Karena Aku Perempuan

I Komang Widana Putra
http://www.balipost.co.id/

Lukman Ali. Begitu sipir-sipir penjara menyebutnya. Mengepalai lembaga permasyarakatan ini hampir dua puluh tahun. Wajahnya sangat persegi dihiasai bola mata gelap dan terpancar teduh. Lain seperti bawahannya, sipir-sipir penjara, yang punya tatapan mata siap menguliti.

LUKMAN Ali, bapak keduaku setelah setahun lamanya kebebasanku dibelenggu di penjara ini. Setiap malam dia mengontrol Blok D, penjara yang kutempati bersama sepuluh perempuan pembunuh mengikuti dakwaan hakim lainnya.

Begitu pula malam di pengujung Maret. Dari kejauhan telingaku sudah mengenal langkah sepatunya yang berat di lantai. Aku pura-pura memejamkan mata ketika senternya mengenai tubuhku yang berbaring di atas sehelai tikar. ”Sri,” kudengar dia memanggil.

Aku membuka mata kiri yang tak tertutupi selimut kumal.

”Sri,” ulangnya lebih keras melihat tubuhku belum bereaksi.

Aku menggeliat. Cahaya senternya mengenai mataku.

”Matikan senternya, Pak,” pintaku. Kusebut dia panggilan itu karena memang seumuran bapakku. ”Mata saya silau”.

Lukman Ali menurut. Beranjak malas aku mendekatinya.

”Ada berita dari anak saya, Pak?” tanyaku penuh harap.

Dalam kegelapan kurasakan kepala lelaki setengah abad itu menggeleng. Aku menghela nafas. Kecewa. Bagaimana tidak. Hampir satu bulan terakhir ini, aku belum mendapat kabar tentang Gilang, putra semata wayangku. Kabar terakhir yang diberi Lukman Ali hanyalah ini: Gilang sudah masuk SD. Dia kelihatan gagah dengan pakaian seragamnya. Itu saja. Tidak lebih.

Saat ini aku bersedia melakukan apapun bila Lukman Ali memberi kabar terbaru tentang Gilang. Biarpun kabar itu hanyalah tentang kaus kaki anakku yang hilang sebelah. Aku merindukan putraku, sangat merindukannya. Inikah perasaan cinta perempuan yang sesungguhnya, melebihi cinta kepada lelaki yang telah mengawininya? Aku membatin. ”Tinggalkan saya, Pak. Saya ingin tidur,” kataku berbalik. Aku merapikan selimut sebelum menggunakannya. Lukman Ali memanggilku dengan suara pelan, ”Sri” Dia menyalakan senternya kembali. Mengarahkannya ke mataku. ”Sri…. Sri…,” berulang dia menyebut nama kecilku.

Takut penghuni penjara lainnya terbangun olehnya, akupun mengalah. Kuseret kakiku mendekati terali besi. ”Ada apa lagi, Pak?” kekesalan mulai bercokol di hatiku.

Tangan Lukman Ali merogoh sesuatu di kantung celananya. Cahaya senter mengarah pada sebungkus rokok. ”Buatmu,” dia mengangsurkannya ke tanganku.

”Kenapa Bapak begitu baik pada saya?” desahku mencari maksud pemberian itu di keteduhan bola matanya. Lukman Ali nampak tersenyum. ”Bapak mengetahui,” dia berkata sungguh-sungguh, ”Kau tidak ada hubungannya dengan kematian suamimu.”

Aku memperhatikan tulang wajahnya. ”Jangan pernah mengatakan itu lagi, Pak,” kataku getir, ”terasa menyakitkan bagi saya.”

Lelaki tak berkumis itu mengelus wajahku. ”Nak, kadang hidup yang kita jalani penuh dengan kejutan-kejutan yang tidak dapat kita sangka sebelumnya.”

Aku menurunkan tangan Lukman Ali dari wajahku. Malu rasanya bila seorang lelaki lain menyentuh wajahku selain Ismail, suamiku. Kematian Ismail malam itu membayang kembali di pelupuk mata. Bagaimana Minah, istri pertama suamiku, menusukkan pisau berkali-kali dengan buas ke hulu hati Ismail yang tengah berbaring pulas di tempat tidur bersamaku.

Aku menjerit hebat. Dan Minah langsung membungkam mulutku.

”Tak ada di antara kita yang dapat memiliki Ismail,” dia berkata serak. ”Dan kau yang akan bertanggung jawab atas semua ini, perempuan buruk!” Minah terkekeh sambil menggenggamkan pisau itu ke tanganku.

Minah lantas berlari keluar. Suaranya melengking-lengking minta tolong. Tetangga berdatangan. Ada yang menjerit, menyumpah serapah setelah melihat apa yang terjadi. Entah berapa lelaki yang menyeretku. Perempuan-perempuan desa dan anak-anak mereka mengataiku, ”Pembunuh! Pembunuh!”
Aku terduduk lemas saat hakim memvonisku. Aku menangis terisak. Bukan, bukan karena vonis delapan belas tahun di penjara. Tetapi atas ketidakmampuanku membela diri sendiri.

”Lupakan kenangan pahit itu, Nak,” kata Lukman Ali penuh kebapakan, menyadarkanku.

Tanganku menghapus airmata yang baru turun setitik. ”Tinggalkan saya, Pak. Saya ingin tidur,” kataku parau. Lukman Ali mengangkat bahu. ”Kalau begitu maumu, apa boleh buat. Tidurlah.” Diapun berbalik. Langkah beratnya kurasakan sebagai penambah beban bagi pembelengguanku di penjara ini. Aku membaringkan tubuh di atas sehelai tikar. Mataku mengerjap-ngerjap. Rokok pemberian Lukman Ali kutaruh di bawah bantal.

”Dibesuk lagi oleh kekasihmu, Sri?” cemooh Lestari dari seberang sel. Aku berpura-pura tak mendengar.

”Bukan kekasih, Tari,” timpal Savitri, teman sekamar Lestari, ”Melainkan istri simpanan.” Keduanya lantas tertawa. Sangat menyakitkan hati. Aku beranjak bangun. Kemudian mendekati sel mereka.

”Diam kau perempuan-perempuan busuk!” aku berteriak, geram. Suaraku memantul-mantul ke dinding penjara. Meramaikan kesunyian malam.

Lestari dan Minah saling pandang. ”Kita disebutnya perempuan-perempuan busuk, he?” Lestari menahan tawa sumbang. ”Kau sendiri lebih busuk daripada kami!” tukas Savitri sengit.

”Kau perempuan laknat!”

Lestari menjambak rambutku dengan tangannya yang berhasil menyusup ke terali-terali besi.

”Sekali lagi kau mengatakan seperti itu,” ancam Lestari garang, ”kau akan merasakan betapa menderitanya makan dengan selang infus!”

Penghuni penjara Blok D ini terbangun mendengar sumpah serapahku dan Lestari. Mereka bersorak-sorak, menyemangati. Savitri memukul-mukul pundakku. Aku membalas dengan tendangan membabi buta. Savitri terlempar karena tendanganku berhasil mendarat mulus di perutnya. Diapun mengaduh kesakitan membuat Lestari melepaskan rambutku.

”Brengsek! Kau akan menerima pembalasanku!” ancamnya sambil membenahi rambutnya yang acak-acakan. Di tanganku tergenggam beberapa helai rambutnya. Mata Lestari nyalang kepadaku. Aku mencibirinya. Diapun berbalik mendekati Savitri.

”Aku tak takut menghadapi perempuan busuk!” teriakku menggetar-getarkan terali besi.

Bunyi sepatu sipir penjara membuat Blok D hening. Penghuninya kemudian membenamkan diri ke dalam selimut. Dua buah lampu di lorong penjara dihidupkan. Berkekuatan tidak seberapa watt ternyata cukup mampu menerangi Blok D yang memiliki empat belas sel saling berhadapan.

”Ada apa ribut-ribut?” tanya sipir itu pada Lestari yang wajahnya samar-samar memucat.

”Savitri, Bu,” dia menjawab gemetar, ”banyak sekali mengeluarkan darah.”

Sipir perempuan itu buru-buru membuka sel Lestari. ”Gusti, banyak sekali!” pekiknya tertahan.
Savitri kudengar mengerang.

”Apa yang terjadi, Tari?”

”Entahlah, Bu,” kata Lestari kalut. ”Cepat tolong Savitri, Bu.”

Sipir itu berusaha menenangkan Savitri. ”Kita bawa dia ke Bu Titi. Biar beliau yang mengobati,” putusannya. ”Kau bisa berjalan, Savitri?” sipir itu bertanya lagi.

Savitri menganggukkan kepala dengan lemas. ”Tari tolong aku,” dia mengucap dengan susah payah. ”Papah aku berjalan. Tubuhku… oh sakit sekali,” erangnya hampir menangis.

Kedua orang itupun memapah Savitri keluar dari sel.

”Apa yang kalian lihat?” bentak sipir itu kepada penghuni penjara lainnya yang memandang Savitri dari terali besi. ”Tidur semua!” bentak sipir itu kepada penghuni penjara lainnya yang memandang Savitri dari terali besi. ”Tidur semua!” teriak sipir itu galak.

Buru-buru mereka merebahkan badan kembali di atas tikar. Lampu dimatikan. Hanya sebuah yang dibiarkan menyala. Kedengaran bunyi berdebum keras, tanda pintu Blok D ditutup. Keheningan kembali menyelimuti penjara.

”Kau benar-benar hebat, Sri,” puji seorang penghuni di depan selku, terkagum-kagum.

”Sudah seharusnya Savitri mendapat ganjaran darimu, Sri,” Suci menimpali, ”dia sering menyiksamu.”

Aku diam. Mulutku tiada berkomentar sedikitpun. Kutarik selimut hingga menutupi leher. Bisikan-bisikan dari bibir para penghuni sel tentang apa yang menimpa diri Savitri mulai mengusik kepekatan malam.

”Tidak mungkin apa yang kau bilang terjadi di penjara perempuan ini,” kudengar tersamar.
”Menurutku…,” yang lain berusaha menanggapi.

”Bukan itu. Kukira Savitri…,” dan masih banyak lagi prasangka-prasangka yang dilontarkan penghuni sel. Aku tahu pasti kejadian apa yang menimpa musuh bebuyutanku sekarang, setelah melihat sekilas darah yang begitu banyak menggenangi lantai, tempat dia mengerang. Tetapi hatiku ragu. Siapa yang melakukannya, mengingat penjara ini hanya ditempati oleh sebelas kaumku.

Ingat pelakuan Savitri yang tak mengenakkan kepadaku selama di penjara ini, diriku menjadi tak peduli. Biarpun setan yang melakukannya, aku senang. Karena sudah dapat membalas setimpal sakit hatiku pada perempuan jahat itu! Aku tersenyum dalam kegelapan.

***

Dini hari, gerendel pintu Blok D dibuka. Kedua mataku yang baru saja terjaga oleh suara itu, menyipit kembali. Ketika semua lampu di blok ini dinyalakan. Langkah-langkah sepatu yang berat menyusuri lorong-lorong diiringi percakapan yang terdengar kabur. Pintu sel di sebelahku ditutup.

”Tolong jaga Savitri, Bu,” perkataan Lestari sangat pelan namun masih bisa kutangkap. ”Jangan khawatirkan itu, Tari,” sipir penjara menjawab.

Keduanya lantas terdiam, lama sekali. Aku memasang telinga baik-baik untuk mencuri dengar pembicaraan mereka. ”Siapa yang melakukan perbuatan itu pada Savitri, Tari?” sipir bertanya dengan suara mendesah kering.

Hembusan nafas berat Lestari bisa kurasakan. Hening mencekam. Kukira semua telinga di penjara ini menegang untuk mendengar jawaban maut teman Savitri itu. Semua menunggu ”nama tersangka” yang akan meluncurkan dari bibir Lestari. Sepi, Lestari tetap membungkam. Tidak mau membuka kartu. Langkah berat sipir yang mengantar Lestari mulai kedengaran. Kemudian lenyap bersamaan dengan matinya lampu-lampu di lorong.

Gelap sekali. Lestari menarik selimut. Mata dan telingaku tetap terjaga sampai jam lembaga berdentang enam kali. Tiga orang sipir perempuan melangkah masuk. Sipir-sipir berbadan gempal itu membuka pintu sel yang berpenghuni. ”Semuanya keluar! Lakukan kegiatan seperti biasa!” teriakan-teriakan nyaring mereka membangunkan suasana pagi di penjara.

Dengan malas kami melangkah keluar. Ada yang menggerutu sebab merasa waktu tidurnya selalu berkurang satu jam setiap harinya. Namun tidak ada yang mau menanggapi. Lestari menajamkan mata ke arahku. Aku membalas sambil berkata tak acuh, ”Aku tidak takut.”

Lestari menggeram. Dia hendak memukul tetapi cepat aku menghindar. ”Apa-apaan kau, Tari?” seorang sipir membentaknya.

Mata musuh bebuyutanku menusuk ke arahku. Aku mencibirinya. Sampai di depan kamar mandi untuk membasuh muka, seorang sipir penjara bernama Lisa mendekatiku.

”Sri,” Lisa menarikku ke dalam. Kemudian menutup pintu kamar mandi dengan rapat. ”Apa-apaan kau ini?” tanyaku kaget sekali. Lisa menaruh telunjuk di depan bibirnya. Aku memandangnya heran.

”Kau tahu apa akibat tendanganmu yang kemarin pada Savitri?”
Aku menggeleng dengan wajah bodoh.

”Sevitri kehilangan anaknya gara-gara kau!’ jawab Lisa tertahan. Wajahnya yang bundar menyiratkan kegeraman seakan dia sendiri yang baru kehilangan anak.

”Oh,” aku berpura-pura terkejut. Sudah kuduga! Batinku. ”Lantas kau hendak menyalahkanku atas kejadian itu?” tanyaku agak sedikit jengkel.

Belum pernah Lisa menatapku setajam ini. ”Berhati-hatilah, Sri. Mungkin Lestari akan membalas dendam,” dia memperingatkan serius kemudian membuka pintu kamar mandi.

”Uh, aku tidak takut,” kataku ketus setelah Lisa menghilang. Akupun membasuh muka untuk menyegarkan mataku yang tidak tidur semalaman.

Ketika makan pagi, desa-desus akan kehamilan Savitri kian mengudara. Semua penghuni sel mempercakapkannya. Tak kalah menarik dengan obrolan tentang si ganteng Paimin, tukang sayur yang saban pagi menjajakan sayur (termasuk wajahnya) di depan lembaga. Paimim cukup sering menjadi ”menu utama” makan pagi seluruh penghuni sel.

”Nit, beberapa waktu lalu kau melihat Savitri meminum obat di kamar mandi, kan?” Suci dari seberang meja bertanya hati-hati.

”Obat sakit kepala,” kata Nita cepat-cepat.

Kami lantas terdiam. Setelah lama hening, Murti lantas mengutarakan pertanyaan yang paling sulit dengan ragu-ragu, ”Apakah menurut kalian sebaiknya kita pergi menanyai Savitri tentang semua ini?”
Sebuah pertanyaan yang bagus, kataku dalam hati.

”Akan menjadi kunjungan yang menyenangkan,” tanggap Suci dingin. ”Halo, Savitri. Katakan pada kami siapa yang telah menghamilimu.”

Aku memasukkan sesendok nasi ke mulut. Kemudian kupandangi kursi Lestari yang kosong. ”Kenapa dia?” tanyaku pada Nita.

”Mungkin menunggui Savitri,” sahut Nita tak acuh. Dia menuangkan sayurnya ke piringku. ”Kurang garam,” dia berkata muram.

”Sri, kira-kira siapa yang menghamili Savitri?” Marini yang ada di sebelahku menanyakan itu dengan suara hampir tak terdengar. ”Mengingat penghuni penjara ini semuanya perempuan. Kecuali….” Dia berhenti karena seluruh mata mengarah padanya.

Akupun mengerti. Pikiranku menerawang. Lukman Ali? Lelaki bermata teduh itu menghamili Savitri? Tidak mungkin! Aku membantah keras. Dia begitu baik dan sangat perhatian pada tahanan. Tetapi siapa lagi yang melakukannya, karena ia sendiri yang berjenis kelamin lelaki di lembaga ini!

”Kau melamun, Sri?” tanya Nita menyadarkanku.

Aku menoleh padanya, ”Tidak mungkin Lukman Ali,” desahku tak percaya.

Mata Nita seolah mengatakan hal yang sama. ”Aku sependapat denganmu,” dia berguman sambil melap bibir dengan lengan bajunya.

Aku termenung. Benarkah? Aku membisik dalam hati.

Lisa berjalan menghampiri mejaku. ”Sri, kepala lembaga memanggilmu,” kata Lisa.

Aku bertukar pandang dengan Nita. ”Pagi-pagi begini?” desahku. Kurasakan semua mata menatapku. ”Membicarakan apa?” tanyaku lagi.

Lisa mengangkat bahu. ”Temui saja dia bila kau ingin tahu,” katanya lantas berbalik. Nita menepuk pundakku. ”Pasti tentang kejadian kemarin malam,” ucapnya.

”Jangan takut, Sri,” Susi menenangkan diriku yang sebenarnya tidak khawatir. ”Kami semua melihat apa yang terjadi. Mereka yang memulainya.”

Akupun menggeser kursi. Dengan langkah tak menentu kususuri koridor-koridor panjang yang menuju kantor kepala lembaga. Seorang sipir penjara membuang muka saat aku berpapasan dengannya.

”Semua orang mempercayai hal yang belum tentu benar,” batinku agak sakit hati.

Tanpa mengetuk aku membuka pintu ruang yang bertuliskan ”Kepala” di atasnya. Lukman Ali tampak mencoret-coret sesuatu di balik meja. Dia belum menyadari kehadiranku.

”Selamat pagi, Pak,” sapaku ramah. ”Ada hal yang ingin Bapak bicarakan dengan saya?”

Lukman Ali menghentikan pekerjaannya. Wajahnya yang semula muram mendadak begitu cerah setelah mengetahui kehadiranku. ”Duduklah, Sri.”

Akupun menarik kursi. Lukman Ali menarik nafas berulang kali sebelum mengawali pembicaraan. ”Ini tentang kehamilan Savitri,” dia memulai dengan suara seakan ditelan.

”Saya tak bertanggung jawab atas kejadian itu, Pak,” sahutku langsung membela diri. ”Dia dan Lestari yang memulai.” ”Bukan itu, Sri. Bukan kejadian itu,” sergahnya cepat.

”Lalu?” mataku menatap mata Lukman Ali lurus-lurus.

”Bapak…. bapak sangat berterima kasih kepadamu,” Lukman Ali terbata-bata. Nampak sulit sekali dia mengucapkan kalimat ini.

”Aku memandangnya tak mengerti. ”Apakah maksud Bapak?”

Lelaki setengah abad itu berusaha menenangkan diri. Dia menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya nampak tua. Kerutan halusnya kian kelihatan.

”Aku berterima kasih, Sri, atas kejadian itu,” jelas Lukman Ali dengan senyum mulai membayang.

”Kau menyelamatkan pekerjaanku.”

Deg! Jantungku berdegup kencang. Aku mengetahui maksud perkataannya. Sudah jelas bagiku sekarang, tetapi tak kusangka.

”Benar Bapak yang melakukannya?” desahku kering, tak percaya.

Anggukan perlahan Lukman Ali membuat tengkukku memerah. ”Kenapa Bapak melakukan perbuatan tercela itu?” tanyaku bergetar, masih tidak bisa percaya.

Roman muka Lukman Ali sedikitpun tak mencerminkan rasa bersalah. ”Diriku seorang lelaki normal, Sri. Aku…..”

Perkataannya bagai tamparan keras buatku. Saraf-sarafku meregang. Darahku terasa dipompa untuk mendidih. ”Jadi karena Bapak seorang laki-laki normal lantas begitu bebasnya menghamili perempuan?” teriakku sengit. Lukman Ali kaget sekali. ”Kenapa kau marah, Sri?” dia setengah mendongkol.

”Laki-laki biadab!” makiku melempar surat kabar yang ada di meja ke wajahnya.

Lukman Ali erkejut setengah mati menerima perlakuanku. ”Kenapa kau marah seperti ini, Sri?” dia berusaha tenang. ”Seharusnya kau senang akan semua ini. Bukankah kau membenci Savitri?”

Aku menggeleng keras. ”Aku tidak pernah merasa senang di atas penderitaan orang lain, Pak! Apalagi orang itu kaumku sendiri.”

Perutku serasa mual setelah mengetahui kebusukan laki-laki seperti Lukman Ali. Cepat-cepat aku melangkah ke pintu sebelum tanganku bertindak lebih jauh lagi.

”Sri, kau harus mendengar kata-kataku!” dia berteriak saat aku meraih gagang pintu. ”Seorang perempuan dilahirkan hanya untuk melayani kaumku!”

Hatiku makin disulut oleh perkataannya. Akupun berbalik dengan jari saling mencengkeram erat. Kemarahanku benar-benar memuncak sekarang. ”Bisa dibayangkan bagaimana dunia ini bila semua kaum Bapak berpikiran seperti itu!” tukasku nyalang. ”Takkah Bapak pikirkan karena perempuan jugalah Bapak dilahirkan?” tanganku kuusahakan tak bergerak agar tidak mencekik lehernya.
Lukman Ali membuang pandang acuh.

”Ingatlah ibumu sebelum mengatakan semua itu laki-laki busuk!” tanpa menyadari aku melempar gelas ke kepalanya. Dia tak menghindar. Lukman Ali rebah ke lantai. Mengerang perlahan. Darah segar mengucur dari batok kepalanya. Menggenangi lantai.

Aku terhenyak ketika Savitri membelai lembut wajahku. Dia menjengukku ke sel sebelum aku menduduki kursi pesakitan untuk kedua kalinya, besok.

”Kenapa kau lakukan semua itu, Sri?” tanya Savitri getir.

Aku menatap mata Savitri yang bening berkaca-kaca. Mata dan hati kami berdua rasanya betul-betul kosong. Aku tak mampu mengucapkan apa-apa. Kami saling memandang dengan perasaan hampa.

Permusuhan kami telah dilenyapkan oleh kepahitan takdir Tuhan yang sama.

”Karena aku terlahir sebagai perempuan sepertimu, Savitri. Mudah sekali luka. Dan luka itu, dapatkah kita menjahitnya dengan tangan kita sendiri, Savitri?”

Savitri menggigit bibir. Perlahan kepalanya menggeleng.

Amlapura, 1 Maret 2004

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *