Denny Mizhar
“Perjalanan ini masih panjang, sayang. Siapkan perbekalan yang cukup agar kita sampai pada tujuan dengan selamat”.
Kau mengatakan itu untuk terakhir kalinya padaku. Saat kita harus dipisahkan oleh keadaan yang membawamu entah ke mana. Aku pun bertahun-tahun mencarimu, tapi hasilnya nihil. Aku kunjungi penjara-penjara yang mengurung tahanan politik tapi tak ada kamu. Aku tahu sikap hidupmu dan fikiran-fikiranmu. Tak mungkin kau seperti yang mereka tuduhkan padamu. Hanya saja bapakmu yang terlibat pada pergerakan partai yang dilarang oleh rezim penguasa waktu itu. Tetapi setahuku, tanpa alasan pelarangan dan pembubaran yang dilakukan. Hanya karena kekuasaanya tak mau terusik. Saya pikir itu saja. Aneh, aku rasa. Mereka menuduhmu tak beragama dan tak berTuhan. Bagiku itu tuduhan tanpa bukti. Sebab, setiap kau pergi denganku tak perna lupa membawa kitab sucimu. Bila waktu luang dan tak ada yang kau kerjakan, kau menyempatkan membacanya. Menjadi semakin aneh saja tuduhan itu.
Tetapi ma’af waktu itu. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Senapan yang menghadap di mataku membuat aku tak bisa berkutik dan berbuat sesuatu untuk menolongmu. Hingga mereka menyeretmu pergi entah ke mana. Aku tak lelah mencarimu, sampai ada perubahan kekuasaan karena perlawanan yang teman-temanmu lakukan. Dan kekuasaan beralih tangan, beberapa temanmu bebas. Tapi tetap saja aku tak menemuimu. Semua teman-temanmu yang kukenal, aku datangi dan bertanya pada mereka satu persatu. Tetap saja tak ada jawaban. Mereka semua bilang tidak tahu. Aku masih tak lelah untuk mencarimu. Perbekalanku masih cukup, seperti yang kau bilang dan menyarankan padaku untuk membawa perbekalan dengan cukup sebab perjalan masih panjang. Itukah makna dari ucapanmu yang harus lakukan kini. Mencarimu dengan tak kenal rasa lelah.
Kemarin aku bertemu kawan akrabmu. Dia bilang kamu sudah dibunuh. Aku tak percaya. Jika memang sudah dibunuh, di mana letak kuburannya. Atau sisa-sisa mayatnya. Tapi kawanmu menjelaskan, bahwa kamu dibunuh dan dibuang ke pulau yang tak pernah dijamah orang. Hanya beberapa orang kepercayaan penguasa waktu itu yang tahu. Sampai sekarang pun tak terungkap. Kalau tidak dibuang berarti diracun dengan cairan yang dapat meusnakan tubuh hingga tak berbekas. Temanmu lalu memelukku dan berkata
“Ihklaskan saja kepergiannya, dia pahalawan. Kamu harus bangga, yang lebih penting sekarang bagaimana kita ungkap kebusukan-kebusukan yang ada di negeri kita”.
Aku menjadi heran pada kawan akrabmu itu, keherananku adalah setelah bertemu denganku dan pergi masuk ke mobil sedan yang berplat nomer mobil warna merah. Aku jadi tak percaya dengan ucapan kawanmu itu. Aku tetap yakin bahwa kamu masih hidup.
Malam seperti ini adalah malam di mana kita dulu pernah berbincang tentang cinta. Kau pandai memberi makna-makna perihal cinta. Aku terkagum-kagum. Mendengar cerita-ceritamu. Aku kadang malu, ke mana sikap kelelakianku? aku kalah denganmu. Kau cantik, tegas, kritis juga pandai dan cerdas. Beda denganku, hanya laki-laki yang sabar menemanimu dan tak bisa berbuat apa-apa bila kau sedang dirundung masalah. Tapi kau mengatakan, aku tak harus bicara. Cukup menemanimu dan menenangkanmu saja, kamu pun sudah bahagia. Ada hal yang indah dan tak pernah aku lupa, bulan purnama seperti malam ini. Tanganmu selalu menunjuk ke arah bulan dan mengatakan kau melihat bidadari sedang mengendong kucing. Dia menimang-nimang hingga kucingnya tertidur, bergantian dengan kucing-kucing yang lain. Kau bilang kucingnya banyak sekali. Dan itu dilakukan hingga bulan tak terlihat di langit. Saat itulah bidadari istirahat untuk tidur dan mengistirahatkan diri. Kau menginginkan pergi ke bulan suatu saat, jika negeri ini telah damai dan rakyatnya makmur.
Sehabis kau mengisahkan tentang bidadari dan mengutarakan harapanmu lalu kau lari memasuki ladang tebu. Kau mengajakku bermain-main petak umpet. Kau sembunyi di sela-sela tanaman tebu, aku pun mencarimu sampai ketemu. Bila sudah aku temukan kita sama-sama menuju lapangan dan merebahkan tubuh. Mulailah kau mengumam tentang negeri ini. Negeri yang kau katakan kaya tapi rakyatnya masih melarat. Kau pun mempertanyakan, apa yang harus dilakukan? agar bumi pertiwi yang subur ini menemui tujuannya yakni rakyat adil dan makmur.
Malam terakhir itu persis dengan malam ini, padang bulan. Awalnya kau sudah meresahkan, adanya koak burung Hering yang melintas di tepian tempat kita berada. Kau berkali-kali mengutarakan perasaan tidak enakmu padaku. Perasaan seperti yang kamu rasakan ketika Bapakmu dibawa entah ke mana dan pulang-pulang tinggal nama dan baju yang berlumur darah ada lubang peluruh di sebelah sakunya.
Tiba-tiba saja ada lampu senter manyala tepat di wajah kita. Meraka berpakaian seragam. Entah seragam warnah apa, tak jelas karena silau sinar senter yang tepat menhujam mataku. Lalu matamu ditutup, mereka mendekapmu. Meraka juga menodongkan senjata laras panjang tepat dimataku. Sempat aku melihatmu tak gentar tetap tegas. Sedang aku kencing dicelana. Mataku pun ditutup oleh meraka dan mengikatku lalu meletakkan tubuhku ditengah-tengan ladang tebu. Aku mendengar suara-suara sepatu dan lirih pembicaraan mereka
“Bawah ke penjara, kamu mau menentang negara!”
Tetapi kau diam saja, tak menjawab, suara mulutmu meludah yang aku dengar. Dan suara mobil pun berjalan meninggalkan aku yang meringkuk tak berdaya di tengah-tengah pohon tebu. Hingga esoknya pemilik ladang tebu menemukanku dan melapas ikatanku. Aku masih trauma atas kejadian itu. Hingga berhari-hari aku di rumah. Lalu aku teringat lagi ucapanmu
“Perjalanan ini masih panjang, sayang. Siapkan perbekalan yang cukup agar kita sampai pada tujuan dengan selamat”.
Aku merenung. Dan dengan keyakinanku keberanianku mulai tumbuh. Aku merasa malu. Lalu aku diam-diam mulai mencarimu. Hingga kini, masih tak kujumpai denganmu.
“Mas…, aku datang.”
“Whani, kau kah itu?”
“Mas.. Iya aku.”
Sambil berlari kau mendekatiku. Dan aku pun memelukmu erat-erat. Resah rinduku tumpah ruah. Belum sempat aku nikmati kerinduanku. Aku melihat gerak-gerak bayanga orang mengintai. Aku melihat senapan sedang menodong ke arahmu. Aku berbalik arah.
“Cleps…cleps…”
“Whani…”
“Mas, ma’afkan aku. Harusnya aku tak datang kemari”
“Tidak apa-apa Whani, aku malu denganmu. Dengan keberanianmu.”
“Mas, tahan mas…”
“Cleps…Cleps…”
Malang, September 2010