Pramono
korantempo.com
Memperingati 150 tahun Max Havelaar, Erasmus Huis, Jakarta, menggelar diskusi yang membedah novel karya Multatuli tersebut.
“Ja, aku mau dibatja! Aku mau dibatja oleh negarawan-negarawan jang berkewadjiban memperhatikan tanda-tanda zaman.”
Begitu tertulis dalam novel Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda terjemahan H.B. Jassin yang dirilis pada 1972. Novel ini ditulis Eduard Douwes Dekker, asisten residen di Lebak -dulu Jawa Barat, kini Banten. Dekker menggunakan nama samaran Multatuli yang berarti: aku telah banyak menderita.
Dekker prihatin atas kesewenangan pemerintah Belanda, terutama tindakan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara terhadap rakyat setempat. Ia mengajukan protes kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist. Tapi Dekker justru dipindahkan ke Ngawi, Jawa Timur. Ia menolak pemindahan itu dan meng undurkan diri.
Dekker kembali ke Belanda dan menulis Max Havelaar pada 1855. Novel itu hanya ditulis selama tiga pekan. Lima tahun kemudian, novel itu diterbitkan. Sudah 150 tahun berlalu. Masihkah karya Multatuli alias Douwes Dekker itu dibaca
Ahli literatur Belanda yang berfokus pada tulisan abad ke-19, Profesor Marita Mathijsen, mengklaim Max Havelaar se bagai karya paling berpengaruh dalam dunia sastra Belanda dan opini publik. Menurut Mathijsen, Max Havelaar tak bisa dikalahkan literatur lain dan menempati urutan paling atas dalam daftar resmi literatur Belanda. “Banyak novel ditulis pada abad ke-19, tapi kebanyakan dilupakan,” katanya dalam dialog peringatan 150 tahun Max Havelaar di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta, Selasa lalu.
Max Havelaar, kata Mathijsen, memiliki keunikan dari sisi etika dan estetika. Multatuli mampu menghadirkan realitas sosial dalam penjajahan Belanda di Indonesia. Karakteristik kaum borjuis Belanda dihadirkan melalui Batavus Droogstoppel, makelar kopi di Amsterdam
Droogstoppel menjadi salah satu tokoh protagonis yang menulis Max Havelaar. Droogstoppel meminta bantuan Ernest Stern, laki-laki Jerman, untuk bercerita tentang kumpulan tulisan Havelaar yang diserahkan kepadanya. Stern justru memilih bercerita tentang romantisisme perjuangan Havelaar di Lebak, dan kisah percintaan Saijah-Adinda.
Menurut Mathijsen, novel itu berpengaruh besar terhadap perkembangan kebebasan berpikir kaum feminis, sosialis, dan reformis. Max Havelaar, yang menceritakan perlakuan tak manusiawi koloni Belanda, kemudian mampu mempengaruhi moralitas politik. Koloni di Indonesia tak boleh lagi menjadikan penduduk pribumi hanya sebagai sumber keuntungan. Tapi kaum pribumi juga harus mendapat pendidikan.
Mathijsen menilai Max Havelaar jelas mempengaruhi pemikiran kesederajatan ras. “(Pengaruh Max Havelaar) sama seperti yang dihasilkan Uncle Tom’s Cabin dalam perbudakan di Amerika,” katanya menjelaskan. Tak hanya itu. Pengarang Max Havelaar menjadi nama sejumlah jalan dan sekolah. Namanya juga dijadikan penghargaan sastra. Museum Multatuli pun didirikan di Amsterdam, Belanda, tempat kelahirannya, sebagai penghargaan masyarakat setempat. Bahkan namanya sempat dijadikan merek cerutu.
Di Indonesia sendiri, menurut Mathijsen, karya Multatuli juga berpengaruh besar. Keponakan Dekker, Ernest Douwes Dekker -separuh Belanda dan separuh pribumi- membangun gerakan antikolonialisme. Ernest mengubah namanya menjadi Setiabudhi. Presiden pertama Soekarno pun menjadi salah satu pengagum Multatuli.
Mathijsen menganalogikan Max Havelaar dengan mahakarya Charles Darwin, Origin of Species, yang terbit setahun sebelum karya Multatuli. Analogi ini dibenarkan guru besar filsafat Universitas Indonesia,
Toeti Heraty Noerhadi Rooseno. Menurut Toeti, Max Havelaar mampu bertahan dan eksis dalam perjalanan waktu. “Analogi ini sangat relevan,” katanya. Toeti juga mengakui pengaruh besar Max Havelaar. Dalam karya tulis yang dibuat untuk Museum Multatuli, Toeti mengutip pandangan sastrawan Pramoedya Ananta Toer tentang Havelaar: “pembunuh kolonialisme”.
***