Ulfatin Ch
http://www.suarakarya-online.com/
Setiap pagi, lelaki itu selalu muncul diambang jendela. Matanya yang bulat dan tajam dibalik kaca mata hitam berputar ke sana kemari bagai lampu mercusuar mengintai setiap kapal melintas pelabuhan.
Semua yang ada di depannya seperti tak terlewatkan dari tatapannya. Tidak juga dengan diriku. Ketika kubuka pintu di pagi hari dan memulai tanganku memainkan sapu lidi membersihkan halaman rumah, aku selalu melihat lelaki itu juga sudah diambang jendela menatapku bagai serigala menatap musang. Aku tak banyak mengetahui tentang lelaki itu, setidaknya untuk sementara waktu.
Aku hanya mengetahui lelaki itu selalu di ambang jendela di saat matahari mulai menyingsing dan setelah itu menghilang, entah. Dia akan muncul lagi berdiri di ambang jendela ketika sore hari saat matahari mulai terbenam. Itu yang kutahu. Selebihnya aku tak tahu kemana dia?
Aku pun tak tahu dan mungkin tak banyak orang mengetahui, apa aktivitasnya setiap hari? Apa pekerjaannya dan dimana dia bekerja? Dia hidup dengan siapa atau keluarganya dimana? Aku tak tahu.
Tapi, setiap berada di ambang jendela, lelaki itu bisa menghabiskan lebih dari dua jam berada di sana. Matanya yang bulat dan tajam seperti mengintai setiap apa saja yang ada di depannya. Dia hanya menjawab senyum ketika kebetulan ada orang menyapanya dan dia akan menatap orang itu sampai ekor bayangan orang yang menyapanya hilang.
“Jokie,” begitu seseorang menyapanya dari jalan. Lelaki yang dipanggil Jokie pun tersenyum sambil melambaikan tangannya. Sebetulnya lelaki ini ramah, tapi entah kenapa dia tak banyak bicara. Dan menurut aku, lelaki di ambang jendela itu tak pernah bicara.
Dia hanya seyum dan tersenyum setiap menjawab sapaan orang. Aku sendiri tak tahu kenapa? Aku baru saja pindah rumah dari daerah pantai ke daerah pegunungan. Udara pantai dan pegunungan sungguh sangat berbeda. Udara di daerah pantai cukup hangat bahkan lebih cenderung panas di siang hari, sedang didaerah pegunungan cenderung dingin sepanjang hari. Dan aku belum terbiasa dengan udara dingin seperti ini, jadi aku lebih suka berada di dalam rumah.
Mungin seperti lelaki itu, aku jarang di luar rumah karena udaranya dingin. Hanya sesekali aku di depan rumah untuk membersihkan halaman dan melihat lelaki itu di ambang jendela. Atau mungkin karena aku orang baru di sini, sehingga belum banyak mengenal lelaki itu. Lelaki yang ramah dan bertubuh bersih.
Matanya yang tajam tertutup frem hitam dengan kaca yang tak seberapa tebal sehingga masih menampakan ketajaman matanya. Tangannya yang kekar membuka jendela saat pagi menyingsing. Matahari dari timur bagai bola lampu menyala dan seolah bersaing dengan sinar mata lelaki itu.
Sebentar wajahnya mendongak. Ia perhatikan seekor burung pipit di pohon jambu air di depan rumahnya. Ia ikuti gerak kaki burung pipit yang melompat kesana kemari bagai penari balet berlaga.
Sebentar kemudian ia menatap taman. Ia perhatikan kupu-kupu kuning terbang mengitari bunga krisan, pindah ke bunga mawar, ke atas sedikit bunga alamanda yang menjuntai dengan warna nyala. Lelaki di ambang jendela itu pun tak bosannya menatap kehidupan pagi.
Aku yang memainkan sapu lidi di halaman yang tak seberapa luas, memutar-mutar menatap lelaki di ambang jendela dengan sudut mata dan bertanya di dalam hati, mengapa? Suatu hari, aku bertandang ke rumah pak Rt menunjukkan kartu identitas dan beberapa keterangan lainnya yang dibutuhkan sebagai warga baru.
Rumah pak Rt tak jauh dari rumah yang kutempati, hanya bersela empat rumah ke utara dari rumahku. Dan lima rumah jika aku menghitunya dari rumah lelaki yang diambang jendela itu. Tak banyak yang kutanyakan kepada pak RT mengenai peraturan kampung dan nama-nama warga yang tinggal bersebelahan dengan rumahku.
Tak terkecuali siapa nama penghuni rumah di sebelah selatan rumahku. Pak RT bilang lelaki itu bernama Rahmidi, tetapi orang lebih suka memanggilnya Jokie, terutama bekas teman-teman sekolahnya dulu. Kerena Rahmidi dulu senang menunggang kuda saat berkeliling kampong, mirip seorang jokie. Kini, dia tinggal di rumah seorang diri.
Kedua orang tuanya sudah tidak ada. Lelaki itu punya satu saudara perempuan, namun saudaranya sudah berkeluarga dan tinggal di Surabaya mengikuti suaminya. Saudara perempuannya hampir tidak pernah menengok lelaki itu.
“Apa dia bekerja, pak?” Tanyaku menyela cerita pak Rt. “Tidak. Mas Jokie itu seorang pelukis, jadi setiap hari kerjanya melukis.” “Ooo, tapi apa lelaki itu, ee maksud saya, mas Jokie belum punya anak, pak?” Tanyaku memburu pak RT. “Iya, ini masalahnya, jeng.” Kata pak RT. “Satu tahun yang lalu, istrinya kecelakaan disaat menaiki kudanya.
Mungkin istrinya memacu kuda terlalu kencang sehingga tak terkendali, dan istrinya mas Jokie terjatuh, kepalanya terbentur pohon di pinggir jalan. Istrinya meninggal saat perjalanan ke rumah sakit. Begitulah, jeng.
Sampai sekarang mas Jokie belum menemukan pengganti istrinya lagi. Dan setiap hari kerjanya melukis terus. Sesekali dia keluar menjual lukisannya, kemudian pulang dan melukis lagi.”
Begitu cerita yang dituturkan pak RT mengenalkan jokie padaku. Aku pun hanya mengangguk-anggukkan kepala dan memaklumi kalau mas Jokie selalu di dalam rumah untuk melukis. Entah, seperti apa lukisannya, aku belum tahu. Aku pun penasaran juga ingin tahu lukisannya seperti apa? Apa sebentuk lukisan realis, surealis, atau ekspresionis seperti gaya Afandi, Joko, Entang, atau Basuki Abdullah, atau seperti lukisan Sang Penyair Sufi itu. Aku ingin tahu.
Tapi, entah kapan aku bisa masuk ke rumah mas Jokie dan melihat-lihat lukisannya. Karena setiap hari pintu rumahnya tertutup rapat. Hanya jendelanya yang selalu dibuka pada pagi hari dan tertutup lagi ketika senja. Pagi terseyum dan lelaki itu membuka jendelanya saat aku pun bergegas mengambil sapu dan memulai membersihkan halaman. Pohon jambu air memang terbanyak memberikan sampah dibanding pohon mangga, apalagi kalau musim bunga begini, wah, daun dan bunganya banyak berjatuhan dan memenuhi tanah yang ada di bawahnya. Aku yang belum lama menempati rumah ini bersama keluargaku pun setiap pagi mesti disibukkan dengan rontokan daun dan bunga jambu air ini. Sekali saja tidak dibersihkan sampahnya berjibun-jibun.
Jokie baru saja membuka jendela, ketika pandangan kami saling menatap dan kami pun saling senyum menyapa. Aku mengangguk melanjutkan membersihkan halaman dari rontokan daun dan bunga jambu air.
Sedang jokie, lelaki itu tetap diam di ambang jendela memperhatikan burung-burung pipit melompat-lompat dari dahan satu ke dahan lainnya, kemudian berganti menyaksikan kupu-kupu yang menari di atas bunga alamanda.
Jokie masih rapat di ambang jendela. Matanya ke sana kemari seperti sedang mengamati sesuatu. Tangannya memegang barang serupa kertas dan pensil. Sesekali mendongak ke atas ke bawah menatap ke arahku dan sesekali tangannya menggerakkan apa yang pegangnya.
Entah, mungkin dia lagi membuat seketsa lukisan atau sedang mencari imajinasi lukisannya. Yang jelas lelaki itu masih berkolaborasi dengan pagi, burung, dan bunga-bunga, dan mungkin juga dengan aku.
Ah, tidak! Barangkali aku terlalu berlebihan kalau mengatakan Jokie, lelaki di ambang jendela itu sedang melukis diriku.
Untuk apa? Lelaki itu mungkin melukis bunga alamanda.
Ya. Melukis bunga atau burung itulah yang tepat! Jokie masih di ambang jendela ketik aku merampungkan kerjaku membersihkan halaman dari rontokan daun dan bunga jambu air. Aku tegap berdiri dan kebetulan pandangan kami beradu. Aku pun mengangguk menyapa. Jokie tersenyum. Entah, kapan aku bisa melihat-lihat lukisannya.
Siang, aku pulang kuliah. Udara sedikit panas, tapi anginnya tetap semilir khas angin pegunungan. Aku melihat Jokie di ambang jendelanya menatap keluar. “Siang, om.” Sapaku sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Yang kusapa pun seperti biasa tersenyum. “Lagi cari inspirasi ya, om?” Tanyaku lagi setengah memaksa Jokie membuka mulutnya.***