TANGGAPAN TULISAN ABDUL WACHID BS
Anton Suparyanto
http://www.kr.co.id/
DERASNYA Industri penerbitan buku-buku sastra akhir-akhir ini menimbulkan satu gejala pemikiran negatif. Berhura-hura untuk menghantam pengarang melaju tanpa kritik dengan dalih kritikus sastra kita sudah mati (?) justru telah berupaya membunuh iklim keutuhan berkesusastraan secara sehat. Ini menjadi pikiran kerdil, gagap untuk menyimak wawasan bersastra dengan cara ucap atau dengan media yang baru. Inikah gejala ewuh-aya bagi pengarang (sastra), pemerhati, ataupun pengamat sastra Indonesia yang paling mutakhir?
Entahlah. Yang pasti umpan Binhad Nurrohmat yang ditelan Satmoko Budi Santosa dan Budi Darma, justru ?dicengengesi? Binhad lagi dengan tali ruwet ?siapa suruh jadi kritikus (sastra)? di Kompas Minggu bulan lalu. Argumen yang bernada main-main ini seakan menekuk sinyal baik Abdul Wachid BS yang masih melambungkan kampus sebagai basis bersastra, meskipun hanya menetaskan satu-dua sosok yang meleksastra (baca Minggu Pagi, Minggu ketiga Juni 2003). Sedangkan matinya kritik sastra (?) yang cuma disebabkan ketiadaan karya sastra yang layak menjadi bahan pembicaraan akhir-akhir ini (baca Minggu Pagi, Minggu pertama Juli 2003), justru menjadi titik balik telah terjadi era gagap sastra bagi kaum akademik.
Kritik sastra Indonesia tidak memiliki tradisi, tetapi toh kritik kita memiliki nilai keunikan. Pada mulanya kritik sastra menyebar hadir melalui rubrik koran pun majalah yang sentralistrik, Jakarta oriented. Bukankah publikasi dan penerbitan pers yang memiliki gurta industri hingga kini masih dihegemoni oleh Jakarta minded? Bukankah tahun 60-70-an hingga paruh awal 80-an kiblat kesastraan Indonesia menggumpal di pusat metropol tersebut? Nah, kalau kita kini hanya terpaku pada kejayaan ?zaman sastra metropolis? tersebut, tentulah para pelaku sastra akan terjatuh pada kubangan ?universalitas yang sempit?. Kenapa begitu?
Alasan kuno-nya, justru timbul kecenderungan-mutlak untuk sebuah pola yang dimapankan. Pemapanan yang hanya bertumpu pada universalnya gaya bangsa Barat ini, tanpa disadari akan memaksa kesastraan Indonesia harus bergaya intelektual. Untuk itulah kita tak bisa ingkar terhadap dominasi persebaran karya dan kritik sastra di kantong Budaya Jaya, Sastra, Kisah, Zaman, Horison ataupun Basis ketika masih bernyali untuk ?nyastra?. Lalu arifkah kini ketika majalah-majalah tersebut telah kehilangan nafas, justru kita menghantam dengan ?pengarang melaju tanpa kritik? sehingga dengan mudah menuduh ?kritikus sastra kita sudah mati?? Nah, kalau pelaku sastra kini hanya bisa melap-lap ?zaman keemasan? bersastra seperti tersebut di atas, tentulah bahaya dahsyat akan digerogotinya dengan istilah inertia, cuma tahu satu kemungkinan di bidangnya. Bukankah ini sebuah penyakit, parasit dalam kesusastraan?
Lalu sikap kita? Ketika era sastra di majalah telah almarhum, penyerbuan sastra kini eksis di koran-koran (baik media nasional maupun daerah). Akan tetapi, kendala besar pun terus menghadang. Publikasi kritikan sastra menjadi sempit yang mengakibatkan kritik yang sumir, dangkal, dan cenderung verbalitas literer atau kritik sastra sambil lalu. Untuk alasan inilah dibutuhkan media alternatif untuk publikasi karya kritikan sastra.
?Kegagalan? penikmat sastra terkini adalah taqlid terhadap media alternatif ini, sehingga dengan enteng menuliskan tiadanya kontinyuitas kritik-(us) sastra akhir-akhir ini.
Ada pergeseran dalam publikasi kritik sastra. Mula-mula berorientasi majalah sastra yang Jakarta sentris, kemudian diimbangi oleh koran-koran yang bertumbuh di Jakarta pula. Lalu berkat peledakan industri pers, koran pun telah menyebar terbit ke daerah-daerah. Anehnya, karena sastra tak ber-uang, ruang sastra budaya kini banyak yang dipinggirkan oleh kebijakan redaksi. Menyikapi penyempitan kapling inilah, muncul media alternatif untuk mempublikasikan kritik sastra yang begitu ilmiah dan mapan. Media ini hadir dalam wujud majalah, jurnal pun buletin yang diterbitkan oleh kalangan akademisi.
Cobalah kita arif terhadap media alternatif yang terbit berkala seperti berikut: Widya Parwa (Balai Bahasa Yogya): Humaniora (Fak. Ilmu Budaya UGM); Widya Dharma (Universitas Sanata Dharma Yogya); Diksi (Universitas Negeri Yogya); Semiotika (Universitas Sarjana Wiyata Tamansiswa Yogya); Seni (ISI Yogya); Citra Yogya (Dewan Kesenian Yogya); Haluan Sastra Budaya (Fak. Sastra UNS Solo); Kajian Bahasa dan Sastra (Univ. Muh. Surakarta); Kajian Sastra (Fak. Sastra UNDIP Semarang); Widya Pustaka (Fak. Sastra Univ. Udayana Bali); Lontara (Univ. Hasannudin Ujung Pandang); Puitika (Fak. Sastra Univ. Andalas Padang); Pengajaran Bahasa dan Sastra (Depdikbud Jakarta); Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia (Fak. Sastra UI Jakarta); pun Fenolingua dan Magistra (Univ. Widya Dharma Klaten). Sejumlah media berkala ini ternyata secara rutin eksis menawarkan kritik sastra yang cenderung ilmiah ataupun ilmiah populer. Bukankah data majalah dkk kampus ini bisa dideret di PTN pun PTS seluruh Indonesia?
Pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran kritik sastra Indonesia memang sangat lambat jika dibandingkan dengan publikasi karya sastra yang memiliki wawasan dan pandangan luas atau netral seperti almarhum HB Jassin. Tengara pokok disebabkan oleh pluralitas karya sastra yang menuntut kepekaan khusus dari para kritikus atau penelaah sastra dalam upaya pemahaman yang komprehensif, serta mampu menggali nilai utuh dari karya tersebut.
Kritikus sastra Indonesia pada umumnya merupakan deretan penulis kreatif yang serba bisa (ada yang menulis puisi, cerpen, novel, drama, skenario,…) dan sangat terpengaruh pada aliran atau mazhab sastra yang dianutnya. Akibatnya terjadi kesulitan ketika menilai suatu karya sastra yang berada di luar kerangka mazhab yang diilmuinya. Efek yang menjadi cemooh terkini yakni kritikus menjadi kurang objektif, dan cenderung menjadi subjektif belaka. Namun subjektivitas bukanlah harga mati. Subjektivitas kritikan toh tak membuat pengkaburan karya, asalkan titik berangkat subjektif ini menjadi lambaran untuk mencapai nilai penuh objektif. Contoh yang berhasil yakni: Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan (Arief Budiman), Tergantung Pada Kata (A. Teeuw), dan Sosok Pribadi dalam Sajak (Subagio Sastrowardoyo). Tapi apakah subjektivitasnya tak ditunggangi aliran yang dianutnya? Dan murni objektif? Nonsense!
Kritikus sastra senior yang hingga kini masih rajin nyastra yakni Korrie Layun Rampan. Korrie menegaskan bahwa pada pokoknya kritik sastra harus berangkat dari subjektivitas untuk meraup objektivitas. Namun penilaian yang sepenuhnya mengandalkan rasa subjektif akanlah mengurangi nilai kritik, apalagi bila kritikus telah terjebak pada monolitik aliran yang dikuasainya.
Subjektivitas untuk mencapai objektivitas dan ditopang visi, keseriusan, telaten sangat dituntut pada diri seorang kritikus, di samping menguasai perangkat teori tentunya. Sehingga tuntutan sosok kritikus terkini adalah totalitas yang multi-faset, pengalaman literer yang ultima. Ajip Rosidi, Jacob Sumardjo, pun Sapardi Djoko Damono adalah figur anutan. Tetapi jika setiap kata dimaknai secara intelektual, toh, sebuah karya sastra menjadi bangkai semata. Akibatnya?
Ajip, Jacob, Pradopo, pun Sapardi yang berusaha maksimal dalam penulisan kritik akhirnya ?menyerah?, karena profesi sebagai kritikus lebih berupa ?romantisme? yang tidak mungkin menopang kebutuhan hidup yang layak. Ini menjadi pialang, mengapa kritik sastra Indonesia tidak berkembang secara wajar. Industri makna karya sastra yang tampak hingga kini tidak jauh dari kritik sastra sambil lalu, kritik sastra menjadi sambilan kerja.
Jacob Sumardjo yang getol dengan penulisan kritik bergaya sejarah sastra, sosiologi sastra, toh, mandeg juga. Keluhan serupa muncul dari Budi Darma, bahwa sastra kita adalah sastra sambil lalu. Kebutuhan hidup sastrawan yang labil akanlah menggoyahkan proses kreasi kesastraannya. Menulis sastra dalam kondisi amatiran ini pun berimbas pada penulisan kritik, mau tidak mau, kerja amatiran juga; karena mereka pun harus menggantungkan hidup dari pekerjaan lain di luar mainstream dunia sastra. Nama-nama seperti Boen S. Oemarjati, M.S. Hutagalung, Junus Amir Hamzah yang diikuti Dami N. Toda, Umar Junus, Jiwa Atmaja, Mursal Esten, Nyoman Tusthi Eddy, Putu Arya Tirtawirya,… tidak lagi menggigit dan kreatif di bidang kritik satra.
Camkan juga nama-nama seperti Yudiono Ks., Kusman K. Mahmud, Made Sukada, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Sugihastuti, Subijantoro Atmosuwito, Harta Pinem tak lagi menunjukkan kerja intensif yang kontinyu, Barangkali sosok Afrizal Malna, Kurnia J.R., Agus R. Sarjono, ataupun Faruk H.T. dan Th. Sri Prihatmi masih punya ?gigi sastra? untuk mengupas bidang kritik sastra walau akhirnya hanya kerja sambilan semata.
Kendala utama terkini yang membelenggu para penulis kritik sastra (sambil lalu) atau kritikan bisu ala verbalitas literer adalah media publikasi yang mapan. Bagi kaum akademisi (dosen) tentunya sudah tersedia wadah kritikan, seperti media alternatif yang terpapar pada awal tulisan ini, tapi risiko yang mencolok yakni benturan honorarium. Akan tetapi, bagi penulis di luar akademisi, media massa umum (koran, khususnya) tidak mungkin memuat analisis tentang karya sastra secara mendetail dan tajam. Gejolak yang terasa menghimpit yakni karya-karya Emha Ainun Nadjib, Danarto, Kuntowijoyo, Afrizal Malna, Zawawi Imron, Mustofa Bisri, F. Rahardi, Abdul Wachid B.S., Acep Zamzam Noor, Beni Setia, Agus R. Sarjono, Ahmadun Yossie Herfanda, Dorothea Rosa Herliany, Abidah El Khalieqy, Wiji Thukul, Agus Noor, Joni Ariadinata, Indra Tranggono dan sederet penulis muda lainnya hanya disebut-sebut sebatas paparan judul-judul karya.
Mulai geliat paruh kedua 90-an sudah berjubel penerbitan karya: puisi, cerpen, novel, drama, antologi esai sastra, tetapi penanggapnya begitu miskin. Apakah ekspresi kesastraan Indonesia telah mengidap ?diskomunikasi? dengan masyarakat pembacanya? ?Kerakusan? ala Seno Gumira Ajidarma dan novelis wanita ?dongeng? ala Titis Basino PI tak mendapat perhatian serius. Mengapa belakangan ini tidak sedikit dosen sastra (Indonesia) ?bisu? bersastra? Begitukah? ***
*) Staf pengajar PBSID Universitas Widya Dharma Klaten