7 Hari Kepergian Pramoedya Ananta Toer
Susianna
suarakarya-online.com
Tujuh hari sudah sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer menghembuskan nafas terakhir dalam usia 81 tahun, tepatnya pada Minggu (30/4) lalu di rumahnya bilangan Utan Kayu, Jakarta Timur. Berita meninggalnya sastrawan kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 ini, menjadi perhatian dunia, yang seakan ikut menangis kehilangan seorang calon nominasi penerima hadiah Nobel.
“Saya lihat di internet, hampir semua surat kabar terkemuka mancanegara menulis berita kepergian Pram. Antara lain, Washington Post, New York Times, dan kantor berita terkenal seperti AFP, AP, Reuter, termasuk BBC London juga mengulas karyanya,” papar Eka Budianta, sastrawan yang sangat dekat dengan almarhum.
Sejak Pram dirawat di RS St Carolus hingga dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakata Pusat, sepertinya pers Indonesia, baik media cetak maupun elektronik tidak mau kebobolan berita tentang kepergian sastrawan kondang ini. Berbeda di zaman Orde Baru, nama Pramoedya merupakan alergi bagi pers nasional. Sebagai mantan tapol/napol yang pernah dipenjara di Pulau Buru, Pram dikenal aktif dalam organisasi Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dalam buku “Mendengar Pramoedya” yang ditulis Eka Budianta dan diluncurkan pada HUT ke-80 Pram, 6 Februari 2005 lalu, Eka mengungkapkan, seorang karyawan universitas di Yogyakarta dihukum 8 tahun penjara ketika mengadakan diskusi tentang buku “Bumi Manusia” karya Pram. “Padahal seluruh dunia mengakui karya Pram yang telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa,” ujar konsultan pembangunan dan kolumnis majalah Trubus itu.
Sebelum meninggal, Pram menulis dua pesan kepada Eka. Pertama, perhatikan materi geografi Tanah Air sebagai kekayaan bangsa Indonesia. Kedua, adakan Kongres Pemuda agar muncul sosok pemuda yang siap tampil menjadi pemimpin. Anak muda, kata Pram, adalah mahkota setiap bangsa yang paling dicintai. Tak heran, banyak kalangan anak muda melayat dan hadir ke pemakaman Pram.
“Sekarang kita tunggu dengan berdebar-debar setelah Pram meninggal, apakah dukungannya itu surut atau makin maju. Kita tidak tahu sejak 2-3 tahun terakhir ini, banyak pendukung Pram yang sangat peduli pada kemanusiaan,” ujar Eka yang rajin berdiskusi dengan almarhum.
ka menilai, Pram adalah orang yang paling mencintai Indonesia secara tulus. Eka pernah bertanya: “Pram, apakah perlu kita memikirkan begitu serius tempat-tempat lain di luar yang kita ketahui.”
Pram menjawab, “Papua, Aceh dan tempat-tempat lain, saya pikirkan senti demi senti.”
Itulah sebabnya Pram bisa membuat Ensiklopedi Indonesia yang lengkap, dikerjakan sendiri. Namun kepergian Pram masih menyisakan tugas yang terbengkalai menulis Kamus Geografi Indonesia.
Semasa hayatnya, Pram menulis lebih dari 50 buku, dan sejumlah cerpen serta artikel lainnya. Salah satu karyanya yang tercatat sebagai novel besar adalah “Bumi Manusia”, tetapi dilarang beredar. Menurut Eka, tidak ada satu pun novel di Indonesia dan Asia Tenggara yang bisa menandingi novel tersebut, khususnya dari segi isi dan penggalian informasi. Nyatanya, banyak di antara karya Pram, termasuk yang dilarang terbit, memperoleh penghargaan dari luar negeri. Di antaranya Ramon Magsaysay (19 Juli 1995). Namun ada yang protes, antara lain Mochtar Lubis (alm), penandatangan Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang juga pernah penerima hadiah yang sama. (Manikebu lahir 17 Agustus 1963, kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno lewat pengumuman di RRI, 18 Mei 1964).
Eka pernah bertanya kepada Mochtar Lubis atas penolakan itu. Jawab Mochtar, ia menyesalkan panitia tidak melihat masa lalu Pram yang pernah mengganyang orang-orang Manikebu.
Karya Inspiratif
Kritikus sastra HB Jassin memberi catatan pada novelet “Keluarga Gerilya” karya Pram dalam cetakan ke-3 (1952), bahwa buku ini adalah suatu analisa jiwa revolusi yang murni dan merupakan suatu dokumentasi manusia Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya.
Ditegaskan Jassin, buku ini menggambarkan ketelitian observasi dan pengetahuan Pram mengenai kesejarahan, semangat zaman, keadaan di front, jalannya pertempuran, dan cara tentara Belanda melakukan hukuman mati terhadap pahlawan pejuang kita dan sebagainya. Disimpulkan Jassin, “Keluarga Gerilya” adalah suatu pustaka yang bernilai sastra.
Dalam buku “Apa dan Siapa” (disusun majalah “Tempo), dalam catatan tentang sosok HB Jassin, novel “Bumi Manusia” dinilai tidak mengandung hal-hal yang melanggar hukum. Pelarangan terhadap buku itu, menurut Jassin, lebih banyak karena ditulis oleh bekas tokoh Lekra. (Bersama 19 seniman lainnya, Jassin ikut menandatangani Manikebu).
Cerpenis kondang Hamsad Rangkuti (63 tahun) menilai, Pram adalah sastrawan besar Indonesia. Cerpen-cerpen dan novelnya sangat inspiratif hingga mampu memberikan inspirasi kepada pengarang. “Saya tidak melihat karyanya mengandung politik, walaupun orangnya politik. Karangannya bercerita tentang manusia,” ujar Hamsad yang mengaku sudah membaca karya Pram sejak di bangku SMP.
Lain halnya cerpenis Gerson Poyk (75 tahun), salah seorang penandatangan Manikebu, justru mengingatkan perlunya berhati-hati atas tumbuhnya bibit-bibit berbahaya dalam novel Pram yang sepertinya menebarkan kebencian terhadap militer, kebencian terhadap orang kaya dan sebagainya. Ini dibuktikan dengan mengalunnya lagu “Internationale” yang dilantunkan anak-anak muda ketika pemakaman Pram. Terlepas dari itu, Gerson berpendapat bahwa dugaan ini masih perlu didiskusikan dan diteliti secara mendalam.
Sejak duduk di bangku SMP, Gerson sudah membaca karya Pram. Di antaranya yang cukup menarik perhatian Gerson adalah saat Pram mengusulkan supaya kapal angkatan laut membawa sastrawan keliling Indonesia untuk mengenal tanah airnya. “Saya sangat tertarik dan itulah sebabnya saya suka keliling Indonesia,” ujar Gerson sambil tersenyum.
Dunia berduka karena kepergian Pram. Segores tinta emas pun telah digoreskan Pram di blantika sastra Indonesia. “Mengarang adalah tugas nasional bagi saya. Akibat dari pengalaman yang panjang, maka saya katakan, mengarang adalah profesi. Saya hidup dan mau karena mengarang dan saya konsekuen terhadap akibat yang saya peroleh,” kata Pram dalam buku “Mendengar Pramoedya”. Selamat jalan Pram!
***