Astrikusuma
sosbud.kompasiana.com
Mimpi besar itu terwujud juga akhirnya. Saya berjumpa Sapardi Djoko Damono, alias SDD, alias Si Penyair Hujan.
Salihara pada 7 November 2009 adalah saksi pertemuan kami setelah melewati berbagai upaya. Sore itu SDD baru saja usai memberikan ceramah tentang puisi-puisi Rendra. Sesuai perjanjian kami sebelumnya, saya menemuinya setelah acara selesai.
“Akhirnya ketemu orangnya setelah selama ini cuma ketemu di FB,” kata Pak Sapardi sambil tersenyum saat menjabat tangan saya.
FB, atau Facebook, memang menjadi sarana pertemuan kami di dunia maya, untuk kemudian menjembatani perjumpaan kami di dunia nyata. Kami sering berbalas pesan di FB ketika saya lembur bekerja sampai malam. Saya memperkirakan, pada saat yang sama beliau juga sedang berkarya, karena dari artikel yang baca di Kompas beberapa tahun lalu, saya tahu beliau senang bangun di malam hari untuk menulis. Bertahun lalu, cara berkomunikasi semacam ini dengan penyair pujaan tak pernah terbayangkan. Terimakasih untuk teknologi!
“Sekarang tinggal di Jogja atau Jakarta?” kata Pak Sapardi, lagi. Saya tak menyangka beliau akan bertanya seperti itu. Saya tentunya bukan satu-satunya orang yang berbincang dengan beliau lewat FB, tapi ternyata beliau ingat beberapa hal tentang saya. Saya jawab bahwa saya sekarang tinggal di Jakarta, atas nama pekerjaan. Tidak lebih.
Obrolan lantas berlanjut tentang kota Solo, kota tempat kelahiran kami, hingga tentang buku-buku puisi karya beliau yang diterbitkan ulang untuk memenuhi banyaknya permintaan penggemar. Sebagai informasi, buku-buku tersebut tidak dipasarkan melalui toko buku, tetapi langsung pesan ke penerbit atau pesan melalui Facebook. Selanjutnya cukup transfer uang dan buku akan dikirim sesuai alamat pemesanan. Sekali lagi, terimakasih untuk teknologi!
Perbincangan lewat FB dan pertemuan langsung dengan SDD meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Satu hal yang pasti, beliau adalah penyair yang rendah hati dan tak segan berbagi ilmu. Saya bersyukur bisa mengenalnya dan mengagumi karya-karyanya.
Nama SDD pertama kali muncul dalam hidup saya saat saya duduk di bangku SMA, tentu saja lewat puisi “Aku Ingin” yang terkenal itu. Dari satu puisi itu, saya beranjak untuk mengenal puisi-puisi lain karya beliau. Bukan sebuah hal yang mudah untuk dilakukan karena buku-buku karya beliau sudah sangat jarang dijual di toko buku. Selain itu, perpustakaan sekolah juga tak memiliki koleksi karya SDD.
Menginjak masa kuliah dan bahkan kini saat sudah bekerja, perburuan dan kekaguman saya atas karya SDD terus berlanjut. Saking herannya, seorang kawan pernah bertanya, apa yang membuat saya jatuh cinta pada karya-karya SDD? Saya tak punya jawaban pastinya. Mungkin, karena kata-kata yang dipakai SDD terasa halus, menyentuh, ngelangut, khas, dan tidak pasaran.
Selain itu, sebagai pecinta hujan, saya makin mengagumi SDD karena saya rasa SDD pandai menafsirkan hujan. Puisi-puisinya banyak yang menggunakan kata “hujan”, tak hanya dalam judul tapi juga dalam isinya. Hal itu jadi terasa tak mengherankan karena ketika saya tanyakan kepada beliau apa yang biasa beliau lakukan di malam hari, jawaban beliau adalah “Menghayati hujan.”
***