Marhalim Zaini *
riaupos.com
Eksposisi tubuh manusia sebagai refleksi filosofis dari ruang-ruang pergulatan estetis, terkhusus dalam dunia seni teater, telah mencuat demikian mencolok pada beberapa dekade akhir abad ke-20. Sebagaimana yang terjadi dalam lingkungan visual keseharian kita, di mana tubuh hadir dalam citraan-citraannya yang kompleks “baik dalam posisinya sebagai kebutuhan primer maupun dalam kerangka konsepsi filosofis” demikianlah pula teater telah “mencincang” tubuh menjadi racikan “daging-daging” estetis yang beragam bentuk dan warna.
Fenomena penelanjangan tubuh manusia misalnya, sebagai sebuah ungkapan perlawanan terhadap keyakinan modernisme, terutama pada logika liniernya tentang disiplin tubuh, telah menunjukkan betapa teater modern kita telah begitu mengeksplorasi sosok tubuh, baik dalam konteks tubuh fisik yang menjelajahi tema-tema sosiologis-antropologis, maupun penggalian makna tubuh dalam kerangka filosofis-teologis, dalam hubungannya dengan dunia psikis. Keyakinan terhadap tubuh manusia sebagai proyek dalam mambangun sebuah peristiwa di atas panggung teater, telah melahirkan obsesi untuk memproduksi tubuh dalam metafora-metafora artsitik yang mendobrak batas-batas.
Untuk study kasus, Biografi Yanti Setelah 12 Menit dari Teater Sae yang dipentaskan di tahun 90-an, barangkali dapat memperjelas wacana dehistorifikasi dari identitas-identitas tubuh manusia secara kultural. Penelanjangan tubuh dalam reportoar ini, secara eksplisit menghadirkan pesan atas kenisbian batasan-batasan tubuh manusia dalam atribut sosialnya.
Bahkan lebih ekstrim, identitas kelamin dihancurkan. Sehingga yang tampak adalah tubuh-tubuh polos tanpa identitas subyek yang mencari kebenaran dalam realitas kemanusiaannya sendiri-sendiri. Atau pada reportoar Konstruksi Keterasingan (sutradara Boedi S Otong, 1983), yang memperlihatkan tubuh purba manusia “ditelanjangi” oleh besi hitam teknologi. Barangkali juga, postulat “kebenaran yang telanjang” dari metafor ketelanjangan dalam dunia seni rupa orang Yunani, dapat pula dipadankan di sini.
Lalu tengoklah juga pada produk Teater Kubur semisal Sirkus Anjing (1990) dengan tubuh-tubuh manusia sakit dalam drum-drum besi yang pengap. Atau juga pada Tombol 13, di mana identifikasi tubuh manusia di atas gelanggang teater sama posisi dan derajatnya dengan benda-benda. Sosok real tubuh begitu luluh dalam dunia citraan benda-benda, seperti kursi, tong sampah, kawat listrik, besi beton, sampah-sampah dan lain sebaginya.
Pada Teater Rendra pula, terutama pada Bip Bop, Piiieeepp, Sssttt, Rambate-rate-rata, tampak lebih menegaskan tentang posisi aktor sebagai pusat dalam peristiwa teater di atas panggung, tubuh aktor bukanlah mesin kendaraan kata-kata, melainkan tubuh dikembalikan ke dalam barisan mekanistik kemanusiaannya yang na?f menuju sebuah kesadaran akan bahaya dehumanisasi yang sedang melanda masyarakat modern.
Di manakah pula ruang bagi tubuh-tubuh manusia yang dibalut perban oleh Ray Sahetapy dalam pertunjukannya berjudul Gogil = Kau + Dia – Aku di tahun 1991. Pertunjukan yang berlangsung dalam sebuah rumah ini, sengaja melepaskan makna orientasi ruang bagi tubuh-tubuh yang rusak, tubuh yang didistorsi oleh kehidupan rutin yang kian tak berbentuk. Lalu Teater Mandiri dengan penggunaan kostum yang jauh dari kriteria bentuk tubuh manusia, adalah semacam representasi bagi remuknya tubuh oleh kekerasan demi kekerasan yang terjadi di lingkaran kehidupan manusia, yang dalam bahasanya Afrizal Malna, maksimalisasi tubuh manusia yang dipompakan sedemikian rupa, menjelaskan adanya “kegoyahan personifikasi,” di mana tokoh tidak menemukan dirinya sendiri di atas panggung.
Barangkali demikianlah kecenderungan pada kebanyakan pertunjukan teater sepanjang dekade 70 -80-an, terutama 90-an. Selain Putu Wijaya dengan Aduh atau Anu-nya, kita dapat pula mencermati Arifin C Noer dalam beberapa karyanya, lalu Teater Kail, Teater Luka, dan sejumlah teater setelahnya. Sampai sekarang, kita pun menyaksikan Rahman Sabur dengan Payung Hitam-nya membawa tubuh pada kemungkinan-kemungkinan terjauh dari bentuk artistiknya. Teater Garasi pun kemudian, dengan dua reportoar dalam proses panjang pencariannya, seperti dalam Lelaki yang Demikian Mencintai Hujan dan Waktu Batu, tampak lebih mengembangkan tubuh sebagai bahasa komunikasi yang puitis. Atau pada banyak kelompok teater modern yang hidup dalam lingkungan kampus, tubuh telah demikian menjelma menjadi media yang tak habis-habisnya digali dan dimaknai.
Di Riau, hemat saya, upaya-upaya eksplorasi atas penolakan estetika maenstream utama, yang dikerjakan oleh Suharyoto Sastro Suwignyo dengan Meta Teater-nya adalah juga terkait dengan paradigma “Teater Eksperimental” itu. Tubuh, dalam nomor-nomor pergelarannya lebih hadir sebagai “sesosok” benda-benda yang kerap berkomunikasi dengan cara dan bahasanya sendiri. Pun, setahu saya, dulu Dasri Al Mubary telah juga melakukan upaya-upaya eksplorasi tubuh sejenis. Meski terasa lebih dekat rujukannya dengan gaya Rahman Sabur atau Dindon.
Sampai di sini, tampaknya tubuh pun sedang diusung dalam lingkaran paradigma Teater Eksperimental. Namun, ketika media eksperimentasi telah demikian terfokus pada konsepsi tubuh sebagai (satu-satunya) bahasa ungkap gagasan-gagasan estetik dalam koridor maenstrem Teater Eksperimental -terlepas dari keremang-remangan istilah Teater Eksperimental secara definitif- maka sesungguhnya wilayah kreativitas menjadi terbatas. Konsepsi tubuh modern yang telah demikian hancur pemahaman atasnya, hanya akan menggiring persepsi pekerja teater pada kebuntuan-kebuntuan terminologis, sehingga berdampak pada reproduksi gagasan; mengulang-ulang sesuatu yang sesungguhnya telah selesai.
Apakah benar asumsi tentang tidak ada manusia berarti tidak ada peristiwa teater? Sehingga tubuh begitu mendominasi dalam upaya penggalian estetika dalam dunia teater. Lalu bagaimana dengan realitas tubuh manusia dalam dunia citraan sibernetik. Apakah tak berkemungkinan peristiwa teater hanya menghadirkan mesin-mesin yang berderak-derak, berdengung, berdering, bahkan berbicara serupa halnya manusia. Atau Teater Eskperimental macam apakah bentuknya ketika kini kesadaran manusia tentang batas antara dunia imajiner alias simulasi artifisial dan dunia real, kian semakin mengabur?
***
*) Sastrawan dan pekerja seni. Menulis berbagai genre sastra. Kini sedang studi pada Pascasarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.