M Abdul Rohim
http://suaramerdeka.com/
PERBINCANGAN soal perempuan acap meninggalkan kesan manis sekaligus tragis. Manis karena perempuan penuh daya tarik. Tragis karena perempuan sering dilingkupi peristiwa mengenaskan; pemerkosaan, pengerdilan, kekerasan, penganiayaan, hingga komodifikasi.
Perempuan dijadikan komoditas, tubuh perempuan diperebutkan. Beberapa figur perempuan diboyong politikus untuk mengikuti pemilihan kepala daerah. Sebagian besar di antara mereka adalah artis. Itu menimbulkan tanda tanya dan tanda seru. Pujian, cercaan, dan kecurigaan menggenang dalam ?kubangan? masyarakat. Itu dianggap wajar, karena publik telah mengetahui sepak terjang sang artis. Publik merasa punya kedekatan dengan sang artis.
Nilai dan martabat perempuan dalam percaturan politik pun dipertaruhkan. Ketika para artis itu tak mampu mengemban amanah, emansipasi dianggap gagal. Sebab, kemunculan figur perempuan di ruang publik didasari emansipasi.
Emansipasi yang digaungkan Kartini berorientasi ke kesamaan hak untuk memperoleh pendidikan. Pada zaman kolonial, perempuan dipingit, tak diperbolehkan sekolah sederajat dengan lelaki. Perempuan harus senantiasa di rumah untuk dipersiapkan menjadi istri yang ?baik?.
Sistem pengungkungan dalam keluarga itu dibentuk kaum kolonialis agar perempuan tak mengganggu. Sebab, perempuan disinyalir memiliki kekuatan lebih dahsyat ketimbang lelaki (Suryanto Sastroatmodjo, 2005). Kartini, Cut Nyak Dien, Ratu Kalinyamat jadi pelopor wacana emansipasi.
Bak stiker di dinding, pepohonan, dan kamar mandi umum, perempuan seakan jadi pamflet manis nan cantik untuk menyukseskan misi politikus. Penyandang-sandingan perempuan sebagai calon pengemban amanat menyebabkan perhatian masyarakat tercuri. Publik sibuk memperbincangkan ?tubuh? perempuan. Tak hanya untuk mencuri perhatian, perempuan juga digunakan untuk menjual produk industri, dari industri sosial hingga politik. Kepopuleran artis dijadikan modal awal memasarkan produk.
Itu didasari pola pikir publik tentang konsumsi. Pola pikir konsumsi didasari metafor yang ditawarkan iklan dan pamflet. Dalam iklan, citra merupakan urgensitas yang diperhitungkan betul oleh produsen (Jean P Baudrillard, 2009). Dan, perempuan punya representasi untuk menyuguhkan citra itu.
Dalam logika pencitraan, rasa merupakan referensi utama untuk memopulerkan (Niels Mulder, 2009). Rasa, bagi Mulder, merupakan ?kendaraan kehidupan?. Sebab, tindakan seseorang berawal dari olah rasa.
Paul Stange (2009) menggunakan rasa untuk mengetahui intuisi publik sehingga perhatian publik tercuri melalui pendekatan rasa.
Barangkali peristiwa itu menja-wab ketertarikan publik pada tubuh perempuan. Sebab, perempuan menyebarkan aroma menggiurkan. Kecantikan ?tubuh? perempuan jadi konsumsi publik yang laris di sepanjang sejarah sehingga terkadang menimbulkan dilema.
Dilema Kecantikan Perempuan kerap berada dalam dilema kecantikan ketika bersinggungan dengan kebutuhan publik. Cantik jadi pertimbangan pertama bagi penampilan perempuan. Perempuan tak percaya diri jika berpenampilan kurang cantik. Karena itu, lafal cantik kerap disandingkan dengan citra perempuan.
Dengan segenap keseriusan mengurus kecantikan, perempuan kerap dimanfaatkan pemilik kepentingan. Politik kecantikan menjadi prioritas utama. Citra cantik mengubah paradigma masyarakat sehingga politikus acap menggunakan kecantikan untuk mempromosikan jargon. Mitos kecantikan juga dipakai berbagai produsen untuk memasarkan produk industri. Perusahaan lebih suka memakai kecantikan perempuan ketimbang lelaki.
Peran perempuan kerap tergeser oleh permainan politik. Barangkali itu menjadi pertanda bagi peran sakral perempuan. Perempuan tak dijadikan figur pendidikan. Citra cantik perempuan dieksploitasi untuk kepentingan tertentu. Baudrillad memandang itu sebagai fenomena pencitraan yang dimodifikasi melalui iklan, pamflet, poster, dan media pencitraan lain.
Kecantikan perempuan bisa jadi bumerang bagi mereka atau publik. Kecantikan perempuan jadi objek yang diperebutkan dan terkadang berujung pada kehancuran. Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh bernama Banowati. Dia adalah kekasih Arjuna yang berperawakan cantik dan jadi idaman beberapa pangeran. Namun karena kecantikannya, Banowati tewas di tangan Kartamarma, adik Prabu Suyudana yang kecewa (Nasruddin Anshory, 2008).
Peristiwa Banowati jadi tolok ukur risiko yang ditimbulkan kecantikan. Publik boleh saja disuguhi citra baik, cantik, dan kenes. Namun jangan sampai publik kecewa oleh politik pencitraan yang disuguhkan. Sebab, itu bakal memicu tragedi dan luapan emosi serta perilaku negatif.
Karena itu, perlu pergeseran paradigma. Selama ini, politik pencitraan hanya mengacu ke metafor yang tak diimbangi isi dan kualitas yang sebanding dengan iklan. Paradigma pencitraan harus diiringi pemupukan kualitas yang sepadan dengan yang digembor-gemborkan. Jadi publik tidak kecewa oleh tingkah polah iklan.
Sebab, ketika publik merasa didustai oleh seabrek citra yang disuguhkan, kekerasan massa pun tak dapat dihindari. Citra kecantikan yang dilekatkan pada ?tubuh? perempuan harus disertai tanggung jawab. Jika publik telanjur percaya metafor yang disuguhkan iklan yang tertempel di beberapa tempat publik, pengorbanan untuk memperjuangkan figur pun sepadan dengan nyawanya. F Budi Hardiman (2005) menyatakan kekecewaan publik akan memicu segenap perilaku negatif massa.
– M Abdul Rohim, Wakil Direktur Paradigma Institute Kudus