 WIB, selain orang tuanya keponakan ayahnya, Albert Naibab ikut meninggal ditembak dan Viktor Naibab cacat seumur hidup.
Kunang-kunang
Putri Suprapto, Nani Indah Sutojo menyatakan peristiwa yang diangkat tidak berkonotasi politik.
Harapannya dengan mengemukakan pengalaman, mata rantai kekarasan sejarah harus diputus, dibangun mata rantai baru dengan situasi yang damai dan harmonis.
menyadari, rekonstruksi peristiwa G30S/PKI berdasakan pengalaman keluarga Pahwalawan Revolusi bukan kesimpulan sejarah, sebab sejarah punya pendekatan, metode aliran tersendiri yang tidak mati, bisa mengungkap hal baru. “Itu milik akademisi. Tapi kebenaran yang kami sampaikan adalah realitas bersama.
Kunang-kunang sebagai judul buku bisa jadi dalam kegelapan ada cahaya baru yang mungkin redup, diganti dengan sejarah lain,” tuturnya.”Kami tidak bermaksud tetap pada tataran penderitaan, iba, belas kasihan, kami inginkan munculnya harapan baru pada tingkat kearifan sesuai kemampuan yang bisa kami sampaikan, tambahnya