Kocap Kacarita Laksmi…

Wayan Sunarta *
jawapos.co.id

Laksmi Shitaresmi adalah perempuan Jawa tulen. Baik dari pemikirannya, tata bicara, maupun perilaku kesehariannya. Dia lahir, tumbuh, dan besar di lingkungan kebudayaan Jawa yang kental di Jogjakarta. Sebagaimana perempuan Jawa, pikiran dan perasaannya sangat cermat, tidak tergesa-gesa, dan cepat peka terhadap lingkungan sekitarnya. Kehidupan dijalaninya dengan penuh rasa syukur.

Filosofi Jawa begitu melekat di benaknya, antara lain, sepi ing pamrih (menghindari ambisi muluk-muluk) atau eling lan waspada (selalu mengingat kemampuan diri dan selalu waspada terhadap segala hal). Namun, dia tak henti-henti mengembangkan perasaan (jiwa) dan wawasan (pikiran) demi mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya.

Perupa kelahiran 9 Mei 1974 itu sangat akrab dengan ikon-ikon atau simbol-simbol dari khazanah kebudayaan Jawa. Semua diserapnya dari pertunjukan wayang, teater tradisional, tutur lisan, cerita rakyat, serat, gending, maupun pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Dia juga mengakrabi dunia spiritual Jawa yang tecermin dari karya-karyanya.

Ikon dan simbol dari khazanah kebudayaan Jawa pula yang banyak menginspirasi Laksmi dalam menciptakan karya-karya seni, yang berkelindan dengan filosofi dan pandangannya dalam menyikapi perjalanan hidup. Itu bisa dirasakan dan disimak pada pameran tunggalnya yang bertajuk Kocap Kacarita… di Nadi Gallery, Jakarta, 3-16 Agustus 2010.

Alumnus ISI Jogjakarta itu menampilkan sembilan lukisan dan 17 karya trimatra terbarunya, baik patung maupun instalasi. Bahan yang dipakai pun beragam. Di antaranya, kayu jati, fiber, akrilik, lampu elektronik, mesin elektrik, logam aluminium, perak, lapisan emas, dan tembaga. Karya-karya terbarunya semakin menunjukkan kematangannya sebagai perupa. Dia mengolah imajinasi secara optimal sehingga melahirkan karya-karya memukau, perpaduan aroma kontemporer dan aura mistis dari dunia dongeng. Hal tersebut bisa disimak dalam karya-karya yang berwujud hewan berkepala manusia, gajah berkaki manusia, manusia berkepala tikus, kalajengking berkepala manusia, manusia berambut sulur-sulur tanaman rambat, dan sebagainya.

Karya-karya Laksmi memang terkesan mengerikan, seakan makhuk-makhluk aneh itu lahir dari alam gaib. Namun, kalau dicermati lebih jauh, setiap karyanya memeram cerita tersendiri. Mengandung kiasan, ironi, sindiran, kritik, atau pelampiasan unek-unek ketika berhadapan dengan lingkungan sosial yang kolot dan tak ramah. Hal itu, misalnya, bisa disimak pada karya Khafilah Menggonggong, Aku pun Berlalu.

Karya trimatra berbahan aluminium, perak, dan lapisan emas itu berwujud makhluk berbadan anjing dan bersayap, namun bertangan dan berkepala manusia (model kepala Laksmi sendiri). Karya tersebut lahir dari kegundahan Laksmi akan gunjingan orang-orang di sekitar tempat tinggalnya. Sebagai perupa yang sukses, kehidupan keluarga Laksmi cukup mapan secara ekonomi. Namun, kemapanan itu malah memunculkan gunjingan yang menyiksa perasaan selama beberapa tahun meski dia berusaha menutup kuping dan bersikap cuek. Keluarganya pernah dicurigai memelihara tuyul atau pesugihan. Selain itu, karena berprofesi perupa, dia dianggap ”abnormal”. Diperparah lagi dengan karya-karyanya yang ”mengerikan” bagi banyak mata orang yang awam seni.

Untuk menghibur-hibur diri, Laksmi dengan nakal memarodikan pepatah ”Anjing Menggonggong, Khafilah Berlalu” menjadi ”Khafilah Menggonggong, Aku pun Berlalu” yang lantas dipakainya sebagai judul karya. Dalam karya itu, dia mengibaratkan dirinya sebagai anjing yang berusaha cuek meski terus ”digonggongin” orang-orang yang tidak senang kepadanya. Karya tersebut merupakan perlawanan kreatif Laksmi dan tentu saja sebagai terapi untuk luka batinnya.

Pada banyak karyanya, Laksmi sengaja menampilkan sosok dirinya sebagai model, baik sebatas kepala maupun telanjang total. Namun, karya-karyanya tidak berbau pornografi, tidak bertujuan membangkitkan libido kaum lelaki. Hanya ungkapan ekspresi seni dengan muatan-muatan filosofi tertentu. Bagi dia, ketelanjangan adalah simbol dari kepolosan dan kejujurannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Di dalam kepolosan atau kejujuran itu, dia merasa menemukan energi luar biasa yang memberinya semangat, baik saat menjalani kehidupan sehari-hari maupun saat menciptakan karya seni.

Hal itu, misalnya, jelas terlihat pada karya Laksmi’s Tapa Yoga, yang dibuatnya dari paduan fiber, kayu, akrilik, dan lampu elektronik. Karya tersebut menampilkan sosok dirinya yang telanjang sedang meditasi di atas bunga teratai. Di samping kiri dan kanannya ada citraan ikan koi dan kuas. Gumpalan-gumpalan rambutnya membentuk sulur-sulur tanaman rambat yang berjumlah sebelas, angka mistis dalam hitungan Jawa yang melambangkan sifat welas asih (rasa kasih) terhadap Tuhan, alam semesta, dan semua ciptaan-Nya. Ujung setiap sulur itu membentuk tangan yang masing-masing memegang simbol-simbol tertentu, seperti kendi, keris, jam beker, neraca, anak panah bermata cakra, dan bunga teratai. Sulur yang di tengah saling berkelindan dan melingkari sosok Buddha yang hening dalam meditasi. Semua simbol yang terdedah di karya itu merupakan percik-percik sinar pikiran Laksmi berkaitan dengan kehidupan spiritual dan duniawinya. Sedangkan pancaran cahaya putih melambangkan aura atau energi yang muncul saat mencapai puncak proses meditasi.

Laksmi sebagai sosok telanjang juga bisa dinikmati pada karyanya yang berupa 37 patung fiber yang ditata sedemikian rupa di rak kayu, berjudul Aku, Aku, Aku, Beginilah Aku. Patung-patung mungil berwarna putih itu melambangkan kepolosan dan kemurnian. Beberapa patung itu berwujud perempuan yang sedang hamil besar. Melalui karya tersebut, Laksmi ingin menampilkan diri apa adanya. Penuh kepolosan dan kemurnian. Sebab, sebagai manusia, dia menyadari ketidaksempurnaan dirinya yang masih diliputi dosa. Menurut Laksmi, jumlah patung itu melambangkan kejujuran yang terus bertumbuh dan berkembang seiring waktu. Semacam doa dan harapan, setidaknya untuk diri sendiri.

Pada banyak karyanya, Laksmi selalu ingin jujur kepada diri sendiri. Sebab, menurut keyakinannya, jujur kepada diri sendiri merupakan langkah awal untuk kejujuran yang lebih luas, baik kepada Tuhan, alam semesta, maupun sesama manusia. Jujur atas segala apa yang dilakukan dan dikerjakannya demi menunaikan tugas dan tanggung jawab sebagai manusia. Seperti tersirat pada karya Pohon Hayat Kami, yang menggambarkan figur lelaki dan perempuan telanjang yang dipersatukan oleh buah dari sebatang pohon. Karya itu merupakan terjemahan bebas dari kisah Adam dan Hawa yang terpaksa menghuni bumi karena memakan buah larangan (khuldi). Namun, demi keberlangsungan kehidupan di bumi pula, manusia semestinya terus berupaya menjaga, merawat, serta menumbuhkan rasa kasih sayang, ketulusan, dan kejujuran.
***

*) Penyair dan pengulas seni rupa, menetap di Bali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *