Binhad Nurrohmat
http://www.kr.co.id/
BILA DISENSUS, penembus rekor tertinggi jumlah penulis sastra kita selama ini adalah penyair. Makhluk ini sangat populer, “sakral”, sarat legenda serta mitos dalam dunia penulisan sastra kita selama ini, dibandingkan makhluk lain bernama novelis maupun kritikus. Dua penulis sastra yang terakhir ini jumlahnya minim, bisa dikata hanya sehitungan jari tangan kita. Penyair juga dianggap representasi paling umum kesusastraan kita serta juru bicara kebudayaan kita.
Hampir setiap kota provinsi di Indonesia memiliki penyair yang dianggap sebagai wakil dari basis geografis-administratifnya masing-masing. Bahkan ada predikat personal-geografis yang dilekatkan pada identitas seorang penyair didasarkan pada tempat domisilinya, misal Afrizal Malna Penyair Jakarta, Acep Zamzam Noor Penyair Bandung, Amien Wangsitalaja Penyair Yogyakarta, Warih Wisatsana Penyair Bali, Isbedy Stiawan ZS Penyair Lampung dan masih banyak lagi.
Selain itu, saking banyaknya jumlah serta interaksi yang kuat antar penyair, mereka mendirikan komunitas atau forum di daerahnya masing-masing, yang sebagian besar anggota dan ketua serta pendirinya adalah penyair juga. Di Bandung ada Forum Sastra Bandung (FSB), di Jakarta ada Komunitas Utan Kayu (KUK) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI), di Bali ada Sanggar Minum Kopi (SMK). Menurut sebuah penelitian, ada lebih dari 50 komunitas di sekitar Jabotabek. Kecenderungan mengelompok seperti ini tak ditemukan pada kelompok penulis sastra yang lain.
Ada sejumlah asumsi mengenai kecenderungan itu. Pertama, untuk menciptakan komunikasi kreatif yang lebih intens melalui acara atau agenda pertemuan. Kedua, manifestasi ketakpercayaan atau ketakmampuan untuk ‘sendirian’ mengolah potensi kreatif, sehingga membutuhkan kelompok atau komunitas untuk mengukuhkan eksistensi. Maka ada gejala seolah komunitas-komunitas itu menjelma sebagai ‘blok-blok’ kelompok sastrawan tertentu yang menunjukkan adanya upaya saling bersaing satu dengan yang lain dan memiliki ‘massa fanatik’ masing-masing.
Fenomena kepenyairan kita belum juga surut, setidaknya dari segi jumlah personal dan produksi teks puisi. Hampir setiap penyair kita pernah mempublikasikan/mengirimkan puisi ke media massa (yang memiliki rubrik puisi) dan memiliki antologi puisi tunggal maupun kolektif dalam bentuk manuskrip maupun buku. Juga sudah lama ada media yang mengkhususkan diri memuat puisi seperti Jurnal Puisi. Situs-situs sastra kita seperti Cybersastra.net dan Bumimanusia.or.id juga lebih banyak diserbu puisi. Penghargaan sastra Anugerah Sastra Chairil Anwar, Lontar Award, Khatulistiwa Literary Award, Rancage (dan masih banyak lagi) maupun penghargaan sastra dari mancanegara seperti SEA Write Awards (Thailand), Hadiah A Teeuw (Belanda), maupun Hadiah Yayasan Wertheim (Belanda) lebih banyak yang disabet penyair ketimbang kelompok penulis sastra yang lain. Gambaran-gambaran demikian barangkali yang telah ikut memberikan sebuah pembesaran citra kepenyairan kita tampak kuat, mapan dan legitimated dalam dunia penulisan sastra kita sampai detik ini.
Massa Penyair
NAMUN pembesaran citra itu tak selalu persis dengan kondisi obyektif kualitas mayoritas kepenyairan kita. Ada semacam pars prototo dalam dunia kepenyairan kita saat ini. Prestasi kepenyairan yang diraih oleh hanya minoritas penyair, seakan telah membuat mayoritas penyair juga terangkat citranya, tersanjung. Kemudian dari sikap gede rasa ini muncul nuansa semangat massa yang luar biasa besarnya, kadang dihiasi histeria dan terciptalah semacam “massa penyair” –istilah yang semoga saya pakai sementara saja. Massa ini berada di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Bali dan Lampung, Tangerang dan daerah-daerah lainnya dan sekarang masih aktif bekerja memproduksi teks puisi yang melimpah jumlahnya.
Rekor jumlah penyair kita mungkin sebuah ‘prestasi’ tersendiri secara sosiologis dan fenomena menarik di mata para pengkaji cultural studies. Tapi prestasi jumlah itu tampaknya sangat jelas tak seimbang dengan jumlah upaya eksplorasi yang lebih jauh. Sebagaimana karakter massa, puisi penyair kita saat ini cenderung seragam tema dan pengucapannya. Penyair kita seperti bekerja dalam sebuah rumah berdinding cermin, sehingga yang berada di dalamnya satu sama lain saling berpantulan bayangannya, melakukan pesta besar interteks.
Penyair kita saat ini lebih banyak mempertebal garis capaian-capaian lama yang sudah digaritkan para pendahulunya ketimbang melakukan eksplorasi inovatif dan hanya berputar-putar dalam labirin capaian-capaian lama itu dan tak kunjung mampu menembus batas garis atau menemukan lorong keluar dari dinding-dinding labirin usang yang mengurungnya itu. Barangkali tuduhan demikian ini sudah klise, berulang-ulang. Tapi justru itu menjadi sebuah petunjuk bahwa kepenyairan kita memang belum berubah dan tak beranjak dari titik-titik itu juga.
Dari kondisi demikian, sampai-sampai ada ungkapan pesimis-retoris dari lingkungan penyair muda seperti Jamal D Rahman, “Jika para penyair terdahulu telah hampir menghabiskan eksplorasi dalam pengucapan, apalagi yang bisa tersisa untuk kami?”. Pesimisme ini sebuah representasi wajar dari dalam lingkungan penyair kita yang sadar diri dan sekaligus gelisah dengan kemacetan mobilitas estetik dalam perpuisian kita saat ini. Pesimisme ini dengan sangat menggebu dan panjang lebar dinilai esais Nirwan Dewanto sebagai adanya perasaan dibebani oleh sejarah sastra nasional. Menurut esais ini, ada yang patut dipertimbangkan dari ungkapan ini, antara lain, bahwa dia (Jamal D Rahman-pen) sedang menyempitkan dunia dan menutup mata pada sumber dari segala zaman yang sebenarnya bisa dia pilih secara merdeka, tetapi ternyata tidak pada ‘para penyair terdahulu’ (…) sehingga dia tak pernah siap menjelajahi kemungkinan yang begitu kaya dalam khazanah puisi yang sesungguhnya (…) ibarat sebuah bidang lukisan sudah terisi barik dan jejak para pendahulu, sehingga baginya hanya tersisa sebuah pojok kosong yang kecil saja, di mana ia hanya bisa melanjutkan bentuk-bentuk yang sudah (terlanjur) ada.
Saya kira dalam konteks ini Jamal D Rahman dengan ungkapan pesimistik itu hanya ingin jujur memberikan sebuah representasi obyektif kondisi kepenyairan kita saat ini. Dan tanggapan kritis Nirwan Dewanto itu suatu upaya terobosan untuk memberikan solusi yang kemungkinan bisa menjawab dan memecahkan pesimisme penyair Jamal D Rahman itu. Representasi jujur-obyektif Jamal D Rahman tentang kepenyairan kita dan dialektika-kritis sebagaimana yang ditawarkan Nirwan Dewanto, adalah contoh persentuhan dua pendapat yang aktif dan produktif. Tanpa harus berpolemik panjang berbusa-busa sebagaimana tradisi polemik kita selama ini tentang dunia sastra kita yang cenderung tanpa hasil cuatan solusi atau dialektika yang signifikan dan hanya menjadi tumpukan wacana yang beku, tak fungsional, nihil. Dua pendapat itu merupakan wujud keprihatinan mendalam terhadap dinamika kepenyairan kita saat ini. Banyakkah makhluk sejenis ini yang masih mau meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menyumbangkan pemikirannya bagi perkembangan puisi kita?
Adanya sinisme, olok-olok intelektual ataupun sekadar anekdot yang nyata-nyata ditujukan pada hasil kerja kepenyairan kita saat ini, kerap muncul dengan nada vulgar dan menggugat (melalui forum diskusi maupun tulisan di media massa) itu saya kira sangat wajar, bahkan ‘menguntungkan’ dan di baliknya mungkin justru mengeram niat baik untuk bersikap kritis dan obyektif pada kondisi kepenyairan kita saat ini. Menurut saya, sikap sumbang itu bukan suatu nonsense belaka. Sikap itu mesti diterima dan dimaknai sebagai representasi yang memiliki akar-akar kausalitas obyektif yang bisa dirunut pijakan paradigma dan nilai kebenarannya. Dengan pemahaman lain, sikap sumbang itu menjadi semacam warning signifikan bagi kepenyairan kita saat ini. Semua itu representasi kerja kritik dalam versi lain.
Kenapa Jadi Massa
KESERAGAMAN dan kemacetan mobilitas estetik puisi penyair kita saat ini disinyalir, salah satunya, karena adanya bias berlebihan dari semaraknya puisi kita di media massa jurnalisme sastra. Terutama koran. Koran-koran penting (di Jakarta) yang memiliki rubrik puisi konon selalu kebanjiran serbuan kiriman naskah puisi para penyair yang berdomisili di Jakarta maupun daerah. Kondisi demikian seringkali merepotkan pihak redaksi untuk melakukan pemilihan terhadap unggunan naskah yang menumpuk di mejanya. Hal ini memaksa redaktur untuk harus memilih dengan kriteria-kriteria tertentu yang mungkin bersifat subyektif, sebab tidak adanya konvensi yang jelas dan pasti tentang puisi (yang baik). ‘Subyektif’ di sini lebih tepatnya sebagai sebuah pilihan yang sesuai dengan selera redaktur, yang kadang tak bisa dipaparkan secara rinci dan jelas. Akibatnya, muncul identifikasi terhadap sebuah corak atau warna puisi yang dimuat media jurnalisme sastra tertentu yang diidentikkan dengan pilihan selera redakturnya. Contoh, pada tahun 70 dan 80-an koran Berita Buana ketika masih memiliki rubrik puisi yang diredakturi Abdul Hadi WM yang identik dengan puisi sufistik, atau majalah Aktuil yang diredakturi Remy Silado dengan puisi mBeling. Kecenderungan identifikasi demikian ini berlangsung juga pada media jurnalisme sastra saat ini, meskipun agak tak mudah untuk merumuskan dan memetakannya secara tepat-menyeluruh.
Sementara itu penyair kita sudah kadung mempertaruhkan dan menggantungkan media ekspresi puisinya melalui media jurnalisme sastra (khususnya koran) dengan semacam ‘histeria publikatif’. Hal ini membuat penyair kita terpaksa (sadar atau di luar sadar) kompromi dalam kerja kreatifnya, menyesuaikan diri dengan corak puisi media jurnalisme sastra yang diharapkan bisa memuat puisinya. Kondisi demikian membuat puisi yang dimuat media dijadikan sebagai konvensi puisi. Salah kaprah ini pun seakan-akan menjadi kesadaran umum penyair kita tentang hakikat kerja kreatif, terutama puisi. Tapi justru pola kerja demikian membuat keseragaman penulisan puisi penyair kita ‘selamat’ dan menemukan wilayah atau medium dan memberi ruang yang bisa menampung ekspresinya yang dipercayai dapat memberikan legitimasi kepenyairan, terutama media jurnalisme sastra yang dinilai memiliki citra istimewa. Akibat ketergantungan berlebihan ini, membuat penyair kita menjadi kehilangan kepribadian, mampat eksplorasi kreatifnya yang radikal-alternatif dan sekadar menjadi massa pengikut mainstream puisi tertentu, mungkin, dengan kadar fanatisme yang memalukan.
Gambaran di atas menunjukkan sebuah disorientasi eksistensial penyair kita yang lebih banyak melebarkan ruang legitimasi melalui media jurnalisme sastra dan menciutkan ruang untuk eksistensialisasi individu penyair lewat nilai sastra itu sendiri. Puisi dijadikan jalan pintas yang pragmatis dan efektif untuk mencari sumber pemasok ke dalam ruang eksistensi yang belum penuh dengan cara simbolik hadir menemui publik pembaca yang seluas-luasnya. Sehingga seorang penyair merasa sudah berhasil bila puisinya dimuat media jurnalisme sastra dan merasa gagal bila tak ada satu media pun yang memuatnya.
Penyair kita tanpa sadar justru lebih banyak ‘belajar’ menulis puisi secara sekilas dari puisi yang dimuat media jurnalisme sastra itu dan sangat jarang membaca, belajar dan melakukan pembandingan khazanah puisi dari literatur (buku) penyair lain (terutama puisi dunia) yang sebenanrya layak untuk dijadikan bahan untuk belajar karena khazanahnya yang begitu beragam dan luas. Puisi koran kemudian menjadi mainstream yang luas dan kuat yang diam-diam ‘melemaskan’ gairah idealisme kerja kreatif yang difference atau alternatif. Kelemasan ini berlangsung massal dan hanya segelintir penyair yang berani dan mampu mengambil jalan lain dan bekerja keras melepaskan diri dari kelemasan massal itu, lalu belajar dan berpaling pada literatur lain yang lebih memungkinkannya mendapatkan keluasan wawasan puitika.
Jam Kerja Laborat
PENYAIR KITA sangat jarang yang memiliki disiplin dan metoda kerja kreatif, atau katakanlah ‘jam kerja’, yang diterapkan secara ketat. Misal, dalam sehari berapa jamkah penyair kita menggeluti puisi, bertarung dengan bahasa, bermain-main dengan kemungkinan-kemungkinan artistik di ‘laboratorium’ kerjanya? Tradisi menulis puisi penyair kita masih bersifat sambil lalu dan lebih mengandalkan keterampilan bakat alam belaka sebagaimana cara kerja seniman tradisional. Payahnya disiplin dan metoda kerja membuat penyair kita terperosok ke dalam kepicikan-kepicikan pada mainstream penulisan yang tidak berkembang dan konservatif, sehingga terpencil dari perkembangan puisi (yang sesungguhnya) jauh di luar sana.
Selain itu, dimensi intelektual penyair kita jarang diasah dengan bahan-bahan wacana sastra dan kebudayaan secara luas, sehingga kesadaran intelektualnya tidak dinamis, bahkan merosot ditandai dengan minimnya pemikiran sastra dari penyair kita. Efek dari kemerosotan dan ketidakdinamisan intelektual ini adalah kekurangmampuan (kemalasan?) untuk mengambil saripati kazanah sastra dan wacana yang ada untuk keperluan memperkaya agenda kerja kreatifnya. Sehingga kritik-kritik puisi yang ada saat ini pun menjadi tidak operasional, karena penyair kita tidak memiliki kepekaan intelektual.
Massa penyair ini kemudian menjadi sekadar para pecandu bahasa yang letih tapi terus saja keras kepala bekerja dengan cara memunguti bias-bias dan remah-remah puisi mainstream yang ada dan tak ada usaha untuk mencoba menembus khazanah puitika yang lebih luas yang masih mungkin dirambahinya. Sebab bagi penyair kita, produktivitas terlanjur jadi ukuran penting. Maka, sebagaimana yang pernah saya ungkapkan, biografi kerja (track record) kepenyairan kerap menjadi kebanggaan dan seringkali direkayasa dengan pembubuhan-pembubuhan biografi kepenyairan yang tak jujur (‘Dusta Biografis’ Kepenyairan Indonesia, Republika Minggu, 2 Desember 2001).
Kemana massa penyair kita saat ini akan menempuh arah perkembangannya? Energi budaya yang fantastik itu masih menggeliat-geliat, asyik sendiri dan hiruk-pikuk di tempat di tengah gemuruh percepatan perkembangan ilmu, teknologi maupun cabang-cabang seni lain yang berada di sekitarnya. Betapa luar biasa perkembangan prosa kita dengan sejumlah capaian, masterpiece dan tokoh sastrawannya yang mumpuni dan diakui dunia internasional. Penyair kita sekarang harus menengok serta mempertimbangkan gemuruh di sekitarnya itu untuk menggenjot dan mereformasi hasil kerja kreatifnya seoptimal mungkin, atau hanya akan jadi kerak kebudayaan nasional yang tersisih di negeri sendiri (apalagi bagi standar seni kosmopolit). Percayalah, bila tidak ada perubahan fundamental terhadap pola kerja dan wawasan intelektual yang meluas melampaui batasan-batasan lokal dan nasional, penyair kita kian terpuruk dan menjadi sehimpun massa yang hanya ribut-ribut dengan persoalan-persoalan usang dan klise itu melulu.
* Binhad Nurrohmat, penyair dan kurator Indonesia Literature Watch.