Fungsi Sosial Karya Sastra

Dr Junaidi *
riaupos.com

Realitas sosial yang kita hadapi sering tidak sesuai dengan harapan orang kebanyakan orang.
Ketidaksesuaian realitas dengan harapan cenderung menimbulkan ketidakpuasan dan rasa ketidakpuasan itu mendorong orang untuk melakukan tindakan yang bersifat kontra terhadap realitas, misalnya dengan melakukan demonstasi kepada para pemimpin, penguasa, pejabat, anggota dewan, dan manajemen perusahaan. Bahkan ada teori yang menyatakan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa cenderung menyimpang dari ketentuan yang berlaku akibat syahwat kekuasaan sering sulit untuk dikendalikan.

Kasus korupsi dan penyelewengan lainnya merupakan akibat dari kekuasaan yang terlepas dari kontrolnya. Disebabkan adanya potensi penyeleuangan itulah kekuasaan itu perlu dikontrol oleh masyarakat dengan cara menyampaikan kritikan kepada pihak penguasa. Meskipun peran kontrol terhadap kekuasaan telah diberikan kepada lembaga-lembaga tertentu yang ditetapkan melalui undang-undang, peran kontrol sosial dari masyarakat tetap harus dijalankan sebab kadang-kadang lembaga-lembaga yang ditunjuk itu juga melakukan penyimpangan. Kontrol sosial masyarakat harus terus dilakukan sebab Negara bukan hanya milik pemimpin, penguasa, pejabat, dan aparat tetapi juga miliki semua rakyat. Semua elemen bertanggung jawab terhadap nasib bangsa ini. Salah satu wujud dari rasa tanggung jawab masyarakat terhadap bangsa ini adalah menyampaikan kritikan yang konstruktif untuk membangun bangsa ini.

Fungsi Sosial Karya Sastra

Kritikan dapat disampaikan secara langsung kepada penguasa dengan berkirim surat, demonstrasi, pidato, wawancara, sms, Facebook, email, dan media lainnya. Dalam era keterbukaan sekarang ini setiap orang bebas untuk menyampaikan kritikan dan aspirasi kepada pemerintah. Sesungguhnya ada satu media lagi yang berperan penting dalam penyampaian kritik sosial, yakni karya sastra. Di Indonesia, sejak zaman Belanda, Jepang, Revolusi, Orde Baru, dan Reformsi selalu saja ada karya sastra yang diarahkan untuk mengkritik pemerintahan yang berkuasa. Di Riau pun, juga banyak karya sastra yang berisikan kritikan terhadap dominasi Pemerintah Pusat dan para penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat. Karya sastra dijadikan salah satu media alternatif untuk menyampaikan “pemberontakan” terhadap realitas kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Jika karya sastra digunakan sebagai media untuk menyampaikan kritik terhadap realitas sosial yang tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat, maka karya sastra sesungguhnya memiliki fungsi sosial. Fungsi sosial karya sastra diwujudkan dengan cara memberikan respons terhadap fungsi-fungsi kekuasan yang dilakukan oleh para pemimpin. Respons yang diberikan karya sastra dalam bentuk kritik sosial yang diarahkan kepada pemimpin yang tidak bersungguh-bersungguh dalam membela kepentingan rakyat. Pesan-pesan yang disampaikan melalui karya sastra memberikan peringatan kepada orang-orang yang telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Fungsi sosial karya sastra ini diharapkan dapat memberikan penyadaran kepada manusia untuk melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi kepentingan orang banyak.

Mengkritik dengan Indah

Sastra itu seni dan seni itu indah. Dengan demikian sastra itu selalu dihubungan dengan kreativitas yang berkaitan dengan keindahan. Meskipun sastra identik dengan keindahan, dunia sastra tidak hanya berbicara tentang keindahan, makna hidup, cinta, dan kasih sayang. Banyak karya sastra berisi tentang gagasan-gagasan perlawanan yang ditujukan kepada para pemimpin, pemerintah, dan realitas sosial yang dipandang tidak sesuai dengan harapan dan kepentingan masyarakat. Ini bermakna bahwa di dalam keindahan karya sastra ada kekuatan yang dapat digunakan untuk menyampaikan penolakan, kritikan dan pemberontakan. Penolakan tidak harus disampaikan dengan brutal, anarkis, dan kasar.

Tetapi penolakan juga bisa disampaikan dengan bahasa yang santun, indah, dan perlambangan. Kekuatan yang dipancarkan karya sastra dalam menyampaikan kritikan seperti “mencubit tapi tidak sakit”. Kekuatan “cupitan” karya sastra tidak menyakitkan tetapi dapat meresap ke dalam diri manusia sehingga pelan-pelan ia dapat menyadarkan manusia. Kekuatan karya sastra bermain dalam alam spiritual atau jiwa manusia sehingga pesan yang sampaikannya akan lebih mengarah kepada hati nurani manusia. Bila ini terjadi, kritikan yang disampaikan melalui karya sastra akan menyadarkan manusia.

Salah satu ciri karya sastra adalah penggunaan bahasa perlambangan. Bahasa perlampangan digunakan untuk menyampaikan sebuah pesan dengan menggunakan ungkapan lain. Bahasa perlambahan bersifat tidak langsung sehingga harus dimaknai pula secara konotatif dengan merenungkan secara mendalam makna kata yang digunakan dalam karya sastra. Bahasa perlambangan yang terdapat dalam karya sastra efektif digunakan untuk menyampaikan kritikan kepada penguasa sebab bahasa perlambangan mengandung makna yang lebih mendalam dari pada bahasa sehari-hari. Kedalaman makna bahasa perlambangan membuat pesan yang disampaikan lebih masuk ke dalam jiwa orang yang dikritik.

Sastra dan Ekpresi Kebebasan

Karya sastra terlahir dari suatu proses penciptaan yang dilakukan manusia. Karya sastra itu hasil kreativitas manusia dan tentu saja bukan ciptaan alam apalagi Tuhan. Kalau kitap suci jelas ciptaan Tuhan tetapi karya sastra hasil perenungan dan pemikiran manusia. Sastra itu sendiri merupakan ekspresi dari dalam diri manusia sehingga sastra itu cenderung bersifat bebas. Dalam dunia sastra orang mempunyai hak untuk menyampaikan sesuatu. Tidak perlu ada persetujuan orang lain untuk menyampaikan ekspresi melalui sastra. Orang boleh mengungkapkan apapun dalam sastra. Anggapan yang menyatakan bahwa bahwa karya sastra sebagai fiksi semakin memperkuat keberadaan sastra sebagai karya imajinatif. Dengan kemampuan imajinatinya, penulis sastra menyampaikan gagasannya secara bebas tanpa harus merujuk dengan realitas. Dengan demikian, tingkat kebenaran sastra itu bersifat artifisial. Kebenaran sastra tidak harus sesuai dengan fakta. Kebenaran sastra adalah kebenaran yang dibuat dan direkaya sedemikian rupa agar karya sastra itu tampak lebih menarik. Meskipun kebenaran yang terdapat dalam karya sastra dibuat-buat, karya sastra tetap mempunyai kekuatan dalam memberikan kesadaran terhadap realitas sosial sesungguhnya yang dihadapi manusia.

Karya sastra ditulis bukan untuk menyampaikan fakta atau menguangkap realitas sebenarnya. Tetapi fakta atau realitas bisa menjadi bahan atau gagasan untuk proses penciptaan karya sastra. Bahan dasar karya sastra tetap segala sesuatu yang terdapat di jagad raya ini. Bahan dasar inilah yang kemudian diolah manusia dengan potensi kreativitas yang dimiliknya.

Kegiatan kreativitas sastra sering dikaitkan dengan kebebasan. Perhatiankanlah penampilan seorang sastrawan. Seorang sastrawan cenderung mempunyai karakter yang khas dan ia biasanya tidak terlalu peduli dengan pandangan orang terhadap penampilannya. Kekhasan karakter yang dimiliki seorang sastrawan merupakan wujud dari konsep kebebasan berekspresi yang dimilikinya. Konsep kebebasan berekspresi ini pula yang menyebabkan karya sastra mengandung gagasan-gagasan bebas yang tidak terikat. Sifat bebas ini pula yang mendorong penulis karya sastra untuk mengyampaikan kritik sosial. Dalam kehidupan nyata kita sering tidak bebas untuk menyampaikan kritik terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Kita harus hati-hati mengkritik presiden, pemimpin dan pemerintah sebab bisa-bisa kita ditangkap polisii karena dianggap menyebarkan fitnah dan melawan pemerintah. Tetapi bila kritik disampaikan dengan karya sastra, kemungkinan kita akan lebih aman sebab karya sastra dianggap bersifat fiksi, imajinatif, dan dibuat-buat. Beruntunglah kita bila karya sastra dianggap seperti itu sebab akan lebih memudahkan sastrawan untuk menyampaikan kritik sosial yang lebih tajam.

Bila saluran resmi untuk menyampaikan pendapat, kritikan, dan gagasan telah ditutup maka karya sastra menjadi media alternatif untuk menyambaikan itu. Bila berpikir logis tidak lagi dihargai, maka karya sastra menjadi media alternatif yang bersifat intuitif dan imajinatif dalam menyampaikan kebenaran dalam kehidupan manusia. Bila para penguasa tidak peduli lagi dengan kritikan yang disampaikan secara langsung, maka karya sastra menjadi media alternatif untuk menyampaikan kritik secara perlambangan. Dan bila mereka juga tidak peduli dengan sindiran dan kritikan dengan bahasa perlambangan, berarti hati mereka telah buta. Meskipun hati mereka buta, karya sastra menjalankan fungsi sosialnya dengan menyampaikan kritik terhadap kondisi yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
***

*) Dr Junaidi adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak dan Dosen S-2 Ilmu Komunikasi UMRI. Telah menulis tiga buku telaah sastra dan budaya. Tinggal di Pekanbaru.

Leave a Reply

Bahasa ยป