Cinta, Tuhan, Indonesia

Jamal D. Rahman*
http://www.kabarmadura.com/

Puisi adalah pesona bahasa. Puisi yang baik pastilah menyuguhkan keindahan bahasa yang membuat kita terpukau dan terpesona. Ia membuktikan bahwa bahasa memiliki keindahannya sendiri. Lewat puisi kita bisa menikmati salah satu kekuatan bahasa, yaitu nuansa estetis yang mungkin mengharu-biru perasaan dan hati kita. Tidak mengherankan kalau ada kalanya kita begitu terpesona pada sebuah puisi bukan karena makna yang disampaikannya, melainkan karena pilihan kata dan metafor yang digunakannya.

Kecuali itu, puisi adalah juga pesona makna, yaitu suasana, perasaan, hati, dan bahkan pikiran. Puisi bagaimanapun mengekspresikan makna, yang seringkali tak kalah mempesonanya dibanding bahasa. Ada kalanya kita terpesona dengan perasaan seseorang (yang diungkapkan dalam puisi), sehingga perasaan kita hanyut di dalamnya. Ada kalanya pula kita terpesona pada sebuah puisi (yang ditulis orang lain), karena diam-diam puisi tersebut dengan amat baik mengekspresikan perasaan kita sendiri. Dan lagi, ada kalanya kita terpesona dengan pikiran yang tertuang dalam puisi, mungkin karena ia menawarkan sesuatu yang segar dalam memandang sebuah masalah.

Begitulah puisi seringkali merupakan perpaduan dua hal yang mempesona, yaitu keindahan bahasa dan kedalaman makna.

Sudah tentu kita bisa membaca puisi dengan melihat dua aspek tersebut sekaligus: sejauhmana puisi berhasil dari segi keindahan bahasa dan berhasil pula dari segi kedalaman makna. Tetapi kita, pembaca, pada akhirnya dihadapkan pada pilihan-pilihan subjektif kita sendiri dalam membaca puisi. Jika tidak memilih keduanya, mungkin kita memilih keindahan bahasanya saja, atau memilih kedalaman maknanya saja. Pilihan-pilihan ini tergantung pada pertimbangan dan kepentingan kita sendiri.

Dilihat dari sudut puisi sebagai karya sastra, keindahan bahasa dan kedalaman makna tentu saja sangat penting. Tapi bagaimanapun, puisi pertama-tama merupakan ekspresi pengalaman seseorang. Orang selalu merasa perlu atau bahkan terpanggil untuk menyatakan apa yang dialaminya, sekadar bergumam atau curhat, atau menyampaikan sebuah pesan pada diri sendiri. Dalam konteks itulah orang menulis puisi. Tidaklah mengherankan kalau puisi kadangkala menampilkan apa yang seringkali tersembunyi dalam diri seseorang.

Di samping itu, orang juga ingin berkomunikasi dengan orang lain, dan media komunikasi yang dipilihnya adalah puisi karena dia merasa puisilah media yang paling memadai dalam mengkomunikasikan sesuatu. Pada titik itu dia tidak hanya mengengkspresikan diri lewat puisi untuk dirinya sendirinya, melainkan juga untuk orang lain.

Puisi-puisi Syam S. Tamoe ?yang terkumpul dalam buku ini? pada batas tertentu lebih terasa sebagai gumam pada diri sendiri, namun pada batas yang lain ia dengan jelas dan tegas mengkomunikasikan sesuatu kepada kita, pembaca. Puisi-puisinya terasa sebagai gumam pada diri sendiri terutama menyangkut tema-tema yang bersifat personal; sementara puisi-puisinya terasa mengkomunikasikan sesuatu kepada kita terutama menyangkut tema-tema sosial.

Tema yang cukup menonjol dalam puisi-puisi Syam S. Tamoe adalah tema cinta. Dia tampak rajin mencatat momen-momen penting dalam perasaannya, kadang dengan pesona bahasa yang mengesankan. Imajinasinya terasa hidup manakala perasaannya terbakar api cinta. Momen percintaan adalah momen puitis. Salah satu puisinya tentang ini yang menarik adalah puisi berikut:

DI PANGKUAN SIANG

Lentik bulu matamu di siang sunyi
di batas jendela yang tak berkaca
kau bertukar pandang dengan awan
lalu, kau selipkan selendangmu di mata angin
Di bawah naungan jendela
kau ajak sunyi memeluk gerimis malam
namun, waktu tak dapat diajak kompromi
dalam menyulap gelap
di sini, kau perlahan pejamkan mata lentikmu
saat awan tak mampu melawan terang

Di pangkuan siang, kau hanya bernafas lepas
tunduk dan membisu dijarah mata waktu
kau kalah, namun tiada yang menang.

Puisi di atas adalah salah satu puisi Syam S. Tamoe yang relatif berhasil, baik dari segi keindahan bahasa maupun kedalaman makna. Dari segi keindahan bahasa, puisi di atas terasa hidup dan bertenaga karena diksinya yang kuat berikut imajinasinya yang demikian asosiatif. Metafor-metafornya membangkitkan banyak hal tentang suasana perasaan dan hati yang sedang diharu-biru oleh cinta, suasana yang sebelumnya tersembunyi dan tak terkatakan. Dari segi kedalaman makna, puisi ini dengan baik memberikan makna baru pada hal keseharian yang ?remeh-remeh?, seperti jendela, awan, gerimis, siang, malam, dan lain-lain. Semua hal keseharian itu menjadi sesuatu yang amat penting dalam puisi tersebut, karena semuanya dilihat dengan cara baru, bukan dengan cara biasa sehari-hari.

Diharu-biru oleh cinta, orang memang seringkali memiliki kepekaan pada berbagai hal. Segalanya seakan memiliki makna baru; segalanya dipandang dengan cara pandang yang lain. Demikianlah misalnya jendela tak berkaca dalam pandangan sehari-hari adalah jendela yang tidak sempurna, tidak bagus, dan tidak menarik. Tetapi di mata seseorang yang sedang diharu-biru oleh cinta, jendela tak berkaca justru merupakan sesuatu yang indah ?seperti tampak pada puisi Syam S. Tamoe di atas. Demikian juga orang memandang awan di siang hari adalah hal biasa, tetapi bagi seseorang yang sedang diselimuti cinta, sang kekasih yang sedang memandang awan adalah sebuah pesona: kau bertukar pandang dengan awan ?.

Apa yang kita lihat selanjutnya dari puisi Syam S. Tamoe adalah bahwa si penyair menarik tema cintanya dari cinta manusiawi ke tataran yang lebih tinggi, yaitu cinta ilahi. Betapa dalam pun makna cinta, penyair pada akhirnya terdorong untuk mencari makna cinta yang lebih dalam lagi. Cinta manusiawi pada akhirnya tidak memberinya kepuasan penuh, sementara hasrat akan cinta yang paling dalam tampak menyala-nyala. Sebagaimana terlihat dari puisi-puisinya dalam buku ini, Syam S. Tamoe tampak bergerak bolak-balik antara cinta manusiawi dan cinta ilahi. Dia berbicara tentang cinta manusiawi dan pada waktu yang hampir bersamaan dia juga berbicara tentang cinta ilahi. Ini menunjukkan bahwa sang penyair tidak meninggalkan sepenuhnya cinta manusiawi, meskipun dia telah memasuki tahap pencarian cinta ilahi.

Dalam puisi-puisi Syam S. Tamoe, terasa ada perbedaan corak antara cinta manusiawi dan cinta ilahi. Cinta manusiawinya terasa begitu romantis, sebuah ekspresi keindahan perasaan seseorang yang sedang dibakar api cinta. Meskipun jalan cinta tak selalu mulus, bahkan mungkin ada kalanya menyakitkan, cinta manusiawi tetap menyala-nyala. Kita baca misalnya beberapa larik puisi Syam yang indah berikut ini:
?
Wahai, kekasih sunyi
terasa berat langkah ini terus berjalan
untuk mengantarmu bersugi di tapak sepi
ke mana arus fajar akan kau lawan
cadar kesunyian ini tak dapat dirahasiakan.

Sementara itu, cinta ilahinya lebih terasa sebagai cinta yang penuh rintangan, cinta yang tak mudah digapai. Cinta ilahi seringkali dirasakan sebagai sesuatu yang asing namun tak bisa dilepaskan juga. Ia menjadi asing karena tak kunjung sampai pada hasrat kerohanian yang diinginkan. Pada saat yang sama ia tak bisa dilepaskan karena ia sedemikian rupa telah menjadi bagian dari kesadaran kerohanian yang tak mungkin lagi diabaikan. Tidak mengherankan bahwa hubungan manusia (?aku?) dengan Tuhan (?Mu?) dalam puisi Syam kadangkala menyiratkan keputusasaan menyangkut kedekatan manusia dengan Tuhan itu sendiri, namun sekaligus menyiratkan harapan bahwa jarak keduanya mesti dipecahkan. Inilah ketegangan perasaan seorang anak manusia di hadapan hatinya sendiri. Tapi bagaimanapun, pada akhirnya ?aku? lebur dalam wujud Tuhan. Syam menulis: ? cintaku di atas nafas-Mu/ biarkan kita berpisah jarak/ jarak sebatas nafas di balik sujud-Mu// Cintaku hanya hempasan angin mata waktu/ cintaku nyanyian sunyi di tepi samudera/ lepas dan terbuai riak gelombang ?// Tuhan di hatiku, Tuhan di tubuhku/ aku tiada dengan ketiadaan-Nya/ aku ada dengan ada-Nya ?.

Syam S. Tamoe tak hanya menulis tema cinta sebagai pengalamannya yang bersifat personal. Alumnus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu juga menulis tentang masalah sosial, termasuk tentang beberapa masalah Indonesia. Dia misalnya berbicara tentang tradisi menyambut tahun baru dengan kembang api:

Kembang api, menyambut tahun baru
api pun menyambut rumah berapi-api
rumah api, berpasangan kembang api
hanguslah termakan api
dan menyalalah kembang api
terbakarlah rumah berapi-api

Rumah sepi, terhuni api
di luar jendela orang-orang pada lari
lihatlah
adakah yang mati

Tahun baru, awali rumah api
terbakar jiwa-jiwa sepi.

Puisi di atas mengungkapkan sebuah ironi, yaitu tradisi menyambut tahun baru dengan kembang api sebagai sebuah kemeriahan, yang di mata Syam tradisi tersebut secara simbolik justru berarti membakar rumah sendiri. Di tengah sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih dihimpit kemiskinan, merayakan tahun baru dengan kelewat meriah jelaskah menunjukkan ketidaksensitifan sosial. Syam S. Tamoe menangkap ini dengan kepekaan sosialnya yang patut kita puji. Dia tidak mengecam perayaan menyambut tahun baru, namun dia mengingatkan bahwa saat kembang api dibakar di malam tahun baru, yang terbakar sesungguhnya adalah jiwa-jiwa sepi.

Dan, ironi kembang api di malam tahun baru hanya satu dari beberapa masalah Indonesia yang dibicarakan Syam dalam puisi-puisinya.

Pada akhirnya, membaca puisi-puisi Syam S. Tamoe, sesungguhnya kita menyelami pergolakan perasaan dan pikiran seorang anak manusia di tengah persoalannya sendiri dan persoalan bangsanya yang kompleks. Untuk sebagian, puisi-puisinya merefleksikan perasaan dan kegelisahan kita juga.***

*Jamal D. Rahman, penyair, pemimpin redaksi majalah sastra Horison.

Leave a Reply

Bahasa ยป