Burhanuddin Bella
http://www.infoanda.com/Republika
Seorang menteri bersama kelompok kecil menghadap raja. `’Ampun beribu ampun, Baginda. Kami datang tanpa diundang,” sang menteri bersimpuh.
`’Katakan, apa maksud kedatangan kalian,” tanya raja.
`’Kedatangan kami kemari memohon Baginda untuk memilih satu di antara dua pilihan.”
`’Pilihan apa?” raja makin tak sabar.
`’Mana yang disukai Baginda, telur yang sebutir atau telur banyak. Jika Baginda menyukai telur yang sebutir, hamba bersama segenap rakyat akan mengungsi untuk menghindarkan diri dari kejangkitan penyakit kulit yang diderita Sang Putri.”
Baginda dengan tegas menjawab, lebih memilih telur yang banyak. Sang Putri pun akhirnya diasingkan. Bersama rombongan kecil, mereka menuju ke daerah lain, hingga akhirnya terdampar di sebuah tempat tak berpenghuni di tepi sungai. Di tempat itulah mereka bermukim. Berkat jilatan kerbau liar, penyakit kulit yang diderita Sang Putri sembuh. Putri pun tampak cantik, kulitnya halus.
Dari kerajaan yang lain, seorang Putra Mahkota memimpin perburuan di hutan. Tersesat di belantara, rombongan ini akhirnya menemukan pemukiman Sang Putri. Keduanya jatuh hati, diam-diam saling mencintai. Singkat kisah, Putra Mahkota mempersunting Sang Putri dan melangsungkan pernikahan dalam sebuah perkawinan agung.
Begitulah sebuah cerita yang berkembang di Sulawesi Selatan. Sang Putri anak Raja Luwu, sedangkan Putra Mahkota adalah anak Raja Arumpone. Perjalanan hidup mempersatukan keduanya dalam sebuah tali perkawinan sehingga dikaruniai tiga putra, masing-masing bergelar Petta Kanjeng.
Kisah dalam buku lain diangkat dari cerita rakyat yang berkembang di Sulawesi Utara. Di situ digambarkan pengembaraan seorang wanita cantik yang meninggalkan desanya agar bisa menyambung hidup. Desa tempat tinggalnya tidak lagi menjanjikan harapan setelah masuknya bangsa pendatang yang merampas tanah milik penduduk. Lantaran tak bisa bercocok tanam, penduduk mederita kekurangan pangan.
Wanita itu lalu mengikuti petunjuk yang diperoleh dari mimpinya dengan mengarungi lautan. Sampai akhirnya terdampar di sebuah daratan, dia diselamatkan oleh penduduk kampung itu. Dia menjadi penghuni pulau tersebut.
Sekali tempo, ia mencari puing-puing bekas perahunya yang hancur akibat terpaan badai saat tiba di daratan itu. Dia lalu mendekati sebuah perahu yang kelihatannya baru diperbaiki. Kepada orang-orang yang ada di situ, dia mengisahkan pengalamannya terdampar di pulau ini.
`’Oh, kalau begitu, ini perahu kamu yang rusak dulu. Puing-puing perahu yang rusak kami perbaiki,” seorang menjelaskan.
`’Saya harus bayar dengan apa, Pak?”
`’Tidak perlu ditebus, kami ikhlas kalau akan kamu ambil. Ambillah.”
Perahu didorong ke laut, wanita itu masuk ke dalamnya. Berhari-hari terombang-ambing di laut sampai akhirnya menemukan daratan. Di daratan baru ini dia hidup berkebun. Di situ ia bertemu seorang lelaki yang akhirnya menjadi suaminya. Keduanya hidup rukun dan bahagia. Mereka dikaruniai 27 anak.
Kisah Sang Putri dan Putra Mahkota dan pengembaraan seorang wanita cantik tersebut adalah cerita rakyat yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam bentuk buku. Ini merupakan hasil karya peserta lomba inventarisasi cerita-cerita rakyat di daerah untuk siswa SD dan SMP.
Setiap tahun Pusat Bahasa Depdiknas menyelenggarakan berbagai jenis lomba dalam rangka Bulan Bahasa. Naskah-naskah yang masuk, dipilih untuk dicetak dalam bentuk buku. Lomba cerita rakyat tersebut salah satu di antaranya, diterbitkan sebagai Seri Bacaan Sastra Anak Nusantara.
Semula, menurut Kepala Subdit Informasi dan Publikasi Pusat Bahasa, Dra Dad Murniah, MHum, lomba cerita rakyat hanya untuk siswa SD dan SMP. Mulai tahun ini, katanya, lomba cerita rakyat yang berkembang di daerah diperluas. Tidak lagi hanya sebatas untuk siswa di dua jenjang pendidikan tersebut, tapi juga untuk umum.
Dalam kaitan Bulan Bahasa itu pula, Pusat Bahasa senantiasa menyelenggarakan berbagai jenis lomba penulisan. Misalnya, sayembara penulisan puisi remaja tingkat nasional, sayembara penulisan puisi bagi siswa SD tingkat nasional, dan sayembara penulisan naskah drama bagi remaja tingkat nasional.
Ini dimaksudkan untuk meningkatkan minat siswa dan remaja terhadap sastra. Selain itu, untuk meningkatkan daya cipta dan kreativitas siswa dan remaja terhadap sastra, di samping menumbuhkan sikap positif dan cinta sastra.
Seperti juga naskah cerita rakyat, naskah sayembara yang terpilih kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Biasanya, Pusat Bahasa juga kerap mengundang penulis yang sudah terkenal untuk menyertakan karya-karyanya dalam penerbitan buku.
Buku-buku yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa, menurut Dad Murniah, dicetak sekitar seribu eksamplar. Buku-buku yang sudah diterbitkan kemudian dikirim ke perpustakaan-perpustakaan yang ada di daerah-daerah. `’Biasanya juga kita sediakan untuk souvenir dan hadiah,” tuturnya.
Bagaimana jika ada penerbit yang berminat mencetak ulang naskah hasil lomba? Pusat Bahasa, menurut Dad Murniah, tidak menutup pintu untuk itu. `’Silakan saja kalau ada yang berminat,” ucapnya.