Agus Triantara *
Sejenak mari kita sisihkan kesempataan untuk bersama membuka lembaran-lembaran sejarah bangsa kita. Karena di balik sejarah itu sungguh banyak makna yang tak ternilai harganya. Pantas kiranya bila seorang Soekarno mewanti-wanti kepada seluruh anak bangsa, “jangan lupakan sejarah” yang kemudian terkenal dengan JA-S-ME-RAH.
Tatkala kita duduk dengan sempurna, kemudian sebuah buku mulai terbuka di pangkuan kita atau buku kita letakkan di atas meja, kedua mata menatap penuh selera, maka tampaklah kedua sayap buku membentang ke arah kiri dan ke arah kanan dengan sempurna. Kedua mata kita terfokus ke dalam hamparan kata dan kalimat yang tersusun dengan cermat. Tertata rapi dan rapat yang menandakan betapa proses pembuatannya dilakukan dengan penuh hikmat. Kita pun akan merasakan berbagai nikmat menelusuri tarian imajinasi maupun alur pikir sang penulis mengungkap berbagai ceritera, mengurai aneka peristiwa, mengupas fakta dan membedah fenomena maupun mengikuti pikiran liar penuh prasangka.
Laksana sebuah buku kehidupan yang luar biasa, bangsa kita pun telah berhasil mewujudkan banyak pustaka, sumber hikmah dan ladang wacana. Dimulai dari sejarah kejayaan para leluhur bangsa di jaman kejayaan para pelaut Nusantara melanglang samudera pada abad ke-5 hingga mengukir sejarah di benua Afrika, kejayaan leluhur bangsa di jaman Sriwijaya di Pulau Sumatera, keperkasaan para Bhayangkara sebagai garda terdepan kerajaan Majapahit di Pulau Jawa, hinga Mataram yang terpecah-pecah dan kebesarannya kini masih tersisa, sampailah pada peristiwa yang penuh makna di penghujung abad 19, awal abad 20 di mana kita berada.
Pada masa itu, telah lahir sebuah generasi bangsa yang memiliki cakrawala budaya melampaui kepentingan dirinya, kepentingan keluarganya, maupun melampaui suku bangsa dan golongannya. Mereka telah tebarkan horison kehidupan menjangkau luasnnya dunia. Mereka telah hamparkan cakrawala cinta melampaui dinding-dinding asmara. Kesadaran anak-anak muda yang tercerahkan jiwanya telah menjadi pemicu sejarah perjuangan bangsa dengan barisan-barisan (organisasi) perjuangan yang lebih rapi, terencana, dan dilandasi oleh kekuatan cahaya (ilmu) dan (hidayah) cinta.
Pada masa-masa itu Tuhan seakan sedang berceritera tentang makna cinta. Bacaan sejarah dapat dimulai dari keberadaan dan peran sosok Douwes Dekker atau Multatuli. Dimulai dari pergolakan hatinya menyaksikan kebiadaban bangsanya sendiri (Belanda) terhadap bangsa pribumi di kepulauan Nusantara[1] Tuhan telah mengajarkan kepadanya dengan pena. Tuhan membisikkan kepadanya untuk mengungkap ceritera tidak saja tentang kesewenang-wenangan bangsa Belanda terhadap kaum pribumi, melainkan juga para pejabat tinggi dan kroni-kroni kepada rakyatnya sendiri.
Atas ijin-Nya Multatuli pun menuangkan seluruh kegundahan hatinya ke dalam sebuah buku berjudul Max Havelaar[2] dengan tinta yang paling mulia di dunia, cairan istimewa dari syurga, yaitu : cinta!
Melalui buku itu Douwes Dekker yang menyamarkan dirinya sebagai Multatuli, membeberkan ketidakadilan sistem tanam paksa yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda. Dia beberkan realitas yang terjadi di Nusantara dengan seluruh pikiran dan jiwanya larut di dalamnya. Maka begitu buku ini terbit pada tahun 1860, masyarakat Eropa kembali gempar setelah hampir setengah abad lamanya pernah pula digemparkan oleh sebuah karya besar Thomas Raffles : History of Java, pada 1817 yang banyak bercerita mengenai Jawa yang elok dan permai.
Douwes Dekker lahir pada tahun 1820 di Amsterdam dari keluarga yang cukup berada. Pada 1838 Multatuli berlayar ke Jawa dan baru tiba di Batavia awal 1839. Pengalamannya selama di Nusantara, dimulai sebagai pegawai rendahan di Kantor Pengawasan Keuangan di Batavia. Kemudian berkat prestasinya dia sampai menjadi pamong praja di Sumatra Barat hingga menjadi kontroler. Pada 1844 ia kembali pulang ke Batavia. Pada April 1846, Multatuli kembali dipekerjakan sebagai ambtenar di kantor Asisten Residen Purwakarta. Pada 1849, ia diangkat menjadi sekretaris residen di Menado dan kemudian naik menjadi asisten residen di Ambon. Baru setelah ia menyelesaikan cuti panjang di Belanda, Multatuli kemudian diangkat sebagai asisten residen Lebak, Banten pada Januari 1856, sekaligus sebagai karir terakhirnya di tanah jajahan bangsanya.
Novel Max Havelaar digarap Multatuli sejak September 1859. Ia mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel, Belgia sepulang dari Lebak, Banten. Ia memadukan pengalaman pribadi dengan beberapa bahan naskah sandiwara dan salinan surat-surat saat menjabat asisten residen Lebak. Kepedihan hatinya menyaksikan persekongkolan antara kulit putih dan kulit coklat seakan tak terbayar dengan hidupnya. Dia mengkritik Bupati Lebak (Nata Negara yang sudah menjabat selama 30 tahun) yang mewajibkan kerja rodi bagi rakyatnya, semata-mata untuk menopang kebutuhan rumah tangganya yang penuh foya-foya hingga terjerat hutang keluarga.
Meski sudah memulai hidup baru di Eropa, ia sangat tersiksa dengan memori yang terus-menerus mengusik batinnya. Dengan berbekal keyakinan, Multatuli merasa wajib menyelesaikan karyanya untuk mengurangi kesedihannya sekaligus berharap bahwa ia bisa menyumbang perubahan bagi masa depan penduduk di Nusantara.
Dalam edisi revisi tahun 1875 Multatuli menulis,
“bagi saya halaman-halaman ini adalah bagian hidup saya? lagi dan lagi pena terjatuh dari tangan saya, lagi dan lagi mata saya berkaca-kaca?”
Multatuli meninggal pada tahun 1887. Satu catatan penting yang ditinggalkannya, melalui sosok fiksi Max Havelaar yang dirancang Douwes Dekker, dia berpesan kepada umat manusia di seluruh dunia :
“Tugas manusia adalah menjadi manusia”.
Berkat novel Max Havelar, penduduk Eropa mulai tersadar bahwa kemakmuran yang mereka nikmati adalah berkat cucuran keringat, curucan air mata bahkan darah dan nyawa jutaan anak-anak pribumi di negeri jajahan Eropa. Novel ini tak hanya menghentak sebagian besar publik internasional, namun juga menjadi sumber inspirasi tokoh-tokoh pergerakan nasionalis Indonesia. Termasuk pula cucunya sendiri, EFE Douwes Dekker yang masyhur sebagai satu dari ?Tiga Serangkai?. Wajar jika Pramoedya Ananta Toer menyebut Multatuli sebagai salah satu orang yang pertama-tama menjadi suluh bagi kesadaran masyarakat Indonesia untuk merdeka.
Theodore Van Deventer (1857-1915) adalah seorang etisis yang paling dikenal dan berpengaruh di Belanda. Seorang praktisi hukum di Hindia Belanda yang kemudian menjadi politisi di negeri asalnya. Saat masih menjadi penasihat hukum bagi berbagai perusahaan swasta di Hindia Belanda, dia pernah menulis surat kepada orangtuanya. Di sana ia bilang, bahwa harus dilakukan sesuatu untuk kaum pribumi.
“Jika tidak, suatu hari bendungan akan jebol dan lautan manusia akan menelan kita semua,” tertulis dalam surat De Venter tanggal 30 April 1886.
Van Deventer pula yang menuntut dihapuskannya politik tanam paksa. Beberapa tahun kemudian, Van Deventer membuat karangan terkenal yang muncul dalam majalah ?De Gids? (Panduan) pada 1899. Dalam tulisan berjudul ?Een Ereschuld? (Utang Budi) itu, ia menjelaskan, Nederland menjadi negara makmur dan aman karena adanya dana yang mengalir dari tanah jajahan di Asia Tenggara. Jadi, sudah sepantasnya Belanda mengembalikannya. Dalam tulisan itu De Venter, yang kemudian menjadi anggota parlemen dari Partai Liberal, bahkan mendesak dikembalikannya semua dana hasil keuntungan yang diraup pemerintah Den Haag dari Hindia Timur sejak 1867.
Pengaruh Multatuli tidak saja mewarnai generasi muda di Eropa. Di Jepara, Jawa Tengah, pada masa itu pula seorang anak perempuan ningrat Jawa merentang pustaka kehidupannya yang cukup melegenda. RA Kartini yang lahir pada 21 April 1879 tidak lama menyapa dunia karena dalam usia 25 tahun, setelah melahirkan anak pertamanya, dia harus kembali ke haribaan-Nya pada tanggal 17 September 1904. Kartini[3] dikenal oleh dunia sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
?Kekuatan cinta? sungguh luar biasa. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20 tahun, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Peristiwa bertautnya ?cinta? anak manusia di belahan bumi yang berbeda ini seakan menjadi ?garpu tala? yang mampu menghasilkan getaran (resonansi) yang luar biasa sehingga menimbulkan nada suara yang menggema ke seluruh penjuru dunia.
Memasuki tahun pertama abad 20, peristiwa kemanusiaan pun mulai bergolak di atas bumi Eropa. Kekuatan cinta Multatuli, Van Deventer, Kartini, dan generasinya berhasil mengguncang Istana Negari Belanda. Dalam pidatonya, September 1901, Ratu Wilhelmina dengan tegas menyatakan, Pemerintah Belanda memiliki panggilan moral terhadap kaum pribumi Hindia Belanda. Pidato Ratu Belanda dalam sidang pembukaan parlemen itu menjadi pertanda momentum kelahiran faham atau aliran etis dalam kancah politik kolonial Belanda.
Walaupun kepedulian Ratu ini tidak diindahkan sepenuhnya oleh para utusannya (yang tidak amanah) yang bertugas di negeri jajahannya, faham politik etis dan berbagai kemajuan bagi kaum bumiputera yang dibawanya merupakan masa mulai memudarnya faham kolonialisme dan kekuasaan Belanda yang menyengsarakan. Berkah dari pergolakan itu, politik etis (politik balas budi) diberlakukan di Hindia Belanda (Indonesia) pada tahun 1901, yang berorientasi pada 3 hal perbaikan kehidupan bumi putra : edukasi, irigasi dan transmigrasi. Politik Etik ini kian membuka kesempatan bagi putra-putri Indonesia untuk mengenyam pendidikan menengah dan tinggi, termasuk di STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen / Sekolah Kedokteran Bumiputera), yang sudah berdiri sejak 1898. Tak saja menghasilkan pemuda Indonesia yang berilmu, tetapi juga berwawasan luas dan sadar politik.
Lahirnya Boedi Oetomo, sebagai organisasi modern pada tanggal 20 Mei 1908, seakan menjadi tonggak semangat dan kesadaran para kaum muda untuk bangkit kembali meneruskan perjuangan para leluhurnya yang telah gagal mengusir penjajahan di Nusantara. Seakan sebagai sapu tangan penghapus air mata Max Havelaar, de Venter dan Kartini yang telah kembali menghadap kepada penciptanya. Karena semenjak saat itulah mulai bermunculan organisasi-organisasi modern yang berorientasi kepada perjuangan dan pergerakan mewujudkan kemerdekaan. Tercatat dalam sejarah bangsa, berturut-turut berdirilah organisasi-organisasi di awal abad 20 ini: Serikat Islam (1909) yang kemudian berkembang menjadi Syarikat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Perhimpunan Indonesia (1922), Perguruan Taman Siswa (1922), Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), Nahdatul Ulama (1926), Partai Nasional Indonesia (1927), dsb. Organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan pun juga mulai bermunculan menyemarakkan ranah perjuangan bangsa menuju keberdekaan. Diawalai pergerakan Tri Koro Dharmo, kemudian muncullah, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Minahasa, Jong Java, Jong Batak, Jong Pasundan, dll.
Tepat 20 tahun sejak berdirinya BU, dalam Kongres Pemuda II tepatnya tanggal 28 Oktober 2008, dipersatukan oleh kesamaan nasib sepenanggungan untuk bersatu dan besama memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsanya, mereka para perintis kemerdekaan pun sanggup dengan besar jiwanya menanggalkan seluruh ego primordialismenya. Dan menyatu dalam satu tekad Sumpah Pemuda:
1. Kami putra putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia.
2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yangsatu bangsa Indonesia.
3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda menjadi tonggak politis bagi embrio sebuah “organisasi politik” tempat bernaungnya jutaan anak-anak bangsa dari ribuan suku bangsa yang tersebar di wilayah kepulauan Nusantara. Organisasi politik itu resmi menjadi sebuah Negara Republik Indonesia, setelah mendeklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Soekarno dan Moh. Hatta dipercaya untuk mewakili Bangsa Indonesia membacakan Proklamasi itu di Pegangsaan Timur Jakarta. Sejak Soekarno-Hatta memimpin negara mulai 1945, silih berganti presiden dan wakil presiden pun telah mengukir perjalanan sejarah Indonesia.
Setengah abad lebih Indonesia telah merdeka. Sudah keringkah air mata Max Havelaar? Sudahkah terhibur kepedihan Kartini yang harus menanggalkan mimpinya menggapai cakrawala dunia? Sudahkah beban moral Van Deventer membalas budi kepada Bangsa Indonesia terbayar dengan perubahan nasibnya ? Perilaku Bupati lebak dan kroninya (dalam bentuk kolektivitas dan penetapan kebijakan) yang semena-mena terhadap rakyatnya, bengis, keji, tak berperikemanusiaan, tampaknya masih berlanjut mewarnai wajah peradaban Indonesia. Walaupun reformasi sudah berlangsung lebih dari 1 dasawarsa, bangsa ini masih kering dari siraman cinta. Banyak para cerdik pandai pengelola negara, para wakil rakyat panutan warga, dan para petinggi swasta masih asyik bermain logika. Bahkan terjebak ke dalam indahnya pesona dunia yang menyeretnya dalam pusaran fatamorgana. Mereka asyik dengan paradigmanya memanjakan nafsu serakahnya, belum beranjak dari kekerdilan jiwa, sehingga terlena dengan amanah di balik jabatan yang disandangnya. Kekayaan alam Indonesia dan banyaknya jumlah penduduk Indonesia, kurang menjadi bermakna karena tiada keteladanan yang bijaksana.
Banyaknya kasus para menteri, gubernur dan bupati serta para anggota dewan masuk bui akibat ulah mereka melakukan korupsi, dari harus berurusan polisi hingga masuk bui, adalah cermin rendahnya mentalitas para pejabat dan petinggi negeri. Lantas bagaimana dengan mentalitas para anak negeri? Peribahasa mengatakan: “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” akan mengusung kecurigaan kita (jangan-jangan??? ), rendahnya mentalitas mayoritas warga Indonesia inilah yang menjadi inti persoalan mengapa bangsa ini sulit beranjak dari kerangkeng kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, pengangguran, dsb.
Di malam yang gelap, seberkas cahaya sungguh sangat bermakna. Akan tetapi tatkala langit yang gelap dan pekat, cahaya matahari pun tak sanggup menembus bumi. Demikian pula bukan dengan KORUPSI yang telah memporakporandakan tatanan kehidupan negeri ini? Korupsi tak ubahnya kabut tebal yang menyelimuti bumi. Hanya ada satu solusi mengusir kabut tebal itu, yaitu kearifan langit yang menurunkan air hujan yang cukup jumlahnya. Mengapa hanya air? Karena sifat air sama dengan sifat perasaan manusia paling mulia yaitu : cinta ! Keduanya memiliki sifat mencairkan, melunakkan, menyejukkan, menyegarkan, membersihkan, menghanyutkan, menghidupi, memotivasi, menginspirasi, tetapi sekaligus bersifat sebaliknya : mematikan, menghancurkan, meluluhlantakkan, melumatkan, dsb.
[1] yang banyak disebut pula dengan nama Indonesia, Hindia Belanda, dsb hingga 7 nama jumlahnya.
[2] Tokoh dalam novel ini adalah asisten residen Lebak bernama Max Havelaar. Orang dapat dengan mudah bahwa sosok itu adalah tokoh jelmaan (samaran) Multatuli.
[3] Cita-cita Kartini mendirikan sekolah wanita, telah menginspirasi didirikannya sekolah wanita Kartini di Jepara yang didukung oleh Van Deventer.
*) Lahir di Kulon Progo, tahun 1966. Tinggal bersama anak dan istri di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Bekerja sebagai Konsultan Manajemen Nasional (KMN) Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan, (PNPM Mandiri Perdesaan), sebuah proyek di bawah naungan Ditjen PMD, Dep. Dagri. Alamat kantor di Graha Pejaten, Jalan Pejaten Raya No 2-3, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.