Eksekusi

S Yoga
sinarharapan.co.id

“Saksi mata ceritakan kebenaran kepadaku tentang seorang aktivis yang hilang beberapa tahun yang lalu. Jangan takut, identitas akan kami rahasiakan,” rayu seorang wartawan muda pada seorang mantan sipir penjara yang kini kembali ke desanya. Maka malam itu saksi mata menceritakan dengan linangan air mata:

“Sudah kawan, kau tak usah selalu mengeluh, beginilah kenyataan hidup. Aku juga sama dengan kamu, aku juga bukan apa-apa. Percayalah, jalani hidup apa adanya.”

“Tapi jelas beda, Dario. Aku tahanan dan kau bisa bebas ke mana kamu suka. Bisa bertemu keluargamu. Memang kita berkawan tapi dalam posisi berbeda.”

“Aku juga tidak tahu kenapa kita dipertemukan di sini. Aku juga tidak tahu kenapa aku ditugaskan di sini. Selama hidup baru kali ini menjalani tugas aneh. Menjaga tahanan di sebuah penjara di tengah hutan yang dirahasiakan. Dan, tiap hari hanya mondar-mandir di ruangan ini. Barulah di hari Minggu bisa menghirup udara segar, bisa berkumpul dengan keluarga. Hari Seninnya kembali berhadapan dengan kamu lagi, berhadapan dengan rutinitas yang sangat melelahkan tenaga dan pikiran, meski hanya mondar-mandir di ruangan, dan justru karena hanya mondar-mandir di ruangan maka segalanya menjadi berat. Kawan, maafkan aku, suratmu kemarin tak bisa aku poskan, aku harap kamu mau mengerti keselamatanku, posisiku, nasibku.”

“Tak apalah mungkin sudah nasibku. Tapi tahukah kau kabar keluargaku kini?”

Aku bangkit perlahan dari kursi, berjalan ke arah pintu, menjengukkan kepala ke luar, ruangan tampak sepi, tak ada orang lain kecuali kami berdua. Aku kembali melangkah menuju kursi sambil mengeluarkan sebungkus rokok. Duduk.

“Oh, maaf. Ini untukmu.” Aku sodorkan sebatang rokok, lalu kusodorkan nyala korek api ke depan bibir si tahanan, dan ia menyulut rokok pemberianku. Setelah beberapa waktu saling menikmati isapan rokok. Aku ceritakan tentang kabar keluarganya.

“Aku ceritakan padamu tapi harap kamu bisa menyimpan rahasia ini, dan aku sangat percaya padamu. Bukankah kita sudah bersahabat kurang lebih tiga tahun. Memang beberapa waktu lalu aku mendengar kabar keluargamu telah memohon kepada pemerintah Negeri Senja. Dan sebentar lagi permohonan keluargamu agar membebaskan dirimu akan dikabulkan.”

“Omong kosong!”

“Jangan begitu kawan. Dengar kabar itu mestinya kamu gembira, paling tidak masih ada debar harapan yang terus berkembang dalam hidupmu, dan itu akan terus membuatmu bertahan, kuat menjalani ini semua, mampu membuatmu memahami hidup dengan cara baru.”

“Tak ada gunanya. Sudah lama kuputuskan hidup hanyalah menunda kekalahan. Kau tahu sendiri bukan, di mana dirimu kini, kau hanya sebongkah daging berjalan tanpa naluri, tanpa jiwa, seperti robot yang siap sedia menjalankan perintah.”

“Ah! Jangan sok filosofis. Hidup sudah susah jangan kau tambah-tambahi dengan pembicaraan yang menyusahkan pikiran. Kau belum tahu bagaimana sulitnya mencari uang, kau belum berkeluraga. Bersikaplah realistis.”

“Tidak bisa, itu sikap hidup asal ikut arus, oportunis!”

“Oh, kenapa pembicaraan kita tadi meruncing dan menegang seperti ini. Bisa-bisa justru akan merusak persahabatan kita. Lebih baik kita bersikap yang baik-baik saja.”

“Kalau begitu lepaskan aku?”

“Itu bukan persahabatan namanya. Persahabatan bukan untuk mencelakakan sahabatnya.”

“Dan kau telah mencelakakan aku!”

“Tidak kawan. Kau datang ke sini bukan karena aku. Dan aku datang ke sini juga bukan karena kamu. Kita tidak saling mencelakakan. Kalau kau merasa dicelakai itu bukan aku yang melakukan. Dan kita bertemu di sini lalu saling bersahabat itu karena takdir dan kemauan kita mengisi kekosongan suasana yang selalu menghimpit kita di sini.”

“Kau kini yang jadi filsuf, Dario.”

“Tidak, ini kenyataan hidup.”

“Sudahlah, aku tak peduli lagi dengan kenyataan hidup.”

Aku berdiri dari dudukku, berjalan mondar-madir memandangi sekeliling ruangan sambil mengepul-ngepulkan asap rokok dari mulutku. Sebuah ruangan yang lembap, dingin tak berjendela, berdiri angkuh melingkupi kami. Sebuah ruangan serba hitam kusam bukan karena catnya tapi karena dinding yang dibiarkan lumutan tak terurus. Si tahanan kini yang merasa heran atas sikapku. Ia kini berdiri memegangi jeruji besi yang sudah karatan.

“Bukan begitu maksudku!”

“Sudahlah lupakan!”

“Tidak. Kita masih tetap berkawan bukan. Aku ingin kau menghiburku. Ceritakan tentang dunia di luar sana.”

“Dunia di luar sana sudah banyak berubah. Pemerintah telah memberi kebebasan pada penduduk.”

“Apa katamu, kebebasan sudah dibuka. Tapi bagimana dengan nasibku!?”

“Jangan tanyakan itu padaku!”

“Jadi ceritamu hanya bohong belaka!”

“Terserah tafsiranmu. Itu pendapatmu. Yang jelas memang begitu kenyataannya.”

“Ha ha ha ha! Rupanya kamu sudah tidak bisa membedakan mana niatan sesungguhnya dan mana niatan semu. Kalau semua orang sepertimu tentu lebih mudah digiring ke dalam jurang kegelapan yang lebih dalam.”

“Sudahlah, pembicaraan kita menurutku menjadi tidak menarik lagi.”

“Lebih baik kamu ikut seperti kawan-kawanmu, tunduk pada pemerintah dan mau bekerja sama menjadi mata-mata kami, kamu akan dapat banyak uang, seperti teman-temanmu yang menjadi mata-mata kami. Kamu tidak percaya bukan kalau yang membocorkan rahasia kalian adalah kawanmu sendiri. Itulah pilihan hidup. Dalam sebuah perjuangan tentu ada pengkhianatan. Dan itu pasti. Lihatlah sejarah yang sudah ada. Banyak pengkhianat yang akhirnya hidup makmur dan memiliki kedudukan terhormat.”

“Aku tidak percaya omonganmu. Tidak mungkin kawan-kawanku begitu.”

“Kamu boleh tetap bersikap teguh pada pendirianmu tapi teman-temanmu memang sudah bersikap seperti itu.”

“Aku tidak percaya! Aku tidak percaya! Dan aku tidak mau jadi budak penjajah. Aku masih punya martabat sebagai manusia yang dilahirkan di tanah ini, tanah airku, tidak seperti kamu, pengkhianat.”

“Haa! Haa! Haaa! Kamu terlalu serius menghadapi kehidupan ini.”
“Diam pengkhianat!”

Aku diam membisu melihat si tahanan begitu emosional dan amarahnya mulai meledak. Akhirnya kami sama-sama terdiam, mungkin kami menjadi sadar pembicaraan menjadi meruncing lagi.

Dari luar terdengar bunyi derit pintu dibuka, disusul derap sepatu menuruni tangga, mereka saling berbisik menuju ruang sebelah. Aku melihat kepala penjara darurat berjalan beriringan dengan seorang bertubuh tegap. Kepala penjara memanggilku dan memperkenalkan dengan orang yang barusan datang. Dan ternyata ia adalah Tuan Taro, Tuanku sendiri, orang yang memeliharaku sejak kecil. Menurut kepala penjara, Tuan Taro membawa perintah khusus yang harus segera aku laksanakan. Tuan Taro kemudian membisikkan perintah dengan dingin di telingaku. Aku tidak bisa berbuat banyak. Segera aku hampiri si tahanan. Di depan pintu jeruji aku keluarkan sebuah kunci dan membukanya.

“Ke mana?”
“Ikut saja, kawan!”

Kami berjalan perlahan. Aku buka pintu sebelah kanan, sebuah ruang bawah tanah, sebuah ruang yang lebih lembap lagi. Kami menuruni tangga perlahan. Di ruang bawah tanah tak ada sinar apa pun kecuali sinar dari arah pintu atas yang masih terbuka. Aku segera menyalakan lilin yang sudah tersedia di tengah meja. Lilin yang menyala alit memancarkan cahaya ke ruangan kusam dan penuh sarang laba-laba, di sisi kiri ada seonggok kain hitam terbujur membungkus benda memanjang seukuran manusia terbaring, di sisi kanan ada bertumpuk peti mayat tak terurus.

“Silakan duduk!”
“Ada apa ini!!”

Tubuh si tahanan segera aku ringkus, tubuhku yang besar dan kekar mendekap rontaan si tahanan. Segera aku ikat tangannya ke belakang kursi dengan kecepatan luar biasa, dan segera juga mengikat kedua kakinya. Terakhir sebelum si tahanan sempat berteriak, mulutnya telah aku plester terlebih dahulu. Kejadian ini begitu cepat dan tak disadari oleh si tahanan sehingga ia tak bisa berbuat banyak.

“Maafkan aku, kawan! Aku hanya menjalankan perintah. Dan kau tak usah bertanya dari siapa perintah datang, karena aku sendiri juga tidak tahu siapa yang sebenarnya memerintahkan semua ini. Sekali lagi maafkan, aku. Aku hanya menjalankan tugas, dan sesudah ini aku bisa bebas dari tempat terkutuk ini.”

Sebelum pergi aku cium kening si tahanan dengan khidmat, sebagai ucapan perpisahan. Segera aku meninggalkan si tahanan sendirian dalam kesunyian yang kudus. Pintu segera kututup, tinggal cahaya redup dari sebatang lilin yang hampir habis. Sedang di luar, malam terus bertambah malam, seakan kejahatan terus berkeliaran mencari mangsa. Aku ringkasi barang-barangku, aku pamit pulang. Tugasku selesai. Aku berjalan sendiri dari tengah hutan, tempat penjara itu berada. Aku mendengar lolong serigala, padahal tak ada bulan. Lamat-lamat, aku mendengar pula letusan pistol di kejauhan. Entah pistol siapa di tengah malam menyalak. Seperti ada yang tereksekusi.

Begitulah cerita puluhan tahun yang lalu, semuanya menjadi rahasia bukan karena kalian tak akan pernah tahu dan menemukan bukti kejahatan kami. Semuanya sistematis dan terencana rapi. Kalian hanya bisa menduga dengan jelas tapi tak akan bisa meraba. Kejahatan rupanya akan selalu menang tipis dan selalu berada di depan kebenaran. Tengoklah ke belakang sejarah hidup kita, bukankah noda hitam itu meski setitik menyentuh kulit kita tapi rasanya bisa bertahun-tahun. Seperti pula kita disangka dan dituduh ini itu, tapi kebenaran tetap bungkam, sedang yang tertawa-tawa mereka yang merekayasa cerita. Demikianlah ceritaku malam ini. Semoga Tuhan selalu memberi jalan pada mereka yang salah. Selamat malam.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป