Jalan Bareng Hamsad Rangkuti

Pipiet Senja

Hamsad Rangkuti, siapa yang tak mengenalnya? Cerpen-cerpennya dimuat dalam berbagai harian dan majalah, terbitan dalam dan luar negeri. Bahkan beberapa di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman, antara lain dimuat dalam New Voice in Southeast Asia Solidarity (1991), Manoa, Pasific Journal of International Writing, University of Hawaii Presss (1991, Beyond The Horison, Short Stories from Contemporary Indonesia, Monash Asia Institute, Jurnal Rima, Review of Indonesia and Malaysia Affairs, University Sydney. Vol. 25, 1991. Cerpen-cerpennya juga termuat dalam beberapa antologi cerita pendek mutakhir, antara lain Cerpen-cerpen Indonesia Mutakhir, editor Suratman Markasam, 1991.

Di kalangan sastrawan sosok ini dikenal eksentrik. Ia menikahkan putranya dengan mengundang Menteri Kehutanan RI. Sebagai penghormatan atas hadirnya Menhut, secara pribadi merupakan temannya, ia memberikan emas kawin 500 batang pohon jati unggulan kepada mantunya yang langsung ditanam.

Ini gebrakan Hamsad yang kedua. Saat mantu anaknya yang pertama, ia menyewa Kereta Api Listrik Bogor-Jakarta yang biasa dinaikinya, sebagai tempat akad nikah dan resepsi pernikahan putrinya. Tiga kumpulan cerpennya Lukisan Perkawinan dan Cemara (1982) serta Sampah Bulan Desember di tahun 2000, masing-masing diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Grafiti Pers, dan Kompas. Salah satu cerpennya difilmkan oleh mahasiswa IKJ, ia ikut main.

Sebagaimana cerita-cerita yang ditulisnya dalam cerpen yang realis, unik dan kocak dengan mengeksploitasi kehidupan rakyat kecil, demikianlah dalam kehidupan sehari-hari. Dia merupakan sosok seniman Medan yang santun.

Ia pernah bercerita ketika kulit kepalanya melepuh lantaran tersiram air panas. Menjelang pulang malam, dan istrinya memanaskan air untuknya buat mandi.

“Saat itu Abang lagi mikirin bagian akhir cerpen yang lagi abang tulis. Eh, lupa mencampur air panas di ember dengan di kulah. Langsung siram saja ke kepala!”

Ramah, bersuara lembut dan rendah hati, Bang Hamsad akrab dengan kemiskinan dan penderitaan. Di Sumatra Utara, ia dibesarkan sebagai pedagang buah yang hidup di pasar. Menulis cerpen baginya seperti berbohong. Apa yang ditulis sering merupakan khayalannya, mimpinya dan kebohongannya. Hamsad lalu menunjuk proses penciptaaan salah satu contoh cerpen yang menghebohkan: Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.

Tak lulus SMA, tapi pernah menjadi Pemimpin Redaksi majalah Horizon yang disegani penulis se-Tanah Air, Bang Hamsad memiliki keinginan yang sederhana di hari tuanya. Saat memperoleh uang tunai sebesar Rp 70 juta sebagai peraih Anugerah Sastra Khatulistiwa 2003, dia ingin membeli angkot untuk anak-anaknya yang sudah dewasa tapi masih menganggur.

Ayah empat anak tersebut menyadari bahwa saat ini mencari pekerjaan tidaklah mudah. Oleh karena itu ia memilih membeli kendaraan angkot sebagai modal kerja anak-anaknya untuk bisa lebih mandiri. Keinginan ayah 4 anak, kelahiran 7 Mei 1943 ini tak muluk-muluk. Ia mengolah keadaannya dengan kreatif. Dan Hamsad Rangkuti berhasil! (Sumber; Radar Depok)

Suatu petang pada bulan Juli yang cerah, aku dan Bang Hamsad jalan bareng menuju Palembang. Sejak dua hari sebelumnya ia sudah menanyaiku tentang tiketnya. Panitia telah mengurus semuanya, mereka kirim kurir untuk mengantar tiket kami ke rumahku. Mereka pun telah mentransfer ke rekeningku untuk ongkos taksi ke bandara.

Dinihari kuterima lagi pesan singkat bahwa Bang Hamsad akan menunggu di rumahnya di Depok Baru. Jadwalnya di PDS HB. Jassin siang itu sudah dipending, digantikan oleh seorang rekannya; menerima rombongan penikmat sastra dari daerah.

Sebuah rumah mungil di kompleks perumahan tampak sepi. Istri Bang Hamsad belum lama dioperasi, ada tumor ganas di payudaranya. Saat itu ia sedang berada di rumah anaknya di Jakarta.

Aku punya kesempatan untuk turun dari taksi, melihat-lihat suasana di dalam. Beberapa lukisan karya pelukis terkenal “made in” Indonesia, sahabat-sahabat tuan rumah, tampak terpajang dengan megahnya di ruang tamu. Lukisan sosok Hamsad Rangkuti, terkesan sangat sederhana dan nyentrik. Sebuah lukisan kuno yang mengingatkanku akan lukisan Chairil Anwar.

Adakah seniman selalu identik dengan kebersahajaan, kemiskinan, kenyentrikan yang tak masuk akal untuk ukuran manusia normal? Demikian sempat terlintas di benakku. Sejujurnya, kerap aku merasa bukanlah sebagian dari golongan seniman. Tak ada pula pengakuan secara jelas bahwa diriku adalah seorang seniman.

Kemudian kutahu bahwa seorang Hamsad Rangkuti tidaklah sama dengan Chairil Anwar, Gerson Poyk, WS. Rendra, dan seniman hebat serta eksentrik yang pernah dimiliki bangsa ini. Hamsad Rangkuti memiliki imaji liarnya sendiri dan mengusung nilai-nilai Islami.

Tentu saja aku merasa mendapat kehormatan bisa jalan bareng sastrawan sekaliber dia. Bahkan mendampinginya sebagai pembicara dalam suatu forum sastra. Kugali sebanyak mungkin kisah-kisah, pengalaman hidupnya sebagai seorang sastrawan. Ternyata banyak juga kisahnya yang menurutku menginspirasi, mulai dari yang memprihatinkan, membahagiakan, mengharukan hingga menyebalkan dan menggelikan.

“Coba ditulis, Bang, lalu diterbitkan. Sungguh kisah inspirasi yang sarat pembelajaran, sangat berguna untuk generasi muda kita,” usulanku ditanggapi dengan kekehannya yang khas.

Kupikir, ia bukan tidak mau menerbitkan memoarnya, mungkin lebih suka ada yang menuliskan untuknya. Itulah yang membedakannya dengan diriku yang telah menulis beberapa catatan hidupku dengan jari-jemariku sendiri.

Pernah dalam suatu forum yang dihadiri para sastrawan senior, beberapa dari mereka menyudutkanku, menyebutku sebagai; tukang nulis narcis!

Tidak, bantahku, niatan awalku hanya untuk berbagi kisah yang sayang sekali jika dibuang begitu saja di benakku. Aku selalu berharap kisah-kisah yang pernah kulakoni (dibukukan) dapat memberi pembelajaran, dan berbuah hikmah untuk pembaca.

Kalau tidak menulis hendak bagaimanakah lagi caraku mencari nafkah? Keahlian lain, bahkan ijazah SMA pun aku tak punya.

Di pesawat, seketika aku baru menyadari bahwa inilah penerbangan pertamaku setelah diopname cukup lama, melalui begitu banyak situasi yang menyakitkan, diambil darah tiap saat, ditransfusi dan diinfus secara terus-menerus. Itulah perawatan terlama, setelah melahirkan Butet, yang menggoyahku secara fisik, emosi dan psikhis.

Saat terkapar begitu, aku sempat berpikir, mungin sejak ini aku takkan pernah mampu jalan-jalan lagi, keliling Tanah Air yang kucintai dengan segenap hati. Jika Allah berkenan, sungguh tiada yang mampu mengelak, ternyata masih diberi-Nya hamba yang lemah ini waktu dan kesempatan untuk berkarya, menyebar virus menulis.

“Alhamdulillah, ya Robb. Hamba masih diberi kesempatan jalan-jalan jauh begini,” gumamku membatin, tanpa terasa mataku membasah.

Aku tak pernah mengira, beberapa bulan kemudian, ternyata Allah masih memberiku pula saat-saat yang lebih menguras emosi, enerji bahkan keimanan. Sungguh tak pernah kusangka dan terbayangkan!

Kami dijemput di Bandara Sultan Mahmod 2, Rabu, pukul 19.30. Pesawatnya delay sampai 90 menit. Panitia langsung menggiring kami ke sebuah restoran untuk santap malam. Kenyang makan dengan menu khas Palembang, sop ikan patin, ikan beluga yang asam-asam segar, kami kemudian diajak jalan-jalan, melihat panorama jembatan Ampera di waktu malam.

Suasananya romantis sekali dengan lampu-lampu yang berkelap-kelip. Mengingatkanku akan tepi sungai Nil di Kairo. Di sini juga ada perahu hias yang dimanfaatkan untuk rumah makan atau kafe. Hanya saja sungai Musi tidak sepanjang dan seluas sungai Nil. Di sini pun tak ada gedung-gedung pencakar langit yang megah serta terang-benderang.

“Ini sumber inspirasi para seniman, ya, Bang?” decakku langsung mengagumi nuansa alam yang terkesan eksotis.

Tampak para pedagang menjajakan jualannya yang diterangi lampu-lampu kecil. Tampak pula beberapa pasangan lelaki-perempuan, entah suami-istri atau baru pacaran di antara keremangan.

“Kalau Abang, mau buat puisi itu diendapkan dululah,” kilah Hamsad Rangkuti, ketika dimintai seorang panitia untuk membuat puisi.

“Ada yang kurang nih, apa coba?” kataku.

“Kurang penerangan memang,” sahut Erhamna mengakui.

Malangnya, kameraku tidak bagus, demikian pula ponselku. Jadi, aku tak bisa jeprat-jepret, mengabadikan jembatan Ampera di waktu malam.

“Semoga masih ada lain kali, ya,” ujarku berharap yang disambut panitia dengan hangat.

Ternyata penerangan yang serba apa adanya itu bukan hanya di kawasan jembatan Ampera, melainkan hampir di seluruh kota empek-empek ini. Bahkan ketika kami melintasi kediaman Gubernur, keremangan itu sama sekali tidak pilih kasih. Kami tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana bentuk kediaman orang nomer satu di Palembang itu.

Panitia mengantar kami ke rumah pribadi Hajjah Asmawati, Kepala Sekolah. Ia sedang menginap di rumah dinas suaminya. Sebuah kediaman yang indah dan nyaman di antara beberapa rumah yang dihuni oleh ibu serta saudara-saudaranya.

Bahna lelahnya aku segera tertidur lelap hingga terdengar azan subuh. Setelah membersihkan diri terasa segar kembali, dan siap untuk apapun. Hehe.

“Walaaah!” seruku dalam hati begitu sampai di tempat acara. Temanya kok besar amat, apa tak salah nih?

Seminar Nasional Menulis Kreatif!

Kulihat panitia sibuk menyiapkan segalanya, termasuk Fauziah dan Erhamna, keduanya selalu mengawal kami sejak tiba di bumi Palembang. Seorang perempuan sebaya menghampiriku saat kubuka laptop, menyiapkan presentasi.

“Ini loh, Teteh, kakakku yang rumahnya dikau inapi semalam,” kata Fauziah.

“Oh, iya? Bu Kepala Sekolah SMAN 3, ya,” sambutku, kutinggalkan laptop dan menyalaminya.

Beberapa jenak kami bercakap-cakap ringan. Ia menyatakan sangat bangga dan bahagia, karena seorang penulis ngetop berkenan menginap di rumahnya.

“Aduh, Ibu, jangan bilang begitulah. Seharusnya saya yang merasa sangat bahagia, sekaligus terharu. Acara besar begini baru kali inilah saya hadiri di Palembang.”

Terus-terang, risih dan malu hati jika kudengar sanjungan berlebihan.

Kuperhatikan sejenak suasana gedung aula di SMKN I itu. Ini kerja sama dengan SMAN 3, sponsornya ada Indosat dan Penerbit Yudhistira. Pesertanya lebih dari 200, terdiri dari siswa dan guru. Pukul 08.00 pun peserta sudah memenuhi aula. Acara yang serius nian, kurasa.

Pembicara pertama seorang Profesor dari Universitas Sriwijaya. Namanya dengan huruf gede-gede terpajang di backdrop, Pofesor Chuzaimah. Ia sudah sepuh, tapi kecantikannya masih kentara dengan jari jemari lentik dan kuku-kuku terpelihara.

Pembicara kedua; Dra.Sastri Yunizarti Bakry asal Sumbar (tidak hadir karena kongres PMI di Solo). Padahal bukunya Kekuatan Cinta yang sedianya akan dipromosikan dan dibedah. Ia meneleponku, menyatakan penyesalan tak bisa hadir.

Pembicara ketiga, ya, diriku ini yang ijazah SMA pun tidak punya, nginggris belepotan pula. Pembicara keempat abangku senior, sastrawan mumpuni; Hamsad Rangkuti. Sesungguhnya aku merasa tak enak juga, malu hatilah, seharusnya ia pembicara pertama. Hamsad Rangkuti namanya bukan saja sudah nasional melainkan mendunia. Banyak karyanya yang mendapat penghargaan bertaraf internasional. Mungkin panitia tidak mengetahuinya, atau memang sengaja ingin menonjolkan pembicara daerah, entahlah.

“Pssst, Bang, jangan dimakan salaknya. Bagaimana nanti kalau sakit perut?” ujarku kepada Hamsad Rangkuti yang iseng menyomot salak di antara jeruk dan lengkeng yang terhidang di hadapan kami.

“Sudah disajikan, ya, dicicipilah, Dek,” sahutnya kalem dengan gayanya yang khas, nyeniman bangeeettt!

Di meja makan rumah Bu Kepsek kami hanya saling berdiam melihat roti tawar kupas dan selai nanas. Kurasa kami sejenis orang yang, agak bagaimana begitu, ya, dengan sarapan macam itu. Maklumlah, biasa nasi atau bubur ayam, lontong, ops-dari beras-beras juga. Hehe.

Dalam perjalanan di mobilnya Erhamna, Hamsad Rangkuti sempat diledeki oleh Fauziah.

“Maaf, ya, apa Abang nih sudah sisiran dulu? Nanti kita akan jumpa dengan para pejabat Palembang loh, Bang?”

Aku hampir tersedak mendengar gurauannya, tetapi Hamsad Rangkuti tampaknya santai saja menyahut, “Kalau di depan kaca di kamar mandi, umpamanya, cukup kubasahi tanganku, lalu kuusapkan ke rambutku.”

Fauziah mengejarnya dengan kalimat, “Sungguh, tak pake sisir lagi, Bang?”

Hamsad Rangkuti hanya terkekeh kecil. Aku tersenyum maklum. Penampilan si Abang satu ini memang sangat bersahaja, khas seorang seniman sejati. Sungguh jauh dari jas dan pantalon necis yang biasa dipakai oleh para pejabat.

Namun, bukankah kita jangan hanya melihat penampilan luarnya? Lihatlah, segudang karyanya yang mengagumkan. Karya-karyanya itulah yang telah menerbangkannya ke pelosok mancanegara, mendudukkannya di kalangan para petinggi negeri dan dunia. Dikenal, dihargai dan dikagumi oleh masyarakat sastra internasional.

Acara diawali dengan sajian lagu-lagu oleh Nadjib dkk. Nadjib guru olah raga SMAN 3, suaranya bagus, gayanya tak kalah dengan penyanyi profesional. Lagu Palembang di Waktu Malam, Neng Geulis, Ibu-nya Iwan Fals, menggema serta menghangatkan sekitarnya.

Ada laporan panitia kemudian sambutan Bu Hajjah Asma, disusul Kepala Dinas yang berujung diresmikannya acara ini; tok, tok, tooook!

Profesor Chuzaimah bicara tentang kreatif menulis, agaknya sudah terbiasa dengan bahasa presentasi ilmiah di depan mahasiswa civitas akademi. Sebagaimana galibnya seorang profesor, tata bahasanya apik, kadang diselingi bahasa Inggris. Maklumlah, S3-nya saja di Amerika. Intinya menekankan bagaimana pentingnya menulis kreatif dalam bahasa Inggris.

Kucermati suasana aula yang luas itu dan tertib. Tidak, kurasa ini malah terlalu tertib dan senyap, nyaris tak ada (tak berani?) bisik-bisik sekalipun. Belakangan baru kutahu bahwa peserta para guru, duduk di deretan bangku paling depan, kebanyakan adalah murid sang Profesor. Pantaslah!

Tiba giliranku langsung masuk dengan “teror virus menulis”, diselipkan kiat-kiat menjadi penulis hebat, sekilas kisah inspirasi dan banyolan khas diriku. Maka, pecahlah suasananya menjadi gelak tawa. Banyak bapak dan ibu guru kulihat tertawa geli, anak-anak SMA pun mengakak waktu mendengar istilah-istilah gaul yang kucomot dari candaanku dengan putriku.

Plong!
Padahal, hatiku sempat kebat-kebit disandingkan dengan Profesor. Sampai diam-diam ku-SMS Butet dan dibalasnya; Beuh, ngapain pake grogi, ngomong aja kayak Mama biasanya. Ocreh, Mom: Semangaaat!

Hamsad Rangkuti, ternyata nian memaparkan materinya, meskipun tanpa laptop dan LCD. Melainkan langsung buka-buka dari buku kumpulan cerpen karyanya yang mendapat award dari Bangkok.

“Ini akan saya bacakan nukilan cerpen; Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu.”

Suasana mendadak heboh dan semarak!

Pada sesi dialog interaktif, terlihat sekali para peserta sangat antusias. Mereka banyak bertanya seputar kepenulisan kreatif. Ada dua peserta yang memanfaatkan gilirannya untuk curhatan, bahkan membacakan puisinya. Seorang peserta mengaku ngefans berat Pipiet Senja, mempersembahkan sebuah puisi yang ditulisnya saat itu. Tersanjung sekaligus terharu.

“Sukses, ya Uni,” ujarku kepada Ibu Kepsek saat dimintai komentar usai acara. “Semua buku yang kami bawa laris manis, terima kasih, ya Uni.”

“Kami yang harus berterima kasih sama Teteh dan Bang Hamsad. Ini acara paling menarik yang pernah kami gelar di kota Palembang.”

Kami diajak makan siang di restoran khas Palembang. Sajian wisata kuliner yang hanya kulihat di televisi, siang itu sungguh tersaji di hadapanku. Kami makan lahap dan nikmat sekali. Kembali kucicipi pindang beluga, pindang patin yang segar, nikmatnya!

Terhibur sudah perutku, ini sarapan sekaligus makan siang. Tak terpikirkan bahwa hal seperti ini bisa menimbulkan penyakit baru, bahkan memperparah kondisi perutku; lambung, limpa, kandung empedu dan lain-lainnya itu.

“Ini terlalu singkat waktunya. Kalau latihan 2-3 hari, sekaligus praktek langsung menulis kreatif, tentu lebih efektif dan akan segera tampak hasilnya,” berkata Erhamna.

“Teteh dan Abang, masih maukah datang ke sini nanti kalau ada acara lagi?” tanya rekannya, Fauziah.

Aku melirik Bang Hamsad, kulihat anggukannya, maka aku pun menyertai kesiapannya itu dengan kalimat: “Insya Allah, Dek.”

Petang itu aku kembali ke Jakarta, sementara Bang Hamsad masih akan beberapa hari lagi berada di Palembang. Lagi-lagi pesawatnya delay (aneh, tak pernah minta maaf!) 1,5 jam, ditambah Damri jurusan Pasar Minggu lama sekali datangnya, sehingga aku baru sampai di rumah sekitar pukul sebelas malam.

Dinihari aku terbangun dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Dadaku sesak sekali, perut serasa diaduk-aduk, panas, sakit, mual. Muntah-muntah hebat sampai lima hari lamanya!

Setelah berobat ke Dokter spesialis di HGA, rumah sakit swasta dekat rumah, aku baru bisa muncul di kantor.

“Dek, mungkin Teteh akan minta cuti sakit,” kataku kepada Rosi dan Pur.

“Kenapa, Teh, sakit lagi, ya?” tanya keduanya, menatap wajahku dengan cemas.

“Iya nih, Dek. Hancur-hancuran rasanya badanku ini,” keluhku untuk pertama kalinya, kemudian kusalami keduanya dan pamitan pulang.

Kedatanganku ke kantor waktu itu memang hanya untuk berbagi oleh-oleh Palembang, empek-empek dan kerupuk, sekalian pamitan untuk diopname kembali.

***

Leave a Reply

Bahasa ยป