Hebaaat… Kerajaan Malaysia Menghargai Sasterawan

Berthy B Rahawarin
umum.kompasiana.com

“Hebaaat” luar biasa Kerajaan Diraja Malaysia memperlakukan para Sasterawannya!? Suara yang umum ada dalam diri sasterawan Indonesia ketika membandingkan perlakuan dan kehidupan Sastera di Indonesia dengan Malaysia. Oleh sejumlah sastrewan Indonesia, timbul ungkapan pilu, “Memandang sesasama sasterawan di Kerajaan Malaysia bagaikan, anak tiri sedang iri memperhatikan anak tetangganya dimanja!”

Ini bukan keluhan satu dua tahun kemarin. Dalam beberapa dekade terakhir, kesusasteraan Indonesia telah menjadi benda antik yang terbiar dalam rumah museum Indonesia. Agus R. Sarjono, misalnya, mengakui, bahwa sebenarnya setiap masa ditandai oleh kondisi sosial politik yang berpengaruh terhadap penciptaan karya sastra. Dikataknya, “Masa yang pertama disebutnya Orde Baru I, tentang kecenderungan sastra pada awal Orde Baru ini, sesungguhnya, tak berbeda dengan ahli sastra yang lain; Teeuw dan Keith Foulcher, misalnya. Pada masa itu, dinamika dan partisipasi politik masyarakat demikian tinggi. Pers yang selama Orde Lama dibungkam, diizinkan kembali terbit. Dunia kesenian pun mempunyai ruang dengan dibangunnya Taman Ismail Marzuki dan Dewan Kesenian Jakarta. Dan, pada saat itulah lahir banyak sastrawan unggul.”

Tapi, pendidikan sastera di sekolah dan sikap negara terhadap sasterawan menyempurnakan kemelaratan hidup sastera di Indonesia. Terbatasnya jumlah dan kemampuan kritikus, ketersediaan media bagi pemuatan kritik adalah masalah yang lain. Dan situasi kritik sastra ini diperparah oleh sikap sastrawan yang mendua terhadap kritik sastra. Pada satu sisi sastrawan tampak membutuhkan kritik sastra, namun di sisi lain pandangan mereka terhadap kritik sastra sangatlah sinis.

Malaysia dan kehidupan sastera dan perlakuan atasnya, mestinya tanpa malu-malu kita akui dengan lapang dada. Kisah Suratman Markasan warga Singapura hanya salah satu contoh. Pria keturunan Jawa dari kedua pihak orang-tuanya, pensiunan (1985) pejabat Kemeterian Pelajaran itu tahun 1958 lebih dulu menggondol penghargaan berkat novelnya “Tak Ada Jalan Keluar”. Atau, sastrawan Prof. Dr. Mohammad bin Haji Salleh sebagai Sasterawan Negara. Sungguh di Malaysia, pemerintahnya begitu menghargai sastranya. Ada hadiah Sasterawan Negara yang hadiahnya membuat ngiler dan sekaligus menempatkan sastrawan negara pada posisi terhormat sembari tetap memberi peluang bagi sang sastrawan untuk tetap bersikap kritis terhadap pemerintah. Demikian juga di Thailand yang secara rutin memberikan hadian Sea Write Award dari Ratu Sirikit.

Lima Sastrawan Negara di Malaysia lain yang mendahului Prof. DR. Haji Salleh adalah Kris Mas, Usman Awang, Prof. Shahnon Ahmad dan penyair A Samad Said. Bahkan, ada seorang pria keturunan Bugis bernama Arenawati. Kepada mereka Kerajaan Malaysia menganugerahkan Ringgit Malaysia 30 ribu. Itu belasan hingga hampir dua puluh tahun lalu. Jika karya baru dari para sasterawan itu dicetak 100 ribu eksemplar, 10 ribu eksemplar diantaranya dibayar tunai oleh Kerajaan, serta sejumlah keistimewaan lain. Padahal, tidak jarang karya sastera mereka mengkritik langsung kebijakan pemerintahan.

Padahal, menurut sasterawan Malaysia sendiri, mereka dulu bangkit dan bergerak karena dibakar oleh api revolusi Bangsa dan Sastra Indonesia Mutakhir. Kemudian hari, Suratman mengatakan kepada Satyagraha Hoerip: “Indonesia kan menjadi bangsa teladan bagi kami di Semenanjung. Ingat, Azas 50 di Malaysia dalam Sastera Mutakhir pun, dibakar api semangatnya Angkatan 45. Ya, Chairil Anwar sekelompoknya!”

Sastrawan Inggris, M.H. Abrams, dalam bukunya The Miror and The Lamb: Romantik Theory and The Critical Tradition, sastra mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Kalau boleh dikatakan, sastera adalah catatan harian seluruh kegiatan masyarakat individu maupun kolektif yang berinteraksi dan bertransaksi di pelbagai bidang kehidupannya.

Sayang, kalau kita tidak menyadari, bahwa bahkan Malaysia mengklaim belajar jiwa revolusi dan Sastera dari para pendahulu kita, semisal Chairil Anwar. Itu asli. Sayang, di Indonesia, bukan hanya Malaysia menjadi musuh. Tepatnya dibangun sebagai musuh bersama. Buku-buku pun dibawa ke tempat pemanggangan. Lalu, otak dibawa ke mana? Akal sehat senantiasa senasib dengan sastra.
***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *