Judul Buku : Menanam Benih Menuju Indonesia Jernih
Penulis : Nazaruddin Malik, dkk.
Penerbit : UMM Press
Cetakan : Pertama, Desember 2009
Tebal : xii + 131 Halaman
Peresensi : A Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/
Buku ini diikhtiarkan sebagai kado buat Bapak Malik Fadjar di usia 70 tahun. Mantan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) era Megawati Soekarnoputri itu adalah penggagas dan pendiri Forum Rumah Baca Cerdas yang lazim disebut RBC, bertempat di areal Perumahan Permata Jingga. RBC merupakan tempat diskusi dan perpustakaan yang bebas diakses masyarakat luas.
Sebagai tempat diskusi para pakar dan aktivis, RBC lambat laun mampu membikin notulenisasi dari hasil diskusi tahun 2009 yang acap digelar saban hari Rabu dan Jumat. Tujuan dari pembukuan hasil diskusi ini ialah merawat budaya literasi dan menggawangi pilar intelektualisme.
Di Malang tak jauh beda dengan tradisi intelektualisme di Yogyakarta. Daya intelektualisme di kota Malang kini ditengarai menggeliat gesit. Banyak komunitas seperti RBC bertebaran di mana-mana. Alangkah baik bila komunitas yang serupa dengan RBC juga turut tertular semangat membukukan hasil-hasil diskusinya.
Buku Menanam Benih Menuju Indonesia Jernih memuat tumpukan tulisan beragam tema aktual sepanjang tahun 2009. Tema kebangsaan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan menghiasi sekujur tubuh buku rampai ini. Tentu, tema-tema yang tampak general tersebut dikemas oleh para penulis relevan dengan fenomena-fenomena keseharian publik saat itu. Dan, para kontributor tulisan yang menulis untuk buku ini berdasar disiplin ilmu masing-masing.
Misalnya, Nazaruddin Malik yang berlatar belakang bidang ekonomi menulis Menelusuri Jalan Terjal Ekonomi dan Pendidikan dalam Kesungguhan Cita Bangsa (hlm. 77). Nazaruddin yang tiap harinya bergelut dalam pengkajian ekonomi menyoal masalah pelik Indonesia tentang kemiskinan dan pendidikan.
Jika problem pendidikan dibiarkan carut marut, tentu akan mendongkrak angka pengangguran masyarakat (kemiskinan). Beda lagi masalah pendidikan yang kini sengaja didesain komodifikasi, di mana pendidikan menjadi obyek transaksi. Mengenai hal ini, Pradana Boy ZTF, intelektual muda Muhammadiyah mengarsiteki tulisan Mencemaskan Industrialisasi Pendidikan (hlm. 103).
Pradana Boy ZTF menyoroti persoalan aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan yang tampak mengindustrialisasi. Pendidikan saat ini menjelma barang mahal yang sulit dijangkau dan dibeli masyarakat. Sehingga, sekadar mencicipi pendidikan wajib sembilan tahun, masyarakat harus membayar ongkos yang mahal.
Persoalan seputar ekonomi dan pendidikan di Indonesia membutuhkan pemerintah yang mampu memantulkan aspirasi rakyat di tiap-tiap kebijakannya. Tatkala masyarakat di dua bidang ini ?pendidikan dan ekonomi?tampak sengsara bagaimana dengan bidang-bidang yang lain. Alih-alih menyangsikan nasib kemakmuran rakyat, Luthfi J. Kurniawan menulis Benarkah Indonesia Negara Kesejahteraan? (hlm. 41 ).
Sebagai aktivis di Yayasan Malang Corruption Watch (MCW), Luthfi J. Kurniawan lihai membeberkan data ihwal pelayanan publik yang tak optimal. Sejatinya, lembaga-lembaga pelayanan publik mampu mengimplentasikan negara kesejahteraan. Sehingga, di negara ini dituntut adanya reformasi pelayanan publik untuk mengubah pandangan dan mental aparat birokrasi yang masih melihat pelayanan publik sebagai ?pekerjaan yang dilayani? bukan ?pekerjaan untuk melayani.? (hlm. 47).
Dengan kata lain, aparat birokrasi di negeri ini gemar dimanja, bukan malah memanjakan rakyatnya. Saat hanya menjadi kandidat ?pilbub, pilwali, pilgub, maupun pilpres?mereka senantiasa mengumbar janji pada rakyat. Tak kalah hebatnya, wujud bahwa birokrat suka dimanja ialah saat bursa pemilihan di mana mereka berebut memasang foto-foto dirinya di sepanjang trotoar dan jalan raya. Mereka menempel foto dirinya di banner agar disanjung dan dimanja.
Fenomena politik citra tersebut dilirik kritis oleh Wahyudi Winarjo, Dekan Fisip UMM, yang menulis Menggugat Fungsionalitas Iklan Politik Caleg (hlm. 23). Wahyudi Winarjo menyitir teori simulakra Jean Baudrillard di buku The Mirror of Production (1975). Lewat teori simulakra kritis Baudrillard, para kandidat yang tampak tebar pesona dengan foto diri dan visi serta misinya saat terpilih ialah hanya simulasi-simulasi palsu yang berpotensi mengelabui kesadaran asli masyarakat. Pemilih (masyarakat) hanya disuguhi janji palsu dengan politik citra.
Di panggung politik tak melulu ada politik citra. Husnun N. Djuraid, Redaktur Malang Post menulis Pelajaran dari Okezone: Cacatan Hubungan Pers dan Pemilu 2009 (hlm. 35). Husnun N. Djuraid mengurai keruwetan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Umum (Pemilu), mulai ketakberesan soal DPT (Daftar Pemilih Tetap) hingga masalah penghitungan kertas suara. Lebih dari itu, Cak Nun (panggilan akrab Husnun N. Djuraid) mengaitkan peran pers (media) dalam hajatan politik: Pileg ataupun Pemilu. Yang menarik, Cak Nun juga membahas kasus Okezone yang mencabut pelansiran berita mengenai money politics yang dilakukan Eddy Baskoro Yudhoyono, putra Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kasus Okezone tersebut sempat menghentak jagat pers.
Tulisan-tulisan yang terhimpun di buku ini memiliki ketajaman analisis masing-masing. Pembaca sedikit terganggu dengan prosesi penyuntingan yang tak total. Banyak di tiap-tiap tulisan dijumpai salah ketik dan penggunaan bahasa yang tak baku. Kendati pun, buku ini memperkaya khasanah intelektualisme di Malang, hingga buku ini layak dibaca.