Menanti Cerpen Indonesia versi Yogya

Marwanto
kr.co.id

SEPERTI dimuat rubrik ini (MP No 16 th 58 minggu III Juli 2005), beberapa waktu lalu sejumlah kreator dan pengamat sastra di Yogyakarta di antaranya: Jony Ariadinata, Saut Situmorang, Raudal Tanjung Banua, Gunawan Maryanto dan Bambang Agung kembali melakukan kegiatan penilaian terhadap cerpen-cerpen yang pernah dimuat harian Kompas selama 2004. Kegiatan yang bertajuk Cerpen Pilihan Kompas 2005 versi Yogyakarta itu sebenarnya untuk yang kedua kali, setelah sebelumnya kegiatan serupa dilakukan pada tahun 2004.

Pada Cerpen Pilihan Kompas versi Yogya tahun lalu, para kreator dan pengamat sastra menghasilkan penilaian yang berbeda sama sekali dengan cerpen terbaik versi para juri tim Kompas. Hal ini sempat memberi kesan bahwa apa yang dilakukan oleh para kreator Yogya itu cuma sekadar asal beda (antitesa) dengan apa yang dilakukan oleh tim juri Kompas. Memang, penjurian yang dilakukan tim Kompas sendiri selama ini tidak menetapkan kriteria yang jelas tentang cerpen yang dianggap terbaik. Sehingga wajar jika berbagai pihak sering merasa “geram” pada tradisi penjurian di Kompas.

Namun kecurigaan terhadap para kreator di Yogya bahwa apa yang mereka lakukan sekadar memberi antitesa sedikit berkurang dengan hasil Cerpen Pilihan Kompas versi Yogya tahun ini. Seperti kita ketahui, meski para kreator di Yogya itu tak menetapkan adanya cerpen terbaik yang dimuat oleh Kompas selama tahun 2004, namun mereka menetapkan lima “cerpen baik”, yang salah satunya (yakni: Rt 03 Rw 22, Jalan Belimbing atau Jalan Asmaradana karya Kuntowijoyo), menjadi cerpen terbaik versi tim juri Kompas.

Hal tersebut sedikit banyak memberi kesan bahwa yang dilakukan oleh kreator di Yogya itu tak sekadar menyodorkan cerpen berbeda dari pilihan tim juri Kompas. Lebih dari itu, lewat Cerpen Pilihan Kompas 2005 versi Yogyakarta ini para kreator itu telah menyodorkan sebuah paradigma penilaian dan memberi wacana lain dalam memandang nilai serta kualitas sebuah cerpen.

Para kreator di Yogya itu seakan bilang kalau memang tidak ada cerpen terbaik, mengapa harus dipaksakan memunculkan yang terbaik? Apakah setiap periode tertentu (katakanlah setahun) harus dicari cerpen terbaik? Untuk apa sebenarnya dipaksakan memunculkan sebuah cerpen terbaik? Untuk kepentingan memberi judul buku kah? Atau memberi hadiah bagi cerpenis yang terpilih? Atau untuk kepentingan lain?

Pertanyaan-pertanyaan semacam itu kiranya perlu dilontarkan ke Kompas, sebab meski dalam pengantar buku kumpulan cerpennya mereka acap kali menyebut bahwa di antara cerpen-cerpen yang dipilih itu tak beda jauh kualitasnya, tetap saja imej publik melihat cerpen terbaik adalah yang dipilih dan dijadikan judul sehingga otomatis memiliki beberapa kelebihan dari cerpen yang terpilih tapi tidak terbaik. Konsekuensi psikologis selanjutnya adalah cerpenis yang cerpennya terpilih sebagai cerpen terbaik, sudah tentu akan mempunyai kedudukan yang “beda” dengan cerpenis lain yang karyanya dimuat di buku tersebut.

Simak saja pada Cerpen Pilihan Kompas 2003 yang menetapkan “Waktu Nayla” karya Jenar Mahesa Ayu sebagai cerpen terbaik. Sejak itu nama Jenar langsung melambung sebagai salah satu cerpenis papan atas Indonesia. Padahal dalam pengantarnya juri menyebut pada dasarnya cerpen-cerpen yang termuat dalam Cerpen Pilihan Kompas 2003 tak ada yang istimewa. Dari sini kemudian layak untuk dipertanyakan apakah tiap tahunnya Kompas memang hendak membaptis seorang cerpenis?

Tak dipungkiri lagi, akhir-akhir ini Kompas sering dicap sebagai barometer cerpen kontemporer di Indonesia. I Nyoman Darma Putra dalam pengantar Waktu Nayla, Cerpen Pilihan Kompas 2003, menyebut Kompas sebagai salah satu barometer pertumbuhan cerpen Indonesia mutakhir. Menurutnya, banyak mahasiswa Australia yang melakukan studi dan penelitian tentang cerpen Indonesia menggunakan referensi cerpen yang pernah dimuat Kompas.

Bergesernya peran pemetaan sastra di tanah air dari majalah ke koran, telah berimbas pula pada bergeser- nya pandangan bahwa karya sastra yang bagus (berkualitas) tidak harus yang dimuat di majalah sastra prestisius semacam Kisah, Sastra, dan Horison. Sebab tak sedikit karya sastra yang bagus justru ditemukan di koran, bahkan koran yang kurang menasional.

Satyagraha Hoerip pernah mencatat, cerpen bermutu sastra tinggi karya Budi Suniasunarsa berjudul “Orang Asing” dimuat di Minggu Indonesia Raya. Lalu cerpen Sitor Situmorang yang sangat indah, “Perjamuan Kudus” dimuat Warta Dunia Minggu edisi Januari 1964. Sementara menurut Nirwan Dewanto, harian Bali Post sering memuat puisi yang lebih berbobot dari media lain (Republika, 6/10/1994). Dari fakta ini, lanjut Satyagraha, dapat disimpulkan bahwa tidak setiap karya sastra yang dimuat oleh media prestisius pasti terjamin mutu sastranya.

Tentu kita maklum, setiap redaktur media massa sering menemui banyak kendala (baik itu berupa teknis maupun selera estetis) ketika hendak meloloskan sebuah karya sastra untuk dimuat. Namun ketika kendala itu adalah sesuatu yang di luar dua hal itu, misalnya kendala “humanis” (baca: ewuh pekewuh atau cuma karena kedekatan terhadap sosok sastrawan tertentu) sehingga bisa menyebabkan karya sastra yang bermutu rendah diloloskan dimuat, maka inilah sesungguhnya yang membuat kita prihatin.

Dan keprihatinan (sekaligus kecurigaan) terhadap hal semacam inilah yang pernah digugat oleh para sastrawan (daerah khususnya) secara besar-besaran sekitar sepuluh tahun lampau. Gugatan terhadap peran media massa (koran) itu mulai dari masalah pentasbihan media terhadap eksistensi sastrawan (perkemahan penyair di Tegal, Agustus 1994), kolaborasi redaktur budaya dengan sejumlah sastrawan (temu penyair di ASTI Bandung, September 1994), sampai seruan beberapa sastrawan di Malang untuk tidak melihat koran sebagai kiblat utama perkembangan kesusastraan di tanah air (September 1994).

Saya kira, gugatan semacam itu dapat kita maklumi. Namun di sisi lain godaan terhadap redaktur koran yang acap kali “bermain mata” dengan bebrapa sastrawan sehingga sering menggunakan pertimbangan “humanis” untuk meloloskan sebuah karya sastra adalah juga hal manusiawi. Salah satu alasannya adalah meminjam pendapat Bakdi Soemanto (Republika, 6/10/ 1994), bagaimanapun seorang redaktur budaya juga akan mempertimbangkan aspek meningkatkan tiras, dengan hanya memuat karya sastra yang sudah dikenal masyarakat. Mereka tak mau mengambil risiko dengan memuat karya sastra pemula.

Dan Kompas, sebagai salah satu koran besar di Indonesia, saya kira tak luput dari godaan semacam ini. Namun apakah para redaktur di Kompas itu bisa menghindar atau tidak dari godaan ini, kita memang tak tahu persis.

Akhirnya, sudah saatnya bagi teman-teman kreator dan pengamat sastra di Yogya pada waktu-waktu mendatang untuk memilih cerpen terbaik (di negeri ini) tak hanya bersumber dari Kompas saja. Mungkin dua atau tiga koran berskala nasional ditambah beberapa koran daerah dapat digunakan sebagai referensi untuk mencari cerpen terbaik di negeri ini setiap tahunnya. Tentu ini “proyek besar” yang membutuhkan cukup banyak biaya, waktu, tenaga dan mungkin melibatkan lebih banyak lagi para pengamat sastra. Tapi, siapa takut?
***

*) Marwanto, Pecinta sastra, tinggal di Kulonprogo.

Leave a Reply

Bahasa ยป